http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/11/daerah/1887413.htm

 
Industri Kapal Ikut Terpuruk 


Menyusuri perkampungan dan kompleks perindustrian perikanan di kawasan 
Pelabuhan Bagansiapi-api sungguh mengenaskan.

Di sepanjang tepian laut, berderet bangunan-bangunan besar mirip gudang yang 
dulunya berfungsi sebagai galangan tempat pembuatan kapal dan tempat pengasinan 
ikan kosong melompong. Dinding kayu berwarna coklat tua tampak kabur terhalang 
tingginya alang-alang.

Memasuki galangan-galangan kapal berukuran ratusan meter persegi, sisa-sisa 
papan bahan pembuatan perahu masih berserak. Rangka perahu setengah jadi 
teronggok begitu saja, tak ada lagi harapan menjadi alat pengarung laut 
sesungguhnya.

Di sepanjang tepian laut kota Bagansiapi-api hingga di Pulau Sinaboi, Pulau 
Halang, dan Pulau Jemur semula terdapat 50- an pengrajin perahu tradisional. 
Dalam lima tahun terakhir menyusut menjadi sembilan pengrajin saja yang 
mempertahankan galangan tempat pembuatan perahu terus berproduksi. Aktivitas 
yang terjadi pada galangan kapal tersisa pun sekadar menyelesaikan pesanan 
tanpa ada harapan akan ada pesanan baru di masa datang.

Salah satu galangan kapal yang bertahan ialah milik Akim (51). Penduduk 
Kelurahan Bagan Barat, Kecamatan Bangko, itu mengatakan, hingga memasuki awal 
tahun 1990-an, produksi perahu Bagansiapi-api dikenal di Indonesia dan sejumlah 
negara, seperti Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan negara-negara di 
Benua Amerika.

Kualitas unggul perahu tradisional Bagansiapi-api, yang 90 persen produknya 
dibuat dari kayu, terbukti tahan terhadap segala jenis karakter lautan. Ia 
dapat digunakan di perairan berlumpur sebagaimana ditemukan di wilayah pantai 
timur Sumatera. Dengan lunas perahu dari kayu giam atau kempas, dinding dari 
kayu kulim, dan kayu punak serta meranti untuk bagian pondok di atas dek, 
perahu asal Bagansiapi-api mampu mengarungi lautan menembus Indonesia timur dan 
lautan wilayah Sri Lanka, termasuk India.

Dikenalkan pertama kali oleh orang-orang etnis Tionghoa yang datang langsung 
dari daratan China dan tinggal menetap di Bagansiapi api pada akhir tahun 
1800-an. Bekerja sama dengan etnis Melayu yang menguasai hutan sebagai pemasok 
bahan baku, segera produksi perahu berbahan kayu itu menjadi unggulan kota ikan 
ini.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, industri kapal kayu Bagansiapi-api tidak 
terbatas pada produksi kapal-kapal kargo, tetapi juga memenuhi permintaan 
pengadaan kapal ikan berukuran besar seperti trawler dan penangkap tuna 
berkapasitas 500-1.500 ton.

Industri ini mulai menuai gangguan ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang 
Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan. Akibat keluarnya 
undang-undang ini, para penduduk perambah hutan dicap sebagai penebang liar. 
Mereka dianggap mencuri kayu-kayu di areal yang dikelola perusahaan-perusahaan 
tertentu. Pasokan bahan baku perahu tersendat.

Kemudian pemerintah sempat mengeluarkan peraturan daerah yang memberi 
kewenangan kepada kepala desa memberi izin pencari kayu menebang pohon tak 
lebih dari 10 meter kubik per kepala keluarga dalam setiap bulannya.

Penduduk tak kurang akal. Merasa memiliki hak atas tanah leluhur, termasuk 
kawasan hutan, mereka tetap merambah hutan. Sejak itu pula pemegang HPH ramai 
meminta bantuan aparat keamanan menjaga areal lahan mereka. Namun, diakui oleh 
Akim yang berkecimpung dalam industri perahu sejak usia belasan tahun, hal ini 
memicu munculnya oknum-oknum yang memberi izin kepada para perambah hutan 
menebang kayu dengan imbalan uang.

