http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/05/opini/1866970.htm
Kemelut BBM dan Solusinya Oleh: KURTUBI Penyebab utama kelangkaan BBM saat ini adalah karena jumlah BBM yang dipasok ke masyarakat mengalami pengurangan yang disebabkan oleh kemampuan Pertamina mengimpor BBM dan minyak mentah sangat menurun. Sebelum Pertamina diubah menjadi PT persero oleh UU Migas No 22/2001, Pertamina mempunyai pendapatan retensi sekitar Rp 5 triliun per tahun, yang selalu bisa dimanfaatkan untuk membiayai impor minyak tanpa harus menunggu dropping dana dari pemerintah. Dengan UU Migas, Pertamina juga kehilangan akses dan kontrol atas produksi minyak mentah kontraktor production sharing (KPS) yang menyebabkan minyak mentah KPS yang dialirkan ke kilang Pertamina menjadi sangat berkurang. Akibatnya, jumlah impor minyak mentah untuk keperluan BBM dalam negeri menjadi sangat meningkat. Padahal, sistem industri migas nasional yang dikembangkan atas dasar UU No 8/1971 telah menempatkan kontrol Pertamina terhadap para KPS yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemenuhan kebutuhan BBM masyarakat. Ini merupakan satu kesatuan dari kuasa pertambangan yang diberikan oleh negara kepada Pertamina. Namun, proses liberalisasi industri migas nasional yang dilakukan di bawah UU Migas No 22/2001 kurang memerhatikan kondisi nyata industri migas nasional tersebut. Akibatnya, urutan-urutan proses liberalisasi yang terjadi saat ini menjadi tidak sistematik dan terkesan hanya bertujuan untuk mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina tanpa memperhitungkan dampaknya bagi pemenuhan kebutuhan BBM masyarakat. Setelah kuasa pertambangan dicabut dari Pertamina dan Pertamina sudah telanjur diubah menjadi PT persero, hal itu menyebabkan pendapatan retensi dan kontrol terhadap KPS menjadi lenyap seketika. Sementara masyarakat masih belum siap menerima harga BBM yang setingkat dengan harga pasar. Saat ini penerimaan dari penjualan BBM dengan harga subsidi sangat tidak mencukupi untuk membiayai seluruh impor BBM dan minyak mentah yang dibutuhkan. Pertamina harus mengimpor BBM dengan harga sekitar Rp 4.500 per liter, sementara harga jual premium hanya Rp 2.400 per liter, solar Rp 2.100 per liter, dan minyak tanah Rp 700 per liter. Runyamnya, harga minyak dunia saat ini sangat mahal dan cenderung akan naik terus. Subsidi BBM boleh jadi akan mencapai sekitar Rp 117 triliun, jauh di atas kuota APBN-P 2005 yang besarnya sekitar Rp 78 triliun. Yang semestinya dilakukan terlebih dahulu adalah menyiapkan masyarakat untuk dapat menerima harga BBM setingkat dengan harga pasar, termasuk tentunya dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Setelah itu, barulah pendapatan retensi dan kontrol Pertamina terhadap KPS mulai dihapuskan dan pemain baru selain Pertamina sudah mulai bisa masuk ke pasar BBM dalam negeri. Pembenahan kebijakan harga BBM haruslah terpadu dengan upaya mengurangi ketergantungan pada BBM, dengan segera memanfaatkan BBG, etanol, biodiesel, dan energi baru dan terbarukan lainnya. Bila perlu, segera disusun juklak operasional, termasuk koordinasi antara para stakeholder, pembebasan pajak, dan pemberian subsidi bunga guna segera dapat diproduksikan secara massal. Selain itu, produksi minyak mentah nasional harus segera dinaikkan. Tercapainya kesepakatan antara pemerintah/Pertamina dan ExxonMobil bagi pengembangan Blok Cepu akan sangat membantu karena produksi minyak dari Blok Cepu ini akan bisa dipercepat. Terlebih bagian yang diperoleh negara (pemerintah, Pertamina, dan pemda) dinilai sudah maksimal, sekitar 93 persen setelah cost recovery. Tak tersandera Yang juga harus diantisipasi adalah ketentuan UU Migas yang hanya mewajibkan Pertamina memenuhi BBM masyarakat sampai November 2005. Jadi, hampir dapat dipastikan, setelah November 2005 pun Pertamina akan kembali menjalankan fungsi PSO (public service obligation). Sekarang status Pertamina sudah telanjur menjadi PT. Agar kebutuhan BBM masyarakat setelah November 2005 menjadi lebih terjamin dan pemerintah tak lagi "tersandera" setiap kali Pertamina kekurangan dana untuk mengimpor minyak mentah dