REPUBLIKA
Minggu, 12 Juni 2005

Gajah Bengkak 

Oleh : Haedar Nashir 


Apa prestasi puncak para elite umat? Seminar dan bikin partai politik. 
Begitulah komentar sinis bernada kritik dari sementara orang. Seminar pun di 
negeri ini memiliki kasta. Ada seminar lokal di level bawah. Seminar nasional 
di tingkat menengah. Sedang strata paling tinggi ialah seminar internasional. 
Kian tinggi kastanya, seminar pun semakin bergengsi, dan membuat para elite 
seolah mengalami "mi'raj" ke langit utopia. Semacam ekstasi intelektual. 
Begitulah kritik para aktivis di akar-rumput. 

Sedangkan prestasi membikin partai politik, tak kalah sepektakuler. Puluhan 
partai politik di lingkungan umat Islam dalam dua kali Pemilu tumbuh bak jamur 
di musim hujan. Hasil akhirnya? Kalah dan perolehan suaranya tak 
menggembirakan. Eloknya lagi, partai-partai kaum sarungan itu bahkan kini 
dilanda penyakit kambuhan, pecah-belah. Satu partai bahkan bisa "beranak" jadi 
tiga. Sudah kecil dan kalah, pecah lagi. Sungguh sempurna carut-marut Islam 
politik. Tapi tak jera juga, bikin partai seperti hobi dan ketagihan. Politik 
akhirnya sekadar rebutan kendaraan kekuasaan. Bahkan jadi mata pencaharian, 
ujar Buya Syafii Maarif.

Apa pula kegemaran umat Islam? Mujahadah dan tabligh akbar. Bahkan zikir akbar 
segala. Jadi ada kastanya juga, dari akbar hingga asghar. Lebih-lebih kalau 
menjelang Pemilu dan pesta politik, kedua media konvensional umat itu 
benar-benar jadi primadona. Semakin besar jumlah massa, kian bangga para 
penyelenggaranya. Apalagi jika dihadiri pejabat teras dan artis tenar. Kini, 
kedua jenis perhelatan umat tersebut bahkan banyak dikemas dengan gaya 
entertainment yang anggun. Layaknya dunia hiburan, dengan para juru dakwah yang 
kenes bak selebritis. Malahan ada predikatnya, dari da'i sejuta umat hingga 
da'i satu triliun. Jadi da'i pakai label omset segala, kayak perusahaan.

Budaya populer agama memang masih menjadi ciri dari denyut kehidupan umat di 
negeri ini. Massa umat dari desa dan pinggiran kota bahkan rela berjejal-jejal 
naik kendaraan terbuka demi menghadiri perhelatan akbar semacam itu, dengan 
bekal makan dan minum sendiri. Wajah-wajah lugu dan sederhana terpancar dari 
rona umat di akar rumput itu. Menggambarkan sosok umat yang masih belum 
sepenuhnya sejahtera. Sementara para elitenya tampak makmur dan keren.

Kendati begitu, umat di bawah tetap berpenampilan gembira, seolah tak mengalami 
derita hidup berkekurangan. Mereka seolah sedang mencari oase spiritualitas 
yang menjanjikan berkah, dari kehidupan yang sesak napas. Lalu, apa pula 
kegemaran para politisi? Selain hobi bikin partai dan loncat dari satu ke 
partai lain, juga kian mantap dalam perburuan perjuangan "ayat kursi". 

Berlomba naik tangga kekuasaan di setiap lini dengan semangat tak kunjung 
padam. Kini, dalam gemuruh pemilihan kepala daerah (Pilkada), para politisi itu 
bahkan bersinergi dengan ormas-ormas keagamaan dan orang-orang kampus untuk 
berebut kursi eksekutif di pucuk pemerintahan daerah. Tak cukup jadi anggota 
legislatif dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), di antara mereka bahkan masih 
juga berburu kursi Pilkada. Mengejar jabatan publik seperti tak ada hentinya.

Entah, bagaimana rancang-bangun strategi dan arah masa depan umat Islam di 
negeri ini. Para elite cenderung sibuk berumah di atas angin. Sedang umat 
sendiri masih terjangkiti budaya populer. Di tengah kegalauan seperti itu 
bertumbuhan para sub-elite lapis tengah yang semakin menunjukan perilaku 
menerabas, lebih-lebih di dunia politik dan aktivitas keormasan. Mereka bahkan 
jadi broker politik juga. Masing-masing sibuk mengejar tangga mobilitas dengan 
jalan pintas, yang mematikan idealisme keumatan dan kerakyatan.

Bagaimana akibatnya? Kehidupan umat Islam seperti berkembang cepat, namun 
sesungguhnya sekadar jalan di tempat. Mengalami involusi. Seperti tari 
serampang dua belas atau gajah bengkak, meminjam istilah Pak AR Fakhruddin, 
mantan ketua PP Muhammadiyah. Kelihatan bergerak ke depan dan ke belakang, ke 
kiri dan ke kanan, tetapi tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Kelihatan 
sarat beban, tampak besar tetapi tak bertenaga secara kualitas. Gajah sehat 
saja lambat bergerak, apalagi gajah bengkak karena sakit kembung.

