http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=202875
Senin, 19 Des 2005, Desentralisasi Fiskal dan Pertarungan Kewenangan Pusat-Daerah Daerah Tuntut Adil, Pusat Minta Good Governance Setelah setahun UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diterapkan, masih muncul berbagai permasalahan. Terutama soal desentralisasi fiskal dan kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Berikut laporan Tim JPIP dari seminar yang diprakarsai Partnership dan YHB Center di Pekanbaru lalu. Penerapan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tak serta merta memuaskan semua pihak. Banyak yang justru gundah atas adanya implementasi UU tersebut. Dalam hal desentralisasi fiskal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah (otda) selama ini. Tetapi, good governance juga menjadi problem besar dalam pemerintahan daerah. Di satu sisi, ada problem dana pemerintah pusat ke daerah belum sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah. Tapi, pada sisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak dikelola maksimal oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyatnya. Tarik ulur implementasi otda menjadi kesimpulan seminar sehari yang diselenggarakan Universitas Riau (Unri) yang bekerja sama dengan YHB Center, Partnership, serta JPIP pada 6 Desember 2005 di Pekan Baru, Riau. Idealnya, otda menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan imbang (vertikal dan horizontal) serta memunculkan good governance dengan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti, serta partisipatif. Seminar tersebut menghadirkan Dr Nuzul Achyar (LPEM UI), Drs Deliarnov MSc (Fekon Unri), Prof Dr H Muchtar Ahmad MSc (rektor Unri), Dr Tri Ratnawati (LIPI), serta Dra Hj Tiolina Pangaribuan (kepala Badan Promosi dan Investasi Riau). Seminar itu juga dihadiri Prof Dr Tabrani Rab (tokoh Melayu) serta perwakilan Kadin dan pemda. Menurut Muchtar Ahmad, pemanfaatan dana perimbangan oleh pemerintah daerah memang belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi, dana perimbangan pusat untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah tersebut. Bila tidak, ancaman disintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini. Menurut Nuzul Achyar, persoalan desentralisasi fiskal bukan terletak pada formula perimbangannya. Sebagai salah satu tim perumus dana perimbangan (DAU) pemerintah pusat, dia menjelaskan, persoalannya terletak pada good governance dalam menjalankan sistem pemerintahan. Menurut dia, berapa pun dana perimbangan yang diberikan kepada pemerintah daerah, tanpa ada good governance, dana tersebut akan menguap dan tidak bisa menyejahterakan rakyat daerah. Asumsi Nuzul itu berangkat dari pertanyaan apakah ada jaminan reformulasi DAU tidak akan menimbulkan persoalan baru? Seberapa signifikan terhadap tambahan pendapatan daerah? Dan, apakah tambahan pendapatan daerah akan menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat? Bagi Nuzul, good governance-lah jawabannya. Dalam APBN 2006, secara keseluruhan belanja daerah naik 44 persen dibandingkan APBN 2005. Kenaikan terbesar terjadi pada DAK yang meningkat 141 persen, sedangkan DAU naik 64 persen. Pagu DAU ditetapkan minimal 25,5% penerimaan dalam negeri (PDN) neto (sampai 2007). Menurut Nuzul, kenaikan anggaran tersebut menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap desentralisasi. Termasuk isu dana lobi untuk memperbesar DAU daerah adalah bohong. Sebab, formula besaran DAU yang diterima setiap daerah sudah jelas. Jadi, sulit dilakukan perubahan karena faktor lobi. Namun, bagi Deliarnov, permasalahan desentralisasi fiskal tidak sesederhana itu. Selain pembagian wewenang (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment) dan pinjaman daerah, pilar utama desentralisasi fiskal adalah transfer dana dari pusat ke daerah (intergovernmental fiscal transfer). Persoalan polemik DAU terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang