HARIAN KOMENTAR
27 May 2006 


      Perkembangan Nasionalisme
      Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang 
     
     

Kontribusi pikiran suatu sistem federal bagi
Negara Republik Indonesia dari kacamata Minahasa

Tulisan ini merupakan analisa dari Buku desertasi PhD David E.F. Henley: 
'Nationalism and Regionalism' ; Artikel Gerry van Klinken : 'Christianity and 
Ethnicity in Indonesia', Ratulangi's Intelectuality ; Dan dua buku mutakhir : 
'Guns Germs & Steel' oleh Jarod Diamond dan 'The World is Flat' oleh Thomas L 
Friedman.


Sejarah karakter egaliter dan demokratis serta patriotisme dan nasionalisme 
bangsa Minahasa sesuai dengan catatan-catatan yang ada, sudah ber-langsung 
beberapa abad lama-nya jauh sebelum kekuasaan kolonial memasuki kepulauan 
Nusantara. Dari struktur sosial dan pemerintahan Minahasa, Wanua-Wanua (Desa) 
di Mina-hasa mempunyai karakter struk-tur pemerintahan ibarat 'Repu-blik Wanua' 
yang sangat man-diri (merdeka). Selanjutnya, ada dua catatan sejarah abad ke 17 
tentang Patriotisme Minahasa sebagai satu bangsa dalam seja-rah peperangan yang 
dilakukan oleh bangsa Minahasa dengan bangsa Spanyol di tahun 1667 dengan 
kemenangan Minahasa, dan pertempuran antara bangsa Minahasa dan bangsa Bolaang 
Mongondow yang terkenal di-dekat Tompaso dengan hasil kemenangan bangsa 
Minahasa pada tahun 1679.



Perang bangsa Minahasa melawan Spanyol di tahun 1667 yang berakhir dengan 
kekalahan Spanyol tersebut adalah juga berkat deplomasi bangsa Mina-hasa dengan 
bangsa Belanda yang pada waktu itu berada di Maluku. Dari hasil kekalahan 
Spanyol terhadap Minahasa maka pada tanggal 10 Januari 1679 diadakanlah suatu 
perjan-jian antara dua bangsa yakni bangsa Minahasa dan bangsa Belanda (VOC). 
Dari perjanjian tersebut, bangsa Minahasa se-benarnya tidak pernah me-ngakui 
bahwa Minahasa pernah dijajah oleh bangsa Belanda. Kedua bangsa adalah sejajar 
dan sama derajat. Oleh sebab itu perlakuan Belanda terhadap Minahasa kurang 
lebih bero-rientasi kepada perjanjian tahun 1679 di mana a.l. aspek pendi-dikan 
rakyat sangat menonjol. Patriotisme bangsa Minahasa dijaman kolonial diperoleh 
juga dari catatan-catatan sejarah yakni Perang Tondano (Mina-hasa) dengan 
Belanda di tahun 1801. 
I. Ada beberapa ungkapan pemikiran tokoh-tokoh Mina-hasa jaman kolonial tentang 
cita-cita Minahasa dalam bentuk Nasionalisme Bangsa Minahasa di jaman kolonial, 
a.l. adalah:


1. J.U. Mangowal pada tanggal 15 Desember 1915 yang diter-bitkan oleh Nafiri 
Minahasa pada tahun 1916 dalam kesem-patan peresmian Cabang Mana-do dari 
organisasi PERSERIKATAN MINAHASA yang berdiri di tahun 1909 oleh orang-orang 
Minahasa di Jawa mengatakan, 
"Minahasa, bangsaku! Jangan-lah engkau kecewa oleh karena keletihan, 
kemalangan, maupun penindasan. Lihatlah apa yang berlangsung di Eropa di mana 
tiap orang mencintai bangsanya sehingga bila ia mati di medan pertempuran ia 
seakan-akan ingin mengatkaan: Ambilah tubuh saya yang fana ini, saya berjuang 
sampai mati untuk tanahku dan bangsaku.(bersambung)
Kemajuan Minahasa yang sedang kita alami sekarang akan merupakan suatu kenangan 
yang indah untuk turun - temurun orang Minahasa dan akan merupakan suatu 
kebesaran yang abadi untuk tanah Minahasa dan bangsa Minahasa."
2. Mengomentari tentang berdirinya PERSERIKATAN MINAHASA di tahun 1909, DR. 
G.S.S.J. Ratulangi dan F. Laoh di tahun 1917 memberikan komentar tentang 
Idealisme Nasionalisme Minahasa sbb: 
"Semua yang menyangkut perasaan dan berpikir tentang idealisme Nasional 
Minahasa sudah terkonsentrasi dalam organisasi Perserikatan Minahasa yang 
didirikan pada tahun 1909".
3. Dr. Sam Ratulangi, dalam Harian Pikiran (Manado) 31 Mei 1930 menyatakan 
berdirinya Organisasi Politik 'Persatuan Minahasa' di tahun 1927 sbb:
"Maksud utama dari PERSATUAN MINAHASA adalah menjaga keselamatan dan 
kesejahteraan Bangsa Minahasa. Tidak ada gunanya bagi kita untuk mengingkarinya 
karena maksud dan tujuannya adalah baik.
Kita tak dapat katakan bahwa sikap tersebut adalah "Egois" karena sikap 
tersebut adalah bagian mutlak dari Jatidiri Manusia. Semua orang mempunyai hak 
dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri tanpa membahayakan kepentingan 
masyarakat umum dalam proses tersebut.
Sejalan dengan itu, tiap bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus diri 
sendiri tanpa membahayakan kepentingan bangsa lain.
Untuk ini, Persatuan Minahasa harus berikan perhatian utamanya kepada situasi 
lokal yakni TANAH MINAHASA dan BANGSA MINAHASA. Karena biarpun Bangsa Minahasa 
sekarang ini telah tersebar di seluruh Nusantara (Indonesia), kita selalu tetap 
terikat dengan tanah lahir kita dalam ikatan spiritual".
II. GERAKAN PEMIKIRAN NASIONALISME ETNIS MINAHASA.
1. Nasionalisme Regional (Etnis) yang berkembang pada permulaan abad ke 20 
sering di gambarkan sebagai salah satu komponen dari bertumbuhnya Gerakan 
Nasionalisme Indonesia. Tetapi perkembangan nasionalisme Minahasa, adalah juga 
sebagai ungkapan 'sentimen premordial etnis'. Premordialisme etnis yang dijaman 
sekarang ditanggapi secara negatif oleh orang-orang 'ultra nasionalis' atau 
'pan-nasionalis', sebenarnya adalah sesuatu sifat manusia atau kelompok (etnis) 
manusia yang sangat alamiah dan oleh sebab itu logis. Karena kenyataan etnis 
Minahasa sangat terkait dengan ciptaan Tuhan terhadap manusia dan kelompok 
manusia yang mempunyai sifat-sifat yan sama dengan hak azasi manusia dan hak 
azasi etnis (*). 

Namun demikian, di Minahasa Nasionalisme Lokal yang disebut Nasionalisme Etnis 
Minahasa yang bersumber secara eksklusif etnis Minahasa adalah suatu 
perkembangan nasionalisme yang spesifik otonom yang disebabkan oleh berbagai 
faktor proses modernisasi barat, sama seperti modernisasi barat yang mendukung 
Nasionalisme Indonesia. Hanya saja perkembangan nasionalisme Minahasa telah 
berlangsung dalam skala yang lebih kecil tetapi ternyata dimulaikan lebih awal 
dari proses Nasionalisme Indonesia.

