http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/24/index.html 

SUARA PEMBARUAN DAILY

Ibadah Haji yang Menguras Tenaga 
Usai puncak haji di Arafah bukan berarti seluruh prosesi ibadah tersebut 
selesai. Tenaga jemaah masih banyak dikuras, mulai dari bermalam (mabit) di 
Muzdalifah, melontar jumrah di Mina selama 3-4 hari (10,11,12,13 Dzulhijjah), 
hingga melakukan tawaf ifadah dan sai di Masjidil Haram. Apalagi di semua 
tempat-tempat tersebut suasana berdesak-desakan dan selalu penuh manusia. Belum 
lagi jemaah masih harus menghadapi udara dingin yang menggigit karena banyak 
ibadah yang dilakukan di udara terbuka. 

Pada tanggal 9 Dzulhijjah (Rabu, 19/1) seluruh jemaah haji dari berbagai negara 
berkumpul di Arafah. Arafah adalah padang pasir yang terletak 25 km sebelah 
timur kota Mekkah. Jumlah jemaah yang berkumpul di sana mencapai 2,8 juta 
orang. Wukuf di Arafah merupakan puncak pelaksanaan haji karena orang yang 
tidak berada di Arafah pada tanggal tersebut berarti tidak melaksanakan haji. 
Waktu pelaksanaan wukuf dimulai sejak tergelincirnya matahari (usai dzuhur) 
hingga terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Itulah sebabnya semua upaya 
dikerahkan untuk membawa jemaah haji Indonesia ke Arafah, yang merupakan jemaah 
terbesar di dunia ini. Bagi jemaah yang sakit, dibawa dengan safari wukuf atau 
dibawa dengan ambulans. Mereka hanya berada di sana selama beberapa menit, dan 
setelah itu kembali ke rumah sakit. Sedangkan jemaah biasa yang masih mampu, 
bersama rombongan telah meninggalkan Mekkah sejak tanggal 8 Dzullhijjah. 
Keberangkatan jemaah sendiri beragam, ada yang menggunakan b is langsung menuju 
Arafah, ada juga berjalan kaki dari Mekkah. Padahal perjalanan ke sana cukup 
jauh, sekitar 10 km. jemaah yang memilih berjalan kaki ini, seperti yang 
dilakukan jemaah asal Medan, beralasan mereka ingin mengikuti Nabi Muhammad 
dulu. Selain itu mereka mengaku malas menunggu antrian bus yang panjang dan 
macet. Kemacetan kota Mekkah pada tanggal 8 Dzulhijjah memang luar biasa. Sejak 
pagi jalan-jalan kota Mekkah sudah dipadati jemaah yang ingin berjalan kaki dan 
menumpang bis. Malahan banyak jemaah yang duduk di atas bus karena di dalam 
terlalu penuh.

Sepanjang perjalanan, para jemaah membaca talbiyah dengan penuh semangat. 
Untungnya, cuaca kota Mekkah hingga Arafah mendukung karena tidak terlalu panas 
dan angin sejuk. Uniknya, selama berada di Arafah hingga menjelang pelaksanaan 
wukuf banyak jemaah Indonesia saling mengunjungi. Seharusnya saat itu jemaah 
memperbanyak doa dan dzikir. Tetapi sangat banyak jemaah yang datang ke posko 
informasi untuk mengetahui keberadaan tenda keluarganya. Ada juga yang memilih 
untuk mengunjungi tenda selebriti. Tenda Abdullah Gymnastiar dan Krisdayanti 
paling banyak ditanyakan para jemaah. Masalahnya, seringkali jemaah tersesat 
ketika hendak kembali ke tenda. 

Selain saling mengunjungi, penyewaan unta mempunyai daya tarik sendiri bagai 
jemaah yang hendak melakukan wukuf. Gado-gado dan rujak pun mudah ditemui di 
sini karena banyak orang Indonesia yang berjualan di sela-sela tenda jemaah. 
Kebanyakan para pedagang berasal dari Madura, yang tidak mempunyai dokumen 
lengkap. 

