http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/14/opi3.htm
Busung Lapar dalam Visi Kepemimpinan Oleh: Fahruddin Salim MENCUATNYA kasus busung lapar dan gizi buruk yang melanda daerah NTB dan NTT serta kemungkinan juga menimpa daerah lain, sungguh sangat memprihatinkan. Di NTT jumlah anak yang mengalami kekurangan gizi atau gizi buruk akut hingga busung lapar mencapai 66.685 anak. Sementara di NTB anak yang mengalami gizi buruk mencapai 655 balita, belum termasuk 13 anak meninggal akibat gizi buruk. Kasus busung lapar dan gizi buruk diperkirakan mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia. Realitas di atas hanya salah satu dari dampak ketidakseriusan pemerintah dalam mengkaji persoalan tentang kesejahteraan-kesehatan anak-anak. Padahal pemerintah sudah membangun Pusat Informasi Terpadu Tentang Kedaruratan Gizi. Pusat informasi ini ada di tingkat provinsi dan kabupaten di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sayangnya pembentukan pusat informasi tersebut ternyata belum sepenuhnya optimal. Pemerintah memang sigap mengatasi masalah tersebut, seperti menerjunkan Tim Departemen Kesehatan ke provinsi itu untuk mengupayakan peningkatan surveillance atau pengawasan, memberikan makanan tambahan, dan mengobati yang sakit. Termasuk menganggarkan dana Rp 150 miliar untuk menanggulangi busung lapar, tak hanya di NTB, tetapi di seluruh Indonesia. Tetapi langkah tersebut hanyalah pemecahan insidental dan instan, bukan permanen. Kondisi tersebut juga semakin menyadarkan kita tentang rendahnya tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Termasuk tidak jelasnya strategi yang harus dilakukan untuk mewujudkan amanat tersebut. Reorientasi Paradigma Munculnya kasus busung lapar menunjukkan adanya ketidakberesan dengan kebijakan pembangunan, yakni kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan dan hak paling dasar minimum rakyat, seperti pangan, papan dan kesehatan. Jika kita tengok kembali jumlah 1,67 juta balita itu baru yang mengalami kurang gizi sangat parah. Secara total, jumlah yang mengalami kurang gizi sedang dan parah di negeri ini, menurut hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 mencapai 27,3 persen dari jumlah total anak balita (20,87 juta orang pada 2005) atau 5,7 juta anak balita. Bukan hanya anak balita yang kurang gizi. Menurut Susenas yang sama, dua pertiga dari 220 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan, diukur dari tingkat asupan energi yang kurang dari 2.100 kilo kalori per hari. Padahal, menurut pemerintah angka kemiskinan berdasarkan tingkat konsumsi kalori (setara 2.100 kilo kalori per hari) dan pengeluaran nonmakanan lain, sudah bisa ditekan dari 23,4 persen tahun 1999 menjadi 17,4 persen tahun 2003. Sementara data WHO, pada tahun 1998 terdapat 17,22% anak usia 6 - 17 bulan mengalami kurang gizi, dan 11,89% mengalami gizi buruk. Dampak perkembangan anak yang kurang gizi menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan pertumbuhan anak. Sebab sekitar 80% laju perkembangan otak anak terjadi pada masa pranatal dan di dua tahun pertama kehidupan. Oleh karena itu, kasus kekurangan gizi pada anak merupakan hambatan terbesar dalam usaha meningkatkan kualitas SDM. Masalah kesehatan dan gizi berpengaruh secara nyata pada kemampuan belajar pada murid sekolah . Kekurangan gizi saat kanak-kanak berpengaruh saat dewasa nanti. Tubuh yang pendek bahkan kerdil pada suatu tingkat umur tertentu merupakan gejala yang paling umum bagi mereka yang mengalami malnutrisi protein energi. Keterkaitan sumber daya manusia dengan kebutuhan kalori dan protein terdapat korelasi positif. Defisiensi beberapa zat gizi dan protein penting telah diketahui menyebabkan rusaknya beberapa fungsi alat tubuh seperti mata, tulang dan otak sehingga mengurangi kemampuan bekerja dan berpikir. Rendahnya kemampuan ini berakibat langsung pada rendahnya kemampuan untuk meraih teknologi. Sementara itu, kesehatan yang baik juga menjadi faktor penting dalam perkembangan perekonomian. Peran kesehatan terhadap perekonomian bisa dilihat dari beberapa cara yakni: mengurangi produksi yang hilang akibat pekerja yang sakit; memungkinkan penggunaan sumber daya alam yang sebelumnya tidak dapat dimanfaatkan karena adanya wabah atau penyakit; meningkatkan peran sekolah anak-anak dan juga membuat mereka lebih baik dalam menangkap pelajaran; memungkinkan penggunaan sumber daya manusia dan finansial yang ada untuk kepentingan yang lebih baik daripada sekadar digunakan untuk mengobati penyakit. Perhatian Rendah Harus kita akui bahwa kondisi buruk ini terkait dengan rendahnya perhatian pemerintah. Dalam laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004 yang berjudul The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia ditekankan bahwa pada alam demokrasi saat ini anggaran belanja untuk kepentingan publik adalah pendorong yang penting dan berperan nyata dalam memenuhi standar pembangunan manusia dan hak-hak warga atas pembangunan itu. Laporan tersebut juga memaparkan, untuk memenuhi hak-hak dasar warga atas pembangunan manusia, yaitu hal atas keamanan pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan keamanan fisik, biaya yang dikeluarkan pemerintah hanya tiga persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara untuk dapat menjamin bahwa hak-hak dasar tersebut dirasakan setiap orang, dana tambahan yang diperlukan yang berarti belanja untuk keperluan publik paling tidak harus naik dari angka tiga persen menjadi enam persen dari PDB. Selain masalah rendahnya anggaran untuk kepentingan publik, ada beberapa kondisi yang perlu dipecahkan yakni upaya meningkatkan akses penduduk terhadap fasilitas publik. Kendala geografi yang menyebabkan daerah terpencil mengalami hambatan transportasi bisa menyebabkan akses terhadap kebutuhan pokok lebih sulit, meskipun daerah tersebut secara umum cukup subur. Belum lagi akses fasilitas publik seperti kesehatan dan pendidikan juga bisa mengalami hambatan. Harus diakui pula bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di sektor pertanian termasuk nelayan masih hidup miskin. Ketimpangan pendapatan seringkali menjadi kendala dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok. Tidak kalah parahnya adalah adanya kesenjangan komitmen antara pemerintah pusat dan daerah, sebab program-program untuk peningkatan kesejahteraan anak termasuk pendidikan seringkali disunat. Untuk itu, perlu perubahan paradigma dalam menilai keberhasilan pembangunan. Bila selama ini masyarakat terpaku pada pencapaian fisik, sekarang saatnya masyarakat melihat hal-hal yang nonfisik. Oleh sebab itu, perlu adanya visi kepemimpinan, baik pada level pemerintah pusat maupun daerah otonom yang visioner dalam upaya mewujudkan kualitas SDM. Langkah ini bisa dicapai melalui upaya peningkatan pembiayaan bagi kualitas hidup melalui pelayanan publik seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan sebagai bagian dari kerja besar pemerintahan daerah.(11) -Fahruddin Salim, SE, MM anggota tim ahli di FPPP DPR-RI, analis di Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> In low income neighborhoods, 84% do not own computers. At Network for Good, help bridge the Digital Divide! http://us.click.yahoo.com/S.QlOD/3MnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/