Penelitian dan analisa tentang Nasionalisme Regional / Etnis Minahasa oleh 
David Henley berlangsung dalam suatu periode relatif pendek hingga tahun 1942 
dengan memperhatikan faktor-faktor :
- Sifat karakter prakolonial Minahasa yang mengandung karakter pluralisme, 
demokratis egaliter, terbuka dan bersemangat tinggi (patriotis). 
- Transformasi Minahasa oleh perdagangan koffie, kopra dan cengkih; 
perkembangan pesat agama Kristen dan Pendidikan modern di Minahasa yang luas.
- Lahirnya Dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Minahasa Raad) yang pertama diseluruh 
Nusantara (1919).
- Kedudukan khusus orang Minahasa jaman kolonial dibandingkan dengan 
orang-orang Indonesia lainnya.
- Pergumulan banyak orang Minahasa sampai tahun 1942 untuk berjuang berdirinya 
Negara Indonesia dengan bentuk Federal, bahkan Commonwealth (Persemakmuran) 
dimana tiap kelompok nasional etnis (bangsa) termasuk Bangsa Minahasa, tetap 
akan memperoleh status otonomi sempurna.

2. PERAN PEMIMPIN-PEMIMPIN KRISTEN DALAM GERAKAN NASIONALISME MINAHASA

Agama Kristen berkembang sangat cepat di Minahasa. Dalam jangka waktu relatif 
sangat pendek seluruh penduduk tanah Minahasa sudah menerima agama Kristen 
menjadi agamanya. Karena itu juga Dewan Pekabaran Injil di Belanda dalam salah 
satu laporannya mengatakan bahwa Pekabaran Injil di Minahasa adalah 'Mahkota 
Pekabaran Injil' dari Zending Nederland.
Berdasarkan kenyataan geografis, budaya maupun bahasa dan asal usul orang 
Minahasa maka sejak awal baik pimpinan Zending Protestan di Belanda maupun Guru 
- guru dan Pendeta - Pendeta pribumi Minahasa telah berpikir berdirinya Gereja 
Minahasa yang otonom terlepas dari ikatan organisasi Zending Belanda, Gereja 
Belanda maupun lepas dari Pemerintahan Kolonial Belanda.

Kesadaran tentang perasaan nasionalisme orang Kristen Minahasa sudah dimulaikan 
sejak 1875 - 1882 waktu Indische Kerk mengambil alih peran pekerjaan Zending di 
Minahasa.

W. Sumampow dan J. Walintukan adalah dua pelopor guru Zending di tahun 1892 
yang menentang secara terang-terangan kontrol Indische Kerk terhadap sekolah - 
sekolah Zending. Mereka diberhentikan dari jabatan guru Zending karena mereka 
memaksakan untuk mengangkat Pendeta-Pendeta orang Minahasa.

Tulang punggung dari suatu gerakan untuk berdirinya Gereja Minahasa yang 
berdiri sendiri berada dalam jajaran guru-guru Zending yang bekerja di 
desa-desa Minahasa. Ditahun 1910 suatu asosiasi guru-guru Zending yang 
dinamakan Pangkal Setia dan dipimpin oleh A.M. Pangkey dan J.U. Mangowal 
didirikan.

Pangkal Setia bukanlah suatu organisasi guru yang berorientasi politik. Pangkal 
Setia menganut sikap yang diajarkan Zending yakni : Oposisi Loyal.

Oposisi loyal yang diajarkan Zending tersebut berorientasi kepada pendirian 
bahwa orang Kristen harus menyuarakan kenabiannya dalam hal kebenaran dan 
keadilan. Dan dalam kedua hal ini Zending sering tidak sejalan dengan 
Pemerintahan kolonial.

Harian Zending 'Tjahaja Siang' hampir saja dibreidel oleh Pemerintahan Kolonial 
oleh karena kritikannya dan pada tahun 1920 sewaktu seluruh staf redaksi 
dipegang oleh orang Minahasa maka Harian tersebut menjadi lebih kritis dan 
menjadi trompet politis orang Minahasa.

Pada tahun 1932 Pangkal Setia mengadakan koalisi dengan gerakan Nasionalisme 
yang sekuler yakni dengan organisasi Persatuan Minahasa.

