http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=21659
2010-07-24 Kehidupan Buruh Tekstil Makin Memprihatinkan SP/Adi Marsiela Para buruh harian pada salah satu perusahaan garmen di Jalan Cigadung Raya Timur No 107 Bandung menyelesaikan pekerjaannya, Jumat (23/7). Akhir Juli ini dipastikan Darwis Susanto (30), tidak akan bertemu istri dan tiga anaknya. Suami Sifa Nurjanah (34) ini tidak punya uang untuk perjalanan ke kampungnya di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. "Motor juga rusak, belum ada uang untuk dibawa ke bengkel," katanya kepada SP, Kamis (22/7). Darwis yang mengontrak kamar berukuran 2 x 3 meter di daerah Rancabentang, Kota Cimahi, memang memilih tinggal terpisah dari keluarga. Dengan gaji yang besarnya sama dengan upah minimum kota Cimahi senilai Rp 1,1 juta setiap bulan, ayah Khoirunisa (10), Nurul Azmi (5), dan Nindi (1,5, tidak berani membawa serta keluarganya tinggal di kota. "Makanya semua hijrah ke kampung dengan ibunya," ujarnya. Meski tinggal sendiri bukan berarti karyawan PT Sansan Saudaratex Jaya itu bisa hidup senang. Setiap pagi, Darwis yang mendapat tugas mengurus masalah kesehatan ribuan rekannya, mengawali hari dengan meminum segelas air putih. Setelah itu dia langsung bekerja. "Makan siang menunggu jatah. Kalau makan malam sedapatnya saja dan tidak selalu harus makan. Saya berusaha hidup hemat," ujar pria bertubuh gempal ini. Tidak setiap bulan Darwis bisa mengirim uang ke kampung. Meski tidak memiliki cicilan, dia tetap harus membayar pondokan Rp 150.000 setiap bulan, biaya bahan bakar, dan kebutuhan sehari-hari. "Kalau sedang ada uang, bisa Rp 500.000 dikirim ke kampung. Kalau seperti sekarang ini, gajian nanti untuk perbaiki motor dulu, jadi tidak bisa kirim uang," katanya. Pilihan tinggal terpisah dengan keluarga juga diambil Slamet Priyanto (39) yang bekerja di PT Kahatex, Rancaekek, Kabupaten Sumedang. Bendahara Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa Barat ini menitipkan anak keduanya, Dwi yang naik kelas enam SD untuk tinggal di Yogyakarta bersama mertuanya. "Ini bagian dari strategi bertahan hidup," terangnya. Cara itu tidak lain dari upayanya meringankan beban hidup. Dengan penghasilan Rp 1,5 juta, Slamet masih harus membayar Rp 450.000 untuk cicilan rumah tipe 21 di Perum Kahatex, Cicabe. "Kalau tidak ada uang saya pinjam ke koperasi," tuturnya. Kehidupan buruh dan karyawan tekstil yang terus memburuk tak membuat keduanya berpikir untuk pindah kerja. Apa pun kondisi perusahaan, mereka memilih bertahan di tempat kerjanya sekarang. "Mau ke mana lagi?" tanya Slamet. Ketua KASBI Jawa Barat, Sudaryanto menyatakan kehidupan buruh akan semakin memburuk, apabila pemerintah tidak membuat perubahan kebijakan untuk menggairahkan kembali industri tekstil dan produk tekstil. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat menunjukkan pada 2008, ekspor tekstil dan produk tekstil mencapai mencapai 959.153 ton dengan nilai US$ 5,09 miliar, tetapi pada 2009 menurun menjadi US$ 4,62 miliar, meski volumenya mencapai 963.168 ton. Data terakhir dari Kantor Bank Indonesia Bandung mencatat ekspor hingga Mei 2010 baru mencapai 268.449 ton dengan nilai US$ 906 juta. "Kita harus mewaspadai kondisi di Jawa Barat. Apakah ini sunset industry atau tidak, karena penyerapan tenaga kerjanya sangat besar," tutur Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Ferry Sofyan Arif. Makanya, sambung dia, pemerintah terus mendorong program restrukturisasi mesin. Penggantian alat itu merupakan salah satu upaya intervensi pemerintah untuk membantu pengusaha agar bisa bertahan dari "serangan" produk impor Tiongkok. Cara lain yang ditempuh agar produk ini bisa tetap bertahan adalah dengan menggarap pasar lokal. Meski pemerintah sudah membantu pengusaha lewat pengadaan mesin, Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Kevin Hartanto berharap perbankan ikut memberi dukungannya. Selain itu, pemerintah juga