DAU. Bagi pusat, DAU dijadikan instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, itu dimaksudkan untuk mendukung kecukupan (sufficiency). Persoalan timbul ketika daerah meminta DAU sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi DAU berdasar kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasar standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran -khususnya APBD- belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Demikian pula dengan bagi hasil dari sektor pajak. Daerah sering dipersalahkan karena memunculkan pajak dan retribusi daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bagi daerah, ini semacam mengais remah-remah PAD karena sumber pajak yang gemuk sudah diserobot pusat. Dalam hal ini, daerah menuntut keadilan dengan sistem bagi hasil yang lebih besar, kalau tidak sumber pajak-pajak gemuk diserahkan ke daerah. Seminar ini merekomendasikan perlunya mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah dalam penentuan DAU. Kebutuhan daerah sedikitnya menyangkut jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, tingkat pendapatan masyarakat, dan masyarakat miskin. Lebih khusus menyangkut indeks tingkat kesulitan pembangunan dengan memperhatikan daerah pesisir-kepulauan-pedalaman, indeks tingkat pendidikan dan kesehatan (melek huruf dan harapan hidup), indeks KFM, serta indeks ICOR. Sementara itu, potensi daerah setidaknya menyangkut potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, PDRB, dan indeks PAD. (dadan/Tim JPIP) Pusat Panen Untung, Daerah Tuai Masalah PENGELOLAAN sumber daya alam (SDA) dalam desentralisasi fiskal menimbulkan banyak masalah. Hal itu ditandai turunnya investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di daerah kaya SDA. Pemerintah pusat dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besar-besaran, terutama daerah kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Sebagai bukti, meski dikatakan sebagai daerah kaya, pembangunan prasarana ekonomi di daerah itu tertinggal dibanding daerah lain. Ekspresi ketidakpuasan daerah selama ini menjadi fenomena wajar. Misalnya, tentang bagi hasil migas. Kasus 48 daerah penghasil migas yang mengancam memblokade produksi migas di daerahnya pada pertengahan 2002. Saat itu, penetapan SK Menkeu No 24/KM.66/2002 tentang bagi hasil migas dianggap tidak transparan. Sebab, hanya memberikan 1-2 persen dari angka sesungguhnya pengambilan migas di masing-masing daerah. Deliarnov menyatakan sangat mungkin daerah penghasil dirugikan. Karena informasi tentang volume dan harga migas yang dihasilkan daerah tersebut hanya diketahui departemen teknis (ESDM). Daerah hanya menerima angka jadi perhitungan bagi hasil yang diberikan Depkeu. Terkait dengan hal tersebut, Nuzul pun mengakui kurangnya transparansi penghitungan bagi hasil SDA dan membingungkan pemerintah daerah. Dalam hal ini memang harus ada transparansi lifting dan bagi hasil migas. Bila perlu, daerah boleh menggunakan auditor eksternal untuk menghitung hak sesungguhnya. Skema bagi hasil minyak antara pemerintah pusat dan daerah hanya semu karena bukan bagi hasil yang riil. Profit split 85%-15% antara pusat-daerah dilakukan setelah beberapa kali mengalami potongan pajak dan retensi. Contohnya, Riau. Dengan perhitungan yang ada, dari hasil kotor Rp 50,79 triliun 2000, Riau hanya mendapatkan Rp 3,39 triliun yang berarti hanya 6,67 persen. Seminar tersebut mengungkapkan pula problematika pengelolaan SDA dikaitkan dengan kewenangan investasi. Hal itu bermula dari terbitnya Keppres No 28 dan 29 Tahun 2004 yang menarik kembali kewenangan investasi ke pemerintah pusat. Meski UU 32/2004 menyatakan pelayanan administrasi penanaman modal menjadi urusan wajib pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tetapi, RPP sebagai peraturan pelaksana UU 32/2004 dan RUU penanaman modal belum tentu selaras dengan UU 32/2004. Itulah yang dipandang sebagai penyebab menurunnya investasi di daerah. Investor bingung karena ketidakjelasan dan ketidakpastian peraturan. Akibatnya, banyak investor menunggu kepastian UU Investasi di Indonesia, khususnya di daerah. Menurut Dra Hj Tiolina Pangaribuan (kepala Badan Promosi dan Investasi Riau), sudah seharusnya kewenangan investasi berada di daerah. Sebab, semua dampak investasi (baik sosial maupun lingkungan) akan menjadi beban daerah. Tidak adil kalau kewenangan ada di pusat, sedangkan dampak kerusakannya ditanggung daerah. Demikian pula dengan hak pengelolaan tanah yang menjadi SDA di seluruh daerah terus menjadi problem otonomi. Betapa tidak, sampai saat ini, kewenangannya masih di tangan pemerintah pusat. Sementara itu, konflik-konflik pertanahan dan akibatnya menjadi problem daerah. Belum lagi konflik di kalangan masyarakat yang melibatkan pemerintah daerah maupun kepentingan kapital. Pengelolaan SDA juga sering berbenturan dengan tradisi adat dan nilai budaya lokal, seperti tanah ulayat. Manajemen eksploitasi SDA yang kurang tepat seperti timah di Bangka telah menimbulkan ekses kerusakan lingkungan dan konflik antar stakeholders yang berkepentingan. Problem pengelolaan SDA tidak sekadar terkait dengan kewenangan investasi yang memunculkan konflik vertikal pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tetapi, sering memunculkan problem horizontal antardaerah maupun masyarakat. Sebab, batas ekosistem tidak sama dengan batas geografis wilayah administrasi suatu daerah. Kawasan hutan sebagai satu kesatuan ekosistem lingkungan bisa jadi melintasi batas-batas wilayah administratif beberapa daerah. Demikian pula, ekosistem sungai bisa jadi melintasi beberapa kabupaten/kota bahkan provinsi. Lintas batas tersebut tidak hanya terjadi pada ekosistem lingkungan, tetapi bisa terjadi pula pada ekosistem budaya. Pada saat dan tempat tertentu bisa jadi merupakan kesatuan ekosistem lingkungan dan budaya sekaligus. Contohnya, sistem mata pencaharian seperti nelayan yang pada praktiknya tidak bisa dibatasi. Kasus pengavlingan wilayah laut pernah menjadi ironi implementasi otda. Seakan-akan, ikan juga harus memiliki KTP laut daerah tertentu. Akibat kesalahan manajemen eksploitasi SDA, teridentifikasi berbagai konflik sebagai berikut: (a) konflik pengelolaan antarkomoditas. Contohnya, limbah penambangan menimbulkan konflik dengan budidaya lada, ikan air tawar, dan komoditas lain yang ekosistemnya terusak. (b) Konflik pengelolaan antarsektor, yakni sektor pertambangan berbenturan dengan sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. (c) Konflik antardaerah, yakni dampak eksploitasi SDA satu daerah memasuki daerah lain. (d) Konflik sosial ketika dampak eksploitasi memasuki wilayah berpenghuni. Kerja sama antardaerah menjadi solusi yang diberikan Dr Tri Ratnawati (LIPI) untuk mengatasi konflik kewenangan pengelolaan SDA dan kewenangan lain. Dalam pembahasan kerja sama antardaerah itu muncul konsep "bio-region" yang banyak diwacanakan para aktivis lingkungan di tanah air. Konsep "bio-region" tersebut mengedepankan pengelolaan SDA yang didasarkan pada kesatuan sistem ekologis dan komunitas, tidak semata-mata wilayah administratif. Kerja sama pengelolaan SDA dalam konsep bio-region harus memperhatikan elemen bio-region yang sedikitnya mencakup kawasan lindung, DAS (daerah aliran sungai), kawasan pesisir, teluk dan laut, ekosistem pulau kecil, ekosistem kota, kawasan industri, manusia dan kebudayaan, sejarah komunitas lokal, sistem penguasaan SDA, serta mobilitas dan interaksi sosial. Dengan demikian, pengelolaan SDA tidak sekadar bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tetapi, itu juga mempertimbangkan kelangsungan pembangunan serta kehidupan generasi masa mendatang. (dadan/Tim JPIP) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Know an art & music fan? Make a donation in their honor this holiday season! http://us.click.yahoo.com/.6dcNC/.VHMAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/