Salah seorang pedagang yang menolak namanya disebutkan bercerita bahwa dia 
sudah ada di Mekkah selama dua tahun dengan menggunakan visa umrah. Setelah itu 
dia tetap tinggal di Arab Saudi dan bekerja menjadi pembantu rumah tangga. 

"Sebulan bisa dapat 800 riyal tetapi kerja sepanjang hari. Istirahat hanya dari 
jam 03.00 sampai 07.00," katanya.

Di musim haji, dia berhenti bekerja dan memilih berjualan. 

"Nanti kalau jemaah pindah ke Mina saya juga pindah berjualan di sana," 
ujarnya. 

Kesibukan para jemaah menjelang wukuf juga bertambah ketika anggota DPR 
mengunjungi tenda mereka. Mereka umumnya mengeluhkan kondisi tenda yang sangat 
penuh dan juga proporsi kamar mandi. Hanya ada 12 kamar mandi bagi 2.000-an 
jemaah. Belum lagi dalam satu tenda diisi hingga 100 orang sehingga harus 
berdesakan.


Muzdalifah

Selepas magrib, atau ketika matahari sudah terbenam, antrian kendaraan kini 
memadati jalur menuju Muzdalifah. Muzdalifah yang merupakan padang pasir luas 
berbatu ini merupakan ibadah yang berat. Setelah seharian berada di Arafah, 
jemaah harus berada di udara terbuka. Mereka menggelar tikar plastik tipis, dan 
mencoba tidur meskipun udara dingin terasa menggigit. Tiga posko yang didirikan 
panitia bagi jemaah terlihat tidak berfungsi baik. Hal itu disebabkan minimnya 
fasilitas yang ada. Posko itu meski dilengkapi tenaga medis dan para medis, 
tetapi tidak ada peralatan pendukung. Dalam tenda sama sekali tidak ada saluran 
listrik. Obat-obatan yang disediakan pun tidak cocok dengan sakit yang diderita 
jemaah. Umumnya jemaah dating karena kedinginan sehingga sesak nafas atau yang 
mempunyai asma kambuh. Sama sekali tidak ada air panas karena obat-obatan yang 
disediakan adalah obat-obatan untuk penanganan darurat. Evakuasi pasien juga 
tidak dapat dilakukan karena tak ada ambulance yang dapat menembus padatnya 
arus jemaah. Belum lagi antrian kamar mandi yang sangat panjang membuat 
beberapa jemaah laki-laki lebih memilih membuang hajat di udara terbuka. 
Untungnya, pemerintah Arab Saudi menyediakan air minum yang tidak terbatas. 
Hampir di semua tempat disediakan air mineral yang bisa diambil siapa saja. 

Selepas tengah malam, kini jutaan jemaah mulai bergerak ke Mina. Kota tiga 
malam ini memang hanya ramai pada saat haji. Selain itu, tidak ada kegiatan 
apapun di Mina. 

Kemacetan di Mina luar biasa karena banyak yang memilih berjalan kaki. 
Mobil-mobil kecil banyak tidak diperbolehkan masuk ke Mina sehingga banyak yang 
berjalan kaki. Pembaruan sendiri terjepit di tengah-tengah jemaah Turki dan 
India yang dengan penuh semangat berjalan menuju Mina. Malahan tidak jarang 
dijumpai jemaah yang membawa bayinya. Para pejalan kaki pun harus berdesakan 
karena padatnya jemaah. 

Angkutan bagi jemaah sendiri sebenarnya disediakan tetapi banyak jemaah yang 
tidak sabar hendak meninggalkan Mina karena memang disunahkan untuk 
meninggalkan Mina selepas tengah malam. Sementara jemaah Indonesia yang 
menumpang bus memilih kembali ke tenda untuk beristirahat dan meneruskan ibadah 
pada pagi ataupun sore hari. 