Perambahan hutan kemudian berkembang tak hanya untuk pasokan pembuatan perahu. 
Iming-iming imbalan dan permintaan luar biasa besar dari beberapa negara, 
seperti Malaysia, memicu pembalakan kayu besar-besaran. Ribuan meter kubik kayu 
mulus meluncur ke luar Indonesia.

�Itu semua terlihat jelas. Betapa kami dipersulit memperoleh bahan baku, 
sedangkan di laut Bagansiapi-api hilir mudik orang mengangkut kayu entah dibawa 
ke mana. Ketika kami menerima bahan baku kayu, harganya jauh melambung. Menurut 
para pemasok, hal ini dikarenakan ongkos pengadaan meningkat akibat banyaknya 
pungutan liar,� kata Akim.

Kewajiban pencari kayu setelah menebang dan menjadikannya papan siap pakai juga 
harus mengantarkannya sampai ke lokasi pengepul yang mudah dijangkau pengrajin 
perahu. Di sepanjang perjalanan itulah pungutan bertubi harus dibayar.

Beberapa tahun terakhir, harga rata-rata kayu per meter kubiknya tak lebih dari 
Rp 400.000-Rp 600.000. Menurut Soedarno Mahyudin, pemerhati masalah industri 
perkapalan dan juga budayawan lokal, sekitar 60 persen dari harga tersebut 
jatuh pada tangan pemungut liar. Keuntungan bersih pencari kayu hanya sekitar 
Rp 200.000, itu pun harus dibagi rata kepada setiap anggota kelompok yang 
biasanya terdiri dari empat sampai enam orang. Dalam enam hari masa pencarian 
kayu di hutan, per harinya mereka maksimal hanya mendapatkan Rp 10.000.

Wacana kerusakan lingkungan yang sempat diembuskan demi menutupi fakta maraknya 
pencurian dibantah keras oleh nelayan setempat. Atong (40), seorang pemilik 
kapal, menegaskan, perairan Bagansiapi-api tak akan pernah kehabisan ikan 
karena wilayah ini merupakan muara aliran dari Laut China Selatan dan Selat 
Malaka. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Soedarno Mahyudin, yakni 
karakteristik laut Bagansiapi-api berlumpur dan mengandung endapan makanan dari 
kedua laut besar tetangganya. Dengan kecukupan kandungan makanan yang terus 
tersedia sepanjang waktu, perairan ini tidak akan sepi dari ikan. Setiap kali 
ikan- ikan berkurang akibat diambil nelayan, jutaan ikan akan berdatangan 
kembali.

Ketika pasokan ikan yang sedemikian besar jumlahnya itu hanya dimanfaatkan oleh 
nelayan lokal, rezeki seperti tak ada habisnya. Namun, dengan besar lahan yang 
sama, tetapi pengais rezeki menumpuk di atasnya ditambah pula penggunaan 
peralatan yang tidak ramah lingkungan, lahan subur itu pun menjadi tandus.

Cukong-cukong ikan maupun pengusaha perahu bertumbangan menyisakan penganggur 
di mana-mana. Pembangunan kota terhenti karena sebagian besar penduduknya 
memilih keluar mengadu nasib di daerah lain. Saat ini hanya tersisa 30.000 jiwa 
penduduk kota ini atau kurang dari 10 persen dibandingkan pada tahun 1980-an.

Wajah kota Bagansiapi-api berkembang memelas. Di pinggiran kota bersebelahan 
dengan pelabuhan, masyarakat miskin hidup di rumah-rumah kayu di atas tanah 
tergenang air. Jalanan penghubung antarkampung berupa semen padat selebar 
kurang dari 60 sentimeter. Mereka berusaha menyambung napas tetap dengan 
membuat ikan asin dan mengerjakan perahu sisa-sisa pesanan yang entah kapan 
tertampung konsumen.

Kemiskinan mengakrabi warga, tetapi asa untuk kembali pulih tetap ada. Mereka 
kini menggantungkan diri sepenuhnya kepada kepedulian pemerintah. (NEL)


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke