http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/18/opini/1901256.htm
Gaji dan Korupsi Oleh: TETEN MASDUKI Tidak peka! Itulah kira-kira rangkuman pendapat umum menyikapi rencana kenaikan tunjangan anggota DPR, yang hampir dua kali lipat dari sekarang. Di tengah masalah busung lapar dan keinginan pemerintah mencabut subsidi BBM, barangkali kegusaran masyarakat itu tidaklah berlebihan. Apalagi kinerja DPR juga belum begitu memuaskan masyarakat. Alasan kenaikan gaji DPR itu sepertinya masuk akal karena gaji mereka saat ini masih di bawah gaji para menteri atau direksi BUMN. Sangat riskan gaji pengawas lebih rendah daripada pihak yang mau diawasinya. Bagaimana kinerja mereka bisa ditingkatkan dengan gaji yang relatif kecil? Apalagi faktanya mereka juga harus setor ke partai politiknya dan memelihara hubungan dengan konstituennya. Belum lagi menyiapkan tabungan untuk modal pemilihan mendatang. Alasan kenaikan gaji untuk kesejahteraan juga sangat relatif dan debat-able. Karena, bagaimana dengan gaji pegawai negeri yang juga begitu kecil, padahal mereka sudah merengek kenaikan gaji sejak lama? Kecemburuan dari kalangan birokrat sering mengemuka. Gaji pokok golongan tertinggi di birokrasi dengan 20 tahun pengabdian hanya tiga juta rupiah dan tunjangannya sekitar lima juta rupiah, tidak sampai separuh pendapatan rata-rata anggota DPR sekarang sebesar Rp 19,8 juta sebulan. Padahal, tidak sedikit anggota dewan yang tadinya cuma penganggur, dan nasib baik datang karena ada perubahan politik. Rasa keadilan juga akan mudah terusik di tengah realitas angka penganggur yang tinggi. "Corruption by greed" Lebih menarik kiranya mendiskusikan hubungan gaji dengan korupsi. Teori gaji kecil sumber pemicu korupsi, perbaikan kesejahteraan pegawai bagian dari sistem merit sering diusulkan dalam reformasi birokrasi untuk mengatasi korupsi. Untuk konteks DPR, barangkali hubungan kekuasaan dengan kekayaan Huntington (1968) bisa dijadikan renungan. Katanya, bila kesempatan politik melebihi kesempatan ekonomi, mereka akan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Sebaliknya, bila kesempatan ekonomi melebihi kesempatan politik, mereka cenderung menggunakan kekayaannya untuk membeli kekuasaan politik. Tidak bisa dibantah bahwa gaji yang kecil rawan terhadap penyimpangan. Penyunatan anggaran atau pungutan adalah pemandangan sehari-hari di kalangan pegawai negeri rendahan. Akan tetapi, kenapa realitasnya hiperkorupsi justru menggila di kalangan mereka yang berpendapatan besar? Sebut saja misalnya kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan konglomerat, keluarga presiden, menteri, direktur jenderal, serta direksi BUMN dan perbankan. Yang pertama korupsi karena kebutuhan (corruption by need), yang kedua korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Lebih tepat yang terakhir ini karena kleptomania, bisa untuk urusan gaya hidup atau demi kekuasaan itu sendiri. Jadi, belum tentu gaji yang tinggi di DPR efektif untuk menyurutkan tendensi korupsi di sana. Sebab, di tingkat jabatan-jabatan politik atau birokrasi tingkat tinggi, eskalasi godaan ekonomi selalu berada di atas nilai kekuasaan yang dimiliki mereka. Apalagi oligarki elite di sini memiliki kesanggupan untuk mematikan penegakan hukum dan sistem antikorupsi lainnya. Dalam pendekatan carrot and stick, untuk masalah kleptomania memang pemberian reward bukan jalan keluar yang terbaik. Yang tepat memberikan carrot- nya ke pegawai negeri rendahan dan stick-nya diarahkan kepada pejabat tinggi, bukan sebaliknya. Tindakan ini dapat dibenarkan untuk kepentingan pemerataan kesejahteraan. Konsultasi publik Yang diperlukan sekarang barangkali adalah sistem pendukung kerja anggota DPR untuk mendongkrak kinerja mereka. Terutama dalam konteks membuka ruang bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan berpartisipasi dalam tiga tugas utama DPR, yaitu legislasi, penganggaran, dan pengawasan eksekutif. Konsultasi anggota DPR dengan publik di berbagai daerah untuk menjaring aspirasi masyarakat, yang sekarang hampir jarang dilakukan secara kelembagaan, memerlukan dukungan dana yang besar. Anggaran untuk keperluan ini jangan dibalik menjadi tunjangan kepada partai atau pribadi anggota dewan, tetapi sebagai sarana bagi masyarakat untuk lebih mudah mengakses para wakilnya di DPR. Di masyarakat cukup tersedia informasi, baik yang dikelola LSM, media, universitas, atau lembaga riset, yang gratis dan bisa dijadikan bahan masukan bagi DPR. Namun sayangnya, hanya beberapa gelintir anggota DPR yang rajin meminta masukan dari kalangan masyarakat ini. Malah sering informasi yang diberikan LSM dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan DPR diabaikan begitu saja. Jadi, sekarang terang sudah duduk soalnya bahwa agenda para wakil rakyat acap kali memang berseberangan dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Teten Masduki Koordinator ICW [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/