Gerakan Nasionalisme yang berkembang diantara guru-guru Zending dan para 
Pendeta asal Minahasa mengalami kulminasi dengan berdirinya KGPM ditahun 1933 
dan GMIM di tahun 1934.

Pemimpin-pemimpin (B.W Lapian dan A.Z.R Wenas) kedua gereja tersebut dengan 
bangga tetap mempergunakan istilah Bangsa Minahasa dan Tanah Air Minahasa 
sebagai orientasi pengungkapan pendirian Nasionalisme mereka yang identik 
dengan pemimpin - pemimpin (Ratulangi cs.) politik masyarakat Minahasa pada 
waktu itu. Bahwa sesuai dengan kenyataan, dua lembaga Gereja KGPM dan GMIM 
hingga sekarang adalah satu-satunya lembaga yang tetap ada dengan 
mempertahankan identitas ke-Minahasa-annya.

3. PERSATUAN MINAHASA, 1927
Gerakan Nasionalisme Federal Minahasa.
Apakah Nasionalisme Minahasa berada di luar Wawasan Nasional Indonesia? 
Jawabnya: Ya dan Tidak. Pada permulaan, aspirasi nasionalisme Minahasa sangat 
berorientasi kepada pemikiran Minahasa sebagai satu negara yang merdeka, namun 
dalam perkembangannya sebelum tahun 1942 tersebut kaum intelektual Minahasa 
mengambil sikap bahwa apapun masa depan politik mereka, tanah air dan bangsa 
Minahasa akan menjadi bagian dari suatu Indonesia yang lebih luas. Kebanyakan 
kaum intelegensia Minahasa menerima kenyataan yang ideal akan Indonesia 
Merdeka, sehingga Ratulangi, Maramis, Laoh, Palar, Mononutu dll turut berjuang 
untuk kemerdekaan Indonesia.
Tetapi gambaran Indonesia yang mereka pikirkan adalah suatu gambaran yang 
berlainan dengan apa yang dipikirkan dan diproklamasikan oleh Soekarno.

Bagi sebagian besar kaum intelektual Minahasa, Nasionalisme Persatuan Indonesia 
berdasarkan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dengan falsafah integralisme 
Jawa (Soekarno dan Soepomo) dan wawasan 'imperialisme' kerajaan Mojopahit, 
adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang Minahasa. Bagi kaum 
intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, Negara Indonesia adalah 
suatu projek perjuangan politik yang tidak didukung oleh kenyataaan sejarah 
maupun budaya bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia. Negara 
Indonesia adalah kenyataan politik berdasarkan wawasan geografis jajahan 
Belanda. Oleh sebab itu apa yang disebut bangsa Indonesia bagi kaum intelektual 
Minahasa adalah sesuatu yang abstrak; sehingga bagi mereka Negara Indonesia 
yang merdeka harus merupakan suatu Federasi dari bermacam - macam bangsa yang 
mendiami kepulauan nusantara Indonesia, dimana tiap bangsa akan mempertahankan 
identitas/otonomi politik maupun budaya sendiri.
Dibawah ini saya kutip ungkapan Sam Ratulangi yang dimuat dalam harian 
'Fikiran' Manado tgl. 31 Mei 1930 dan 'Nationale Comentaren' tgl. 26 Nopember 
1938 kontrak politik bangsa Indonesia sbb:
"Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politik. 
Kenyataan ini didasarkan kepada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk 
suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan 
menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang 
bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menghormati 
dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut. - Namun dilain 
pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus 
mengakui dan menghormati hak azasi dari setiap kelompok etnis untuk 
mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut".
Demikianlah interpretasi Ratulangi tentang Persatuan dan Nasionalisme Indonesia.

