http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/14/opini/1748880.htm

 
Amuk, Amok, dan "Run Amuck" 

Oleh Budi Darma

TENGOKLAH kembali sebuah kisah nyata di sebuah universitas, saat di universitas 
itu diselenggarakan sebuah diskusi mengenai kebudayaan. Semua orang mafhum, 
salah satu aspek kebudayaan adalah bahasa, karena itu jangan heran, diskusi 
akhirnya berkaitan dengan bahasa pula. Tentu semua orang tahu, kebudayaan dan 
bahasa mau tidak mau menyangkut jatidiri, dan karena itu jangan heran pula 
manakala diskusi itu juga menyangkut masalah jatidiri.

Maka terceritalah, dalam diskusi itu ada seorang pembicara yang dengan nada 
memelas menyatakan, pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia sudah 
sedemikian parah, sementara bahasa Indonesia sama sekali tidak mempunyai 
sumbangan terhadap bahasa Inggris. Pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa 
Indonesia mau tidak mau pasti mengubah jatidiri bangsa, sementara bahasa 
Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap jatidiri mereka yang 
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mereka.

Bahwa bahasa Indonesia sama sekali tidak memengaruhi bahasa Inggris, pastilah 
keliru. Tengoklah kamus bahasa Inggris, maka akan tampak kata "pelangkin" dan 
"orang-utan". "Pelangkin" adalah kursi untuk bersanding mempelai, sedangkan 
"orang-utan" adalah binatang menyusui di Kalimantan yang jumlahnya kini semakin 
berkurang. Setelah seorang hadirin menyadarkan pembicara itu bahwa pendapatnya 
keliru, pembicara itu pun mengakui kekeliruannya. Namun, dengan nada memelas 
pula, pembicara mengatakan bahwa sumbangan itu tidak mempunyai makna.

Akhirnya ada kata sepakat, kuantitas harus dibedakan dari kualitas. Hitler 
jangan disamakan dengan kualitas sekian ratus ribu orang yang terlibat PD II, 
dan kualitas seorang Bung Karno juga jangan disamakan dengan kuantitas sekian 
juta bangsa Indonesia. Hitler hanya satu orang, namun pengaruhnya di dunia amat 
hebat. Bung Karno juga hanya satu orang, namun karene kualitasnya yang luar 
biasa hebat, maka wajah bangsa Indonesia menjadi berbeda.

Dalam percaturan dunia, pengaruh bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris juga 
amat kecil, bahkan, kata pembicara itu, hampir-hampir tidak ada. Bahwa pengaruh 
bahasa Indonesia mungkin amat kecil dan mungkin hampir-hampir tidak ada, 
pembicara ini benar. Tetapi ingat, sebetulnya masih ada satu contoh lain dengan 
kualitas yang benar-benar tinggi.

Tengoklah kamus Inggris, pasti tampak kata "amok" dengan anak kata "amuck," 
"run amok," dan "run amuck," berasal dari bahasa Indonesia "amuk," dengan 
anak-kata ""mengamuk". Apakah satu kata yang masuk ke dalam bahasa Inggris ini 
mempunyai pengaruh terhadap jatidiri para penutur bahasa Inggris atau tidak, 
entahlah. Namun, bukankah kata "amuk" yang asal-usulnya dari bangsa Indonesia 
ini justru mencerminkan salah satu ciri khas bangsa Indonesia sendiri?

Tawuran remaja

Kesukaan bangsa Indonesia mengamuk dengan mudah dapat dilacak dari sejarah. 
Kalau dibatasi kurun waktunya sebelum Reformasi 1998, maka kesukaan mengamuk 
tampak jelas pada sekian banyak tawuran pelajar di sekian banyak kota besar. 
Murid-murid sebuah sekolah bentrok dengan murid-murid sekolah lain, tidak lain 
merupakan pemandangan yang tidak begitu asing pada saat itu.

Tampaknya, sesudah Reformasi 1998 berlalu, kesukaan mengamuk para pelajar ini 
sedikit banyak padam, namun kemudian menjalar ke akar-umbi para remaja itu. 
Akar-umbi mereka tidak lain adalah orangtua mereka. Setelah kesukaan mengamuk 
para pelajar sedikit banyak reda, maka kesukaan ini menjalar ke atas, yaitu ke 
orang-orang tua.