Sebenarnya tak jadi soal dan bahkan penting setiap lini ikhtiar elite dan umat. 
Seminar, kajian, mujahadah, tabligh, dan zikir akbar memiliki makna tersendiri. 
Semua bentuk aktivitas dapat menjadi jalan bagi kemajuan umat. Tapi yang sering 
hilang atau tak tampak ke permukaan ialah sinergi dan strategi yang menuju satu 
muara besar atau arus utama.

Kini sesungguhnya umat Islam memerlukan pengerahan potensi dan strategi yang 
bermuara ke hulu dalam saluran yang saling bersinergi. Bukan saling menjauh 
atau mengalir sendiri-sendiri. Seminar-seminar perlu, tetapi yang harus mulai 
dibangun ialah mengolah setiap bahan dan produk seminar itu untuk kepentingan 
yang semakin bersinergi dan membuahkan langkah-langkah nyata untuk perbaikan 
umat. Seminar dan kajian-kajian akademik bukan untuk sekadar memenuhi dirinya 
sendiri tanpa output dalam bentuk langkah-langkah strategis.

Perhelatan-perhelatan massal pun mungkin berguna untuk membangun ukhuwah dan 
kegembiraan umat. Umat masih memerlukan sarana-sarana sosial konvensional untuk 
mengembangkan solidaritas paguyuban sebagaimana lazimnya masyarakat yang masih 
berada dalam kultur komunal. Tapi jika tanpa diimbangi saluran-saluran lain 
yang lebih mengarah pada pengerahan potensi umat secara rasional dan konkret 
maka sampai kapan pun tidak akan terjadi proses pemberdayaan yang signifikan. 
Tidak akan ada percepatan kemajuan. Umat malah bisa jadi sekadar objek 
mobilisasi untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek elite atau kekuatan luar 
yang berkepentingan pragmatis, tanpa menyentuh hajat hidup umat sendiri. 

Jangan biarkan umat jadi gajah bengkak. Bukankah kenyataan di lapangan masih 
banyak hal yang memprihatinkan. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan 
ketertinggalan masih menyertai denyut kehidupan mayoritas umat Islam di negeri 
ini.

Kini sungguh diperlukan langkah-langkah strategis yang semakin konkret dalam 
memajukan umat di negeri ini. Dalam dunia pendidikan, ekonomi, pembinan paham 
dan pengamalan keagamaan, selain dalam politik yang menjadi garapan parti 
politik, sangatlah diperlukan langkah-langkah peningkatan kualitas yang 
strategis. Seluruh kekuatan umat Islam dimulai dari organisasi kemasyarakatan, 
lembaga swadaya masyarakat, kampus, partai politik, hingga kelompok-kelompok 
sosial di berbagai lini sosial umat hendaknya menyatukan langkah-langkah 
strategis ke tingkat meso (menengah) dan mikro (kecil). Bukan melambung-lambung 
di langit tinggi semata. Apa yang dirintis oleh LSM generasi 1980-an dan 
1990-an dapat dijadikan contoh bagaimana mengembangkan strategi pengembangan 
umat langsung ke akar rumput, tetapi dengan rancang-bangun pemikiran dan 
teologi yang lebih kokoh. Bukan sekadar kerja partisipatif tanpa strategi besar 
dan lepas-nilai Islam sebagaimana kerja LSM non-partisan.

Di sinilah peran penting para elite Muslim di setiap lini komunitas umat. 
Khusus bagi para elite organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam keadaan ini 
perlu menjadi bahan perenungan dan perubahan mendasar dalam merancang-bangun 
kemajuan umat langsung ke sasaran. Godaan-godaan politik kekuasaan dan 
jabatan-jabatan publik yang sering membelokkan perjuangan kultural di tengah 
jalan seyogianya diakhiri. Bagi yang ingin jalur politik-kekuasaan terbuka 
jalan lebar melalui partai politik, bukan melalui ormas keagamaan. Bukan karena 
haram secara teologis dan fiqh siyasah, tetapi soal pembagian kerja dan 
konsentrasi memajukan umat melalui jalur dakwah non-politik. Sedangkan untuk 
memperbaiki dan berperan dalam pembangunan bangsa masih dapat ditempuh melalui 
ormas sebagai kekuatan moral dengan pendekatan partisipasi kebangsaan 
non-politik praktis.

Para elite Muslim sudah saatnya semakin saling merapatkan barisan dalam 
kerja-kerja kolektif dan strategis untuk pemberdayaan umat dan rakyat. Umat 
memerlukan panduan dan bingkai pemikiran yang membumi dalam merancang dan 
melakukan langkah-langkah perubahan untuk kemajuan. Keasyikan di menara gading 
lebih-lebih yang menyibukkan diri pada mobilitas pribadi semata dengan sering 
mengatasnamakan umat tetapi tidak untuk umat, perlu diganti dengan kultur baru 
yang berkiprah bersama umat dalam semangat menjadi pelayan umat.

Para elite dan pimpinan ormas Islam perlu menghadirkan komitmen baru bagaimana 
mengurus dan mengelola urusan umat dengan penuh pengkhidmatan, bukan sibuk 
mengurus pengurusnya sendiri. Jabatan bisa datang dan pergi sebagai sebuah 
amanah. Namun pengkhidmatan untuk umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sungguh 
tidak kenal kata akhir. Maka sesungguhnya bukan hanya umat, bahkan elite dan 
pemimpin umat pun memerlukan pencerahan diri.




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/pkgkPB/SOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke