Gelap Terang Bintang Timur

Catatan dari Brussel oleh :
A. Kohar Ibrahim

Datang berita dari Jakarta malam ini : Jurnalis senior mantan-tapol Pulau Buru, 
Tom Anwar, telah meninggal dunia tanggal 20 Oktober jam 11 pagi di Jakarta 
dalam usia 84 tahun karena menderita sakit jantung. Menyusul rekan-rekan 
sejawatnya sebagai pengelola utama Harian Bintang Timur dan Bintang Minggu 
seperti Armunanto, S. Tahsin dan Hasyim Rachman. Semuanya sebagai pendekar 
pendukung garis politik Bung Karno yang memang sudah selayaknya lantaran koran 
yang dipimpin mereka dikenal sebagai suara Partindo. 
 
Koran Bintang Timur bagi saya merupakan bermakna amat signifikan dan amat 
mengesankan, lantaran di koran itulah saya memulai kegiatan tulis menulis mulai 
dari sebagai anggota ruang muda-mudi-nya sampai mengisi ruang cerpen dan 
cerber, selain banyak belajar dari ruang kebudayaan « Lentera » yang dikelola 
Pramoedya Ananta Toer. Salah satu cerpen saya berjudul « Ayah » justeru dimuat 
di edisi minggu : Bintang Minggu (1959). 
 
Sesungguhnyalah, bagi saya Bintang Timur mengandung makna istimewa.  Oleh 
karena itulah, dalam  serial tulisan « Catatan Dari Brussel », dari 40 naskah, 
salah satunya (n° 9) berjudul « Gelap Terang Bintang Timur ». Naskah dari 
serial tulisan CdB yang pertama-tama disiarkan koran Sijori Pos / Batam Pos itu 
 dan yang disiar-ulang oleh Cybersastra 10 Mei 2003, bersama ini kami 
siar-ulang selengkapnya seperti di bawah ini. Sekedar pertanda Hommage kepada 
sang almarhum yang menjadi Pemimpin Redaksinya. (AKI).
                                                               ***

BAGIMU dimatikannya "Bintang Timur" dan "Lentera" merupakan pertanda datangnya 
kegelapan? Begitulah kurang-lebih pernyataan yang aku uraikan di depan 
Edouardo, pelukis eksilan Chili itu. Yang dijadikan pertanyaan untuk lebih 
meyakinkan dirinya. Bahwasanya memang benarlah fenomenanya di mana-mana pun 
juga kediktatoran itu tak menyukai pers yang memberikan penerangan sekaligus 
pencerdasan masyarakat manusia. Suatu fenomena perjalanan kehidupan yang adalah 
rangkaian panjang perjuangan gelap terang dalam beragam variasi dan nuansanya.
 
"Perampok kekuasaan politik itu perilakunya memang tiada beda dengan perampok 
yang macam-macam," ujarku. "Penjahat!"
 
"Penipu. Pendusta. Pemfitnah," kata Edouardo seraya menegaskan, bahwa di 
negerinya pun, kaum militer pimpinan Jenderal Agusto Pinochet pada hakekatnya 
melancarkan tindakan serupa sebagaimana dilakukan kaum militer pimpinan 
Jenderal Suharto. "Maka untuk menutupi kejahatan sekalian mempersolek citranya 
sendiri sang perampok itu menghegemoni pers. Setelah memberangus dan malah 
mematikan pers yang dianggap lawan politiknya."
 
Maka penggelapan pun terjadi, menjadikan masyarakat hidup di alam kegelapan 
yang pengap dengan udara dusta, fitnah, syak wasangka dan kebencian  serta 
kemunafikan antara sesama manusia. 
 
"Benarlah begitu, Edouardo," ujarku menegaskan. "Bahwasanya, terutama sekali 
bagiku sendiri, dimatikannya Bintang Timur dan Lentera merupakan simbol 
datangnya kegelapan."
 
Lalu aku jelaskan pula, selain aku banyak belajar dari Pramoedya akan semangat 
dan kreativitasnya, juga aku sangat menghargai sosok sosok jurnalis seperti Tom 
Anwar yang jadi pemimpin umum "Bintang Timur". Seperti juga aku menghargai 
rekannya, jurnalis S. Tachsin yang kemudian menjadi diplomat. Dan seperti  juga 
aku menghargai jurnalis sekaligus pejuang seperti Djawoto.  Yang kemudian jadi 
Dutabesar Republik Indonesia di Republik Rakyat Tiongkok. Dari bukunya tentang 
kewartawanan itulah aku belajar bagaimana menjadi reporter yang baik.
 