Pemikiran dan pendirian status Otonomi luas (sempurna) Minahasa dalam sistem 
Federal Indonesia mengandung suatu perasaan kepedulian yang kuat akan nasib 
tanah dan bangsa Minahasa yang berorientasi kepada kenyatan masyarakat Minahasa 
sebagai satu bangsa yang alamiah yakni :
- yang asal usulnya sama
- yang berdiam dalam suatu daerah yang batas-batas geografis jelas
- yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama 
yang sama.

Semua unsur- tersebut diatas menunjukkan bahwa Minahasa memenuhi syarat-syarat 
yang mutlak, untuk dapat menyebut dirinya sebagai suatu negara yang berdaulat.

Selanjtnya, dalam sebuah artikel berjudul 'Christianity and Ethnicity in 
Indonesia; The Intelectual Biography of Sam Ratulangi' yang dibawakan dalam 
satu simposium di Universitas Frankfurt pada bulan Desember 2003 oleh Gerry van 
Klinken dari KITVL di Leiden, Nederland; a.l. ia katakan bahwa pemikiran 
intelektual Nasionalisme Etnis Minahasa; Ratulangi memperolehnya dari 
penggalian budaya asli Minahasa yang ia hubungkan dengan falsafah semangat 
'Bushido' Jepang oleh Nitobe dan semangat falsafah 'kebenaran pragmatis' Eropa 
(1907) oleh William James. Ratulangi menurut Gerry van Klinken sangat 
menekankan bahwa Nasionalisme Minahasa ada hubungan yang erat sekali dengan 
budaya asli Minahasa maupun agama Kristen yang datang ke Minahasa bersamaan 
dengan budaya modernisasi Eropa. Jadi, Kekristenan dan Budaya asli Minahasa 
sudah merupakan satu kesatuan yang membentuk Nasionalisme Etnis Minahasa. Dan 
Ratulangi dengan sangat cemerlang telah menguraikan pikirannya itu dalam 
berbagai pertemuan mahasiswa-mahasiswa jamannya di Nederland yang turut 
didengar pula oleh dua orang senior intelektual Ratulangi yaitu van Deventer 
dan Abendanon.
Dan oleh sebab itu, menurut analisa Gerry van Klinken, Ratulangi sejak tahun 
1922 sampai ia meninggal di tahun 1949 sangat konsisten dengan pemikiran sistem 
federal untuk Republik Indonesia dimana Nasionalisme Minahasa dapat 
terakomodir. Ratulangi sangat yakin bahwa Nasionalisme Indonesia harus dibangun 
dari akarnya, yakni nasionalisme yang bertumbuh dari Nasionalisme Bangsa-Bangsa 
Etnis yang sangat plural yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara. Ratulangi 
sangat yakin bahwa Indonesia Merdeka akan menjadi satu negara yang besar dan 
kokoh bila ia dibangun atas pondasi nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang 
demokratis dengan identitas budayanya masing-masing.

Namun demikian menghadapi gerakan politik nasionalisme Indonesia yang lebih 
luas maka kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, 
mengambil sikap yang pragmatis dan akomodatif tentang realisme politis, dengan 
terbentuknya suatu negara Republik Indonesia sebagai nasib perjuangan bersama 
melawan kolonialisme dari seluruh bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepulauan 
nusantara Indonesia. 

Waktu diadakan perdebatan penyusunan UUD 1945 Ratulangi tidak ikut sebagai 
anggota BPUPKI. Ia sadar bahwa arus membentuk negara kesatuan RI yang 
dipelopori oleh Soekarno, Moh. Jamin dan Soepomo terlalu kuat. Namun, pada 
tanggal 18 Agustus 1945, Ratulangi yang didukung oleh AA Maramis, J. 
Latuharhari (Maluku), I Ketut Puja (Bali), Andi Pangerang Peta Rani (Makasar) 
dan Tajuddin Noor (Kalimantan) serta mahasiswa-mahasiswa asal Minahasa dalam 
sidang pertama PPKI untuk menetapkan UUD RI, dengan tegas menolak Piagam 
Jakarta (Syariat Islam) dalam UUD RI tersebut dengan 'ancaman' bahwa Indonesia 
Timur tidak akan ikut dalam Republik Indonesia, bahkan akan membentuk Negara 
Indonesia Timur yang berdaulat dengan sistem federal. 'Ancaman' tersebut 
akhirnya membuahkan pencaputan 'Piagam Jakarta', dan beberapa pasal yang 
berorientasi Islam juga mengalami perobahan. Sikap Ratulangi dkk yang tegas 
tersebut ternyata mempunyai implikasi yang panjang sampai sekarang. 