harus bisa melindungi pasar dalam negeri dari serangan impor ilegal. "Kepastian soal perizinan juga harus jelas. Sampai sekarang kalau ditanya berapa lama mengurus perizinan, saya tidak bisa jawab. Bercandanya saya, mengurus izin memang satu pintu, tapi ada berapa meja? Satu meja ada berapa laci? Iklim usahanya kurang mendukung," tegas dia. Buruh Kontrak Tak berbeda jauh dengan rekannya di Jawa Barat, kehidupan Paryanti dan Susilo pun makin memprihatinkan. Sebagai buruh kontrak di PT Tyfountex, Solo, Jawa Tengah, Paryanti, mengaku kehidupannya makin sulit. Penghasilannya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi, saat harga kebutuhan pokok menggila seperti belakangan ini. "Cari pekerjaan sulit, daripada tidak kerja sama sekali, lebih baik memperbarui kontrak setiap tahun, walau kecil sekali penghasilannya," kata perempuan asal Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, yang tidak bersedia menyebutkan penghasilannya. Paryanti mengaku memiliki seorang anak yang baru saja masuk SMP. Ketika anaknya masuk sekolah, dia terpaksa men-jual sepeda motor yang sehari-hari digunakan untuk berangkat bekerja bersama suaminya. Sebagian uang hasil penjualan motor itu dipakai untuk kredit motor baru. "Ya begitulah, gali lubang tutup lubang," katanya. Sedangkan menurut Susilo, rekan kerja Paryanti, pendapatannya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. "Mengalir saja. Namanya orang hidup, rezeki pasti ada. Berapa pun penghasilan kita, rasanya selalu kurang, apalagi seperti sekarang ini," ungkapnya. Kehidupan buruh tekstil yang memprihatinkan ternyata tak berbanding lurus dengan kinerja ekspor tekstil. Menurut Wakil Ketua API Jawa Tengah yang juga Managing Director PT Danliris, Djoko Santoso, pasar tekstil di luar negeri masih terbuka lebar dan permintaan ekspor juga masih tinggi. Terkait hal itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Solo, Joko Pangarso, menyatakan hingga semester pertama 2010, volume ekspor produk tekstil mencapai 506,7 ton dengan nilai US$ 6,5 juta. Meski nilai ekspor tinggi, lanjut Djoko, margin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil, sangat kecil. Hal itu karena biaya produksi tinggi. Pabrik tekstil merupakan pabrik yang banyak melibatkan tenaga kerja. Selain bahan baku, tenaga kerja dan energi menjadi penyumbang terbesar ongkos produksi. Di Solo dan sekitarnya, sepengetahuan Djoko, terdapat sekitar 180.000 tenaga kerja yang bekerja di industri tekstil. Saat ditanya soal kemungkinan PHK karena kinerja industri tekstil secara nasional terus menurun, Djoko mengatakan PHK adalah alternatif terakhir yang biasa ditempuh pengusaha bila tidak sanggup lagi menanggung beban operasional. "Tetapi sampai sekarang belum ada wacana soal PHK, karena ini soal sensitif," katanya. Ketua DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Surakarta, Suharno juga mengaku belum mendengar rencana PHK massal. Kalaupun ada kabar industri tekstil akan kolaps, justru diperolehnya dari media massa. "Sejauh ini belum ada pembicaraan soal PHK massal, meski sejumlah media massa memberitakan kinerja industri tekstil nasional terus menurun," katanya. PHK tentu saja menjadi momok bagi semua buruh. Para buruh, seperti Darwis, Slamet, Paryanti, dan Susilo, pasti tak ingin di-PHK, meski pendapatan mereka sudah tak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian harus mencari berbagai terobosan untuk menggairahkan kembali industri di dalam negeri, khususnya industri tekstil. [SP/Adi Marsiela/Imron Rosyid] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Post message: prole...@egroups.com Subscribe : proletar-subscr...@egroups.com Unsubscribe : proletar-unsubscr...@egroups.com List owner : proletar-ow...@egroups.com Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: proletar-dig...@yahoogroups.com proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: proletar-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/