Dalam bentuk apa? Tentu dalam bentuk bentrok antar partai politik, sebagaimana 
yang tampak setiap kali menjelang pemilihan umum. Badut-badut partai 
berteriak-teriak mempropagandakan partainya, tentu untuk kepentingan perut 
sendiri, sementara pengikut mereka, yaitu para pendukung fanatik, yang mungkin 
bisa menjadi fanatik karena disumpal uang, bertawuran dengan pengikut partai 
lain, yang mungkin juga menjadi antek setelah dibayar.

Atas nama rakyat

Tentu saja, pemilihan umum, entah pada tingkat apa pun, dengan berbagai cara 
dimasukkan ke sebuah kotak yang namanya "klise" namun tampak suci, yaitu, 
"pesta demokrasi." Segala sesuatu dalam "pesta demokrasi," paling tidak melalui 
mulut manis, dikatakan "demi kepentingan rakyat," atau, digagah-gagahkan 
menjadi "dari rakyat, untuk rakyat," sehingga segala sesuatunya menjadi "atas 
nama rakyat."

Namun ingat, mereka yang ramai-ramai memanfaatkan partai sebagai kendaraan 
untuk mencapai kedudukan melalui pemilu tidak lain adalah rakyat pula. Karena 
itu, dengan dalih untuk "kepentingan rakyat," tanpa malu sebagian mereka 
memalsu ijazah, sebab masing-masing mereka adalah rakyat yang perlu dihidupi 
dalam sebuah acara suci bernama "pesta demokrasi."

Ingat, dalam Animal Farm George Orwell memyatakan, "all animals are equal, but 
some animals are more equal." Binatang, bagaikan manusia, semua sama, namun 
karena kelebihannya, antara lain melalui akal busuknya, beberapa manusia "lebih 
sama" daripada manusia lain.

Bukan hanya itu. Setelah atas nama rakyat mereka dipilih oleh rakyat untuk 
menjadi wakil rakyat, maka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat mereka 
mengamuk, dengan gaya "run amok" atau "run amuck," sambil berteriak-teriak 
dengan nada gagah, tentu dengan disaksikan oleh rakyat.

Bonek

Akar-umbi remaja, sekali lagi, tidak lain adalah generasi di atas remaja itu. 
Setelah reformasi, sekali lagi, yang suka tawur justru akar-ubi remaja itu 
sendiri. Maka jangan heran kalau ada serdadu menyerbu serdadu lain, tentu 
dengan gaya "run amok" atau "run amuck," yaitu berlari-lari dengan liar sambil 
mengamuk dan menembak-nembakkan senjata.

Bukan hanya itu. Rakyat, lepas dari masalah partai, tampak juga suka tawuran. 
Karena itu, ada rakyat dari kampung ini sekonyong menyerbu rakyat kampung itu, 
sembari membawa batu dan senjata tajam, dengan gaya "run amok" atau "run 
amuck." Tiap tawuran tentu ada alasannya, sebab, kata pepatah "tak akan ada 
asap manakala tak ada api."

Cara penyelesaian alasan itu, tampaknya tidak diselesaikan dengan sebuah slogan 
suci dalam Pancasila, yaitu "musyawarah dan mufakat," namun dengan sesuatu yang 
bukan slogan dan lebih mencerminkan jatidiri, yaitu mengamuk dan "run amok" 
atau "run amuck."

Jangan heran, bangsa ini mengantongi jatidiri yang tidak terpuji, yaitu jiwa 
bonek, sebuah nama untuk para suporter fanatik klub sepak bola yang modalnya 
hanya "bondo nekat," yaitu tidak punya modal selain kenekatan liar dan merusak. 
Para bonek ini menonton sepak bola, kalau perlu dengan menempuh jarak ratusan 
kilometer, tanpa uang sama sekali, lalu mengamuk dan merampok untuk kepuasan 
diri dan kepentingan perut sendiri, tentu saja, katanya, demi kepentingan klub 
pujaan mereka.

Maka, untuk kepentingan rakyat, ada yang tega memalsu ijazah, lalu dengan tega 
korupsi, lalu disambung dengan tega pula berpura-pura sakit, tentu saja untuk 
kepentingan rakyat, sebab tidak lain mereka adalah rakyat kategori bonek.

Budi Darma Sastrawan


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/rkgkPB/UOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to