Ternyata bahwa pemikiran sistem federal bagi Indonesia dimana Minahasa akan 
mempunyai status negara bagian, terus diperjuangkan oleh kelompok federalis di 
Minahasa. Delegasi KKM (Komite Ketatanegaraan Minahasa yang terdiri dari Prof. 
Dr. Warouw, Prof. Dr. Engelen, Mr. Ingkiriwang, Ranti, Dengah dan Rampen 
bertolak ke Nederland untuk berjuang di Konperensi Meja Bundar supaya Minahasa 
diakui sebagai satu negara bagian dalam RIS yang akan dibentuk. Mereka gagal 
dalam usaha tersebut. 

Dalam menerima suatu kenyataan berdirinya negara Republik Indonesia yang 
merdeka Ratulangi cs tetap teguh dalam pendirian bentuk negara Federal dengan 
Otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan atas idealisme sosial, politik, budaya 
dan agama. Karena bagi mereka (Ratulangi cs.) Minahasa tetap merupakan suatu 
Vaderland ketimbang suatu Propinsi; suatu TANAH AIR ketimbang suatu daerah. Dan 
pemikiran federal Ratulangi tersebut ia telah ulangi dalam satu wawancara 
dengan seorang wartawan Belanda diakhir hidupnya pada tahun 1949. Berkatalah 
Ratulangi waktu itu: 
"Saya adalah seorang federalis. Saya bercita-cita adanya suatu struktur 
pemerintahan yang demokratis dan adil bagi Indonesia Merdeka yang ikut saya 
perjuangkan, agar satuan-satuan daerah yang membentuk Republik Indonesia secara 
politis psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh (Belanda: 
Levenskrachtig)". 

Epiloog
Setelah 60 tahun Indonesia merdeka dengan menganut sistem Negara Kesatuan yang 
berakibat jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang sudah 
sangat maju; dan banyak lagi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia, saya 
mengajak para pembaca merenungkan apa yang ditulis tentang kemajuan Eropa/A.S 
dibandingkan dengan Cina; kemudian kemajuan India dan Malaysia sebagai dua 
negara federal yang sukses muncul di abad ke 20 yang diuraikan dalam dua buku 
terlaris didunia pada awal abad ke 21. 
Kedua buku itu adalah: 'GUNS, GERMS and STEEL' oleh Jared Diamond dan 'THE 
WORLD is FLAT' oleh Thomas L Friedman. Dari sebuah kutipan yang sangat singkat 
dari kedua buku yang tebalnya masing-masing sekitar 500 halaman, saya kutip 
satu paragraf yang Jared Diamond mau katakan tentang kemajuan Eropa dibanding 
dengan Cina sbb: 

"China led Europe in technology at least untill the 15th century and might do 
so again in the future. But why did Europe developed so fast, and not China. I 
suggested that the underlying reason behind Europe's overtaking China was 
something deeper than the proximate factors suggested by most historians (e.g. 
China's Confusionism versus Europe's Judeo-Christian tradition, the rise of 
western science, the rise of western mercantilism an capitalism etc.). Behind 
these and other proximate factors, I saw an Optimal Fragmentation Principal, 
and that is : ultimate geographic factors that led to China becoming unified 
early and mostly remaining unified thereafter, while Europe remained constantly 
fragmented. Europe's fragmentation did, and China's unity didn't foster the 
advance of technology, science and capitalism by fostering competition between 
states and providing inovators with alternative sources of support and heavens 
from persecution". 

Tentang kemajuan India, Thomas L Friedman berkata sbb: 
"Why has India progress rapidly in the last 50 years while it has about 150 
million Muslims, the second largest Muslim country after Indonesia. The answer 
is context. And in particular the secular, free market, democratic context of 
India, heavily influenced by a tradition of non-violence and Hindu tolerance. 
India has progressed rapidly because of its brainy, computer wizard and 
outsourcing character. It has a pride and strong self-identy character. 
The French Revolution, the American Revolution, the Indian Federal democracy, 
are all based on social contracts whose dominant features is that authority 
comes from the bottom up, and people can and do feel self-empowered to improve 
their lot. People living in such contexts tend to spend their time focusing on 
what to do next, not on whom to blame next".
"A South Asian Muslim friend of mine once told me this story: His Indian Muslim 
family split in 1948, with half going to Pakistan and half staying in India. 
When he got older, he asked his father one day why the Indian half of the 
family seemed to be doing better than the Pakistani half. His father said to 
him, 'Son, when a Muslim grows up in India and he sees a man living in a big 
mansion high on a hill, he says, "Father, one day, I will be that man". And 
when a Muslim grows up in Pakistan and sees a man living in a big mansion high 
on a hill, he says, "Father, one day I will kill that man".' When you have a 
pathway to be the Man or the Woman, you tend to focus on the path and on 
achieving your dreams. When you have no pathway, you tend to focus on your 
wrath and on nursing your memories."
Demikian dua paragraph dari Thomas L. Friedman, wartawan terkenal The New York 
Times dalam bukunya 'The World is Flat'.

Dari kedua contoh uraian diatas, berdasarkan suatu penelitian dan analisa 
kontemporer yang sangat dapat dipercaya oleh penulis-penulis ternama didunia 
tsb. (Jared Diamond and Thomas L. Friedman), dapat kita ambil sari dan 
maknanya, bahwa perobahan yang diperlukan Negara Indonesia dan orang Indonesia 
sekarang ini adalah suatu perobahan yang sangat mendasar, yaitu perobahan 
karakter budaya identitas manusia Indonesia yang harus berorientasi sekaligus 
kepada perobahan sistem negara yang lebih demokratis (federal) dan bersumber 
dari budaya jatidiri pluralisme bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia 
dengan masing-masing bangsa (etnis) mempunyai jatidiri dan hargadiri. Negara 
Kesatuan RI yang sampai sekarang ingin dipertahankan terus adalah suatu 
Kesatuan Bangsa dan Negara yang semu, hasil buatan elit manusia Indonesia yang 
tidak 'rasional' dan 'alamiah'. Kesatuan Negara RI yang kita warisi dari 
orientasi pemikiran kekuasaan kolonial Belanda adalah kesatuan bangsa dan 
negara yang sudah gagal karena tidak didukung dan dijiwai oleh budaya dan 
karakter bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepualauan nusantara sejak 
berabad-abad. Perobahan dan pembaharuan secara komprehensif dan menyeluruh 
diperlukan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, sehingga seperti yang 
berlangsung di Eropa, India, Malaysia dan (China), bahwa manusia akan lebih 
banyak memperhatikan perbuatan yang nyata dengan persaingan yang sehat serta 
kreatif, dan tidak saja terus menerus bersungut-sungut sambil mempersalahkan 
orang lain. Perobahan karakter manusia Indonesia harus dibarengi dengan 
memberikan jalan (pathway) perobahan struktur dan sistem Negara Kesatuan 
Republik Indonesia kearah sistem jalan (pathway) federal. Tidak ada jalan lain. 
Semoga! 

Hari Kebangkitan Nasional 
21 Mei 2006
Tanah Minahasa
Dr. B.A. Supit.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
You can search right from your browser? It's easy and it's free.  See how.
http://us.click.yahoo.com/_7bhrC/NGxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to