"Kenapa aku tak bisa melupakan peran penting koran "Bintang Timur" dan 
"Lentera"nya?" tanyaku  kepada Edouardo, sekedar untuk menegaskan lagi: Karena 
dari situlah aku beranjak melangkah lebih jauh dan lebih luas lagi. Sebagai 
penulis muda,  yang cukup produktif, tulisan-tulisanku lalu disiarkan pula di 
koran-koran seperti "Wartabhakti", "Harian Rakyat", "HR Minggu" dan "Zaman 
Baru". Dalam proses kreativitas itu pula aku berkenalan dengan para penulis 
lainnya, hingga diterima menjadi anggota Lembaga Sastra Indonesia, Lekra, yang 
berkantor di Jalan Cidurian 19,  Jakarta. Berkenalan dengan Joebaar Ajoeb, Hr 
Bandaharo, Bakri Siregar, Boejoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, S. 
Anantaguna, Agam Wispi dan Pramoedya yang kukenal sejak di "Bintang Timur" 
serta yang lainnya lagi.
 
"Kau tahu sekali, Edouardo," sambungku, "salah satu kebutuhan  seseorang yang 
azasi adalah untuk menyatakan perasaan dan pikirannya. Selaras kemauan dan 
kemampuannya. Kapan dan di mana saja. Dan kau bisa membayangkan betapa 
girangnya seorang pemuda remaja menyimak pernyataannya yang tertulis di halaman 
koran."
 
"Iya," ujar Edouardo menyambut. "Aku ingat betapa senangnya ketika sketsa dan 
gambar-gambarku dipasang di dinding sekolah. Lantas aku jadi tambah antusias..."
 
"Seperti aku juga begitu," kataku. "Sejak di sekolah dasar. Menghias ruang 
kelas dengan gambar-gambar kreasiku. Tapi juga deklamasi. Ketika di sekolah 
menengah, aku mulai nulis puisi dan dimuat di ruang Indonesia Muda... Bintang 
Timur!"
 
"Kamu lagi jatuh cinta?" tanya Edouardo senyum usil. 
 
"Pada Ibu Pertiwi," jawabku lugas. Wajar saja, memang, selaras pertumbuhan jiwa 
raga, orang tertarik juga pada lawan jenis. Aku pernah tertarik pada sekretaris 
redaksi koran "Bintang Timur", selain jurnalis yang memang juga turut mengurus 
ruang "Indonesia Muda". Wanita-wanita yang terutama menarik hatiku adalah yang 
memang berkecimpung di dunia tulis menulis. Seperti S. Rukiah, Sugiarti, Dini 
dan beberapa lagi. Tapi terus terang, hanya tertarik begitu saja. Pada nama dan 
kreativitasnya sebagai penulis. Bukan lantaran kelainan jenis atau 
keromantikannya. Bagaimanapun juga, memang aku akui, sudah sejak saat itu, aku 
menanam idaman hati yang pada saatnya nanti bisa menjadi teman hidup di alam 
dunia yang sama. Dunia tulis-menulis.
 
"Kau tahu, Edouardo, di zaman Nasakom Bersatu Sukarno yang gegap gempita itu 
kami sangat sibuk sekali," kataku pada Edouardo. "Sibuk dibidangnya 
masing-masing. Dan kesempatan aku gunakan untuk mencurahkan segenap tenaga dan 
pikiranku untuk berkiprah sekaligus menyatakan diri. Menulis. Menulis. Sekali 
lagi menulis. Untuk disiarkan di beberapa koran yang kusebutkan itu. Ah, 
jadinya aku tak sempat berpacaran dengan lawanjenis. Sepertinya aku lagi jatuh 
cinta pada bidang garapan...."
"Kau memang lagi tergila-gila, begitu?" tanya Edouardo penasaran sekalian usil.
 
"Iya. Pada Ibu Pertiwi. Pada tugas Ibadahku sebagai kuli tinta!" jawabku lugas. 
"Gara-gara kena komporan Presiden yang juga Guru Besarku Bung Karno. Gara-gara 
Pram dan Tom Anwar. Lantas Naibaho, Dahono dan Bandaharo serta Rivai Apin..."
 
"Ouah, banyak juga yang ngomporin kamu tuh!" Edouardo malah kini nimbrung 
ngomporin obrolanku.
 
Aku senyum mengiyakan. Bung Karno yang proklamator Kemerdekaan Republik 
Indonesia memang orang pertama Indonesia yang paling aku kagumi. Kerna 
perjuangannya sebagai pembina dan guru bangsa untuk mencapai kemerdekaan dan 
kehidupan yang aman sentosa. 
Berkat kegiatan tulis-menulis di koran "Bintang Timur" dengan "Lentera"nya itu 
juga aku tambah tahu yang dia juga sastrawan dan bahkan pelukis! Lagi pula, 
bintang kelahirannya sama dengan bintangku. Beliau kelahiran 6 Juni dan aku 16 
Juni.  Sama-sama bintang Gemini. Begitu kagumnya aku pada pemimpin bangsa 
Indonesia itu, yang juga menjadi salah seorang sosok besar di arena 
Internasional, khususnya di Asia-Afrika, aku kerap kali mimpi bertemu dengan 
beliau. 
 