Pada hari itu, tanggal 10 Dzulhijjah (20/1), merupakan saatnya jemaah melontar 
jumrah aqabah. Inilah ritual paling mematikan sepanjang sejarah haji. Banyak 
jemaah memilih melontar di waktu utama (afdal) yaitu di siang hari sebelum 
waktu dzuhur. Padahal jemaah Indonesia mempunyai ukuran tubuh yang kecil 
dibandingkan negara lain. Bila menjumpai deretan jemaah Turki ataupun Afrika, 
sebaiknya jemaah Indonesia mengalah karena mereka mempunyai kebiasaan 
bergerombol dan tidak peduli dengan orang di sekitar. Itulah yang membuat 
setiap terjadi dorong-mendorong di jamarat banyak orang Indonesia menjadi 
korban. 

Tetapi sangat dapat dipahami keinginan jemaah melontar di waktu afdal, juga 
karena banyak jemaah yang tidak sabar ingin segera melepas pakaian ihram. 
Memang pakaian ihram tidak boleh dilepas sebelum melontar jumrah aqabah. Bagi 
laki-laki, tetap berpakaian ihram merupakan saat-saat berat karena mereka tidak 
diizinkan memakai pakaian yang berjahit. Mereka hanya boleh mengenakan dua 
potong kain, padahal udara sangat dingin. 

Untungnya, kebijakan pemerintah Arab Saudi memperluas areal jamarat sangat 
berhasil. Jamarat yang dulu berupa tugu dan tahun ini berubah menjadi berbentuk 
tembok sehingga tidak ada penumpukan jemaah di satu titik. Meski sangat padat, 
tetapi tidak berdesak-desakan seperti dulu. 

Pada tanggal 10 Dzulhijjah, banyak juga jemaah yang kembali ke Mekkah untuk 
melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram. Tawaf dan sai termasuk dalam ritual 
haji, tetapi dapat dilaksanakan setelah prosesi melontar jumrah usai.tetapi 
banyak jemaah yang memilih melakukan tawaf dan sai pada tanggal 10 Dzulhijjah 
sekalian shalat Idul Adha di Masjidil Haram. Karena terlalu letih, banyak 
jemaah yang tidak dapat menemukan jalan kembali ke Mina. Antara Mina dan 
Masjidil Haram kurang lebih berjarak 5 km. Karena itu petugas di Mekkah pun 
disibukkan mengantar jemaah yang sesat jalan. 

Pondokan jemaah Indonesia sebenarnya ada di Haratul Lisan, Mina. Berjarak 
kurang lebih 3 km dari areal pelontaran. Malahan sebanyak 6 maktab jemaah 
Indonesia berada di Mina II atau masuk dalam kawasan Muzdalifah yang berjarak 
lebih dari 5 km dari jamarat. Itulah sebabnya banyak jemaah keenam makatb 
tersebut memilih kembali ke Mekkah daripada tinggal di pondokan mereka di Mina. 
Apalagi pondokan mereka di Mekkah terletak di Aziziyah, hanya berjarak 2 km 
dari jamarat. 

Itulah sebabnya, pada saat tengah malam, situasi di Mina sangat padat. Jemaah 
dari berbagai negara yang tinggal di Mekkah memilih mendirikan tenda maupun 
menggelar tikar sebagai alas ketika mereka bermalam di Mina. Lepas tengah 
malam, banyak jemaah yang kembali ke pemondokan untuk melakukan hal yang sama 
keesokan harinya. Ada juga yang memilih tiba di Mina lewat tengah malam hingga 
keesokan paginya. Aktifitas itu membuat Mina tak pernah sepi. Dan Mina akan 
ditinggalkan setelah tanggal 12 ataupun tanggal 13 Dzulhijjah, saat ibadah di 
Mina yang dilakukan setahun sekali itu berakhir. Saat itu, Mina menjadi kota 
mati kembali. (AS/N-4)

Last modified: 24/1/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/S.QlOD/3MnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to