"Tahukah kau, Edouardo?" tanyaku. Untuk melanjutkan:  "Kadang kala impian itu 
berubah kenyataan. Buktinya pada suatu hari sejumlah pekerja kebudayaan, 
seniman dan sastrawan diterima di Istana Negara. Pada saat itulah impianku jadi 
kenyataan. Kerna salah seorangnya yang hadir di ruang besar Istana itu adalah 
aku sendiri. Dalam pertemuan itu, selain menerima sajian minuman dan nyamikan, 
juga semangat Bung Karno yang dalam pidatonya mendorong kami untuk turut aktif 
membina kebudayaan nasional. Selain itu sajian musik dan semua hadirin bergerak 
menari lenso -- tarian kesenangan beliau.  Tarian yang ternyata juga disukai 
puterinya,  Megawati."
 
Kerna tujuanku yang utama adalah untuk bisa menyatakan perasaan dan pikiranku 
agar pula bisa disiarkan, maka aku menulis dan menulis. Mengirimkannya ke 
beberapa penerbitan. Tak peduli yang mana, koran apapun. Asal mau menerbitkan 
karyaku. Baru kemudian aku tahu, bahwa koran "Bintang Timur" itu "koran"nya 
Partindo. Dan partai itu dulunya, di zaman penjajahan Belanda,  didirikan oleh 
Bung Karno. Jadi secara kebetulan dan beruntung saja aku bisa memulai jejak 
langkahku sebagai penulis di koran itu.  
 
Maka selaras semangat zaman "Nasakom Bersatu", pada tahun enampuluhan abad lalu 
itu, sewajarnyalah terjadi pergaulan yang erat dengan jurnalis atau penulis 
yang aktif berkiprah di koran-koran lainnya. Seperti "Sulindo", "Duta 
Masyarakat", "Harian Rakyat", "Wartabhakti" dan sebagainya lagi. Pada masa 
itulah aku sempat mengenyam rasa persatuan yang besar, bahkan di kalangan 
jurnalis-penulis, dengan semangat dan tujuan yang jelas selaras garis politik 
Bung Karno itu. Selaras semangat Revolusi Agustus dan aspirasi kemerdekaan 
bangsa Indonesia.
 
"Itulah latar belakang sekedarnya, kenapa aku tak sempat berpacaran dengan 
lawanjenisku, Edouardo," kataku menegaskan. Menampak teman pelukis eksilan 
Chili itu senyum-senyum saja, aku menegaskan. Bahwa memang benar begitulah 
adanya. Waktu kucurahkan di bidang tulis-menulis. Beragam macam. Puisi, prosa, 
berita, reportase, resensi seni dan sebagainya lagi. Bahkan kadang kala jadi 
korektor. 
 
Sering pulang telat. Bahkan tidur pulas di atas meja redaktur berbantal 
pak-pakan koran. Dekat mesin cetak. Memang aku seneng sekali menjadi salah 
seorang pembaca  pertama koran yang dicetak dinihari. Apa lagi yang 
headline-nya itu hasil reportaseku sendiri. Hal itu sering terjadi ketika aku 
menjadi reporter "Harian Rakyat" merangkap anggota redaktur majalah "Zaman 
Baru" yang pimpinan Dewan Redaksinya adalah penyair Rivai Apin. 
 
Begitulah, kiranya bisa dimaklumi kenapa aku memberi makna penting pada harian 
"Bintang Timur" dengan "Lentera"nya. Bukan saja sebagai titik awal-mula 
aktivitas-kreativitasku sebagai penulis, juga memang patut dicatat sebagai 
tonggak sejarah dalam perjalanan kehidupan yang berupa perjuangan gelap terang 
dengan beragam variasi dan nuansanya itu. ***
 
* A. KOHAR IBRAHIM lahir di Jakarta, 1942. Bermukim di Brussel, Belgia. 
Jurnalis, Penulis, Pelukis. Anggota dewan redaksi  “Zaman Baru”, yang Dewan 
Redaksinya dipimpin oleh Rivai Apin dan pemimpin umumnya S. Anantaguna. Sejak 
tahun 1950-an sampai sekarang karya tulisan dimuat diberbagai media massa cetak 
dan elektronika 



Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






                
---------------------------------
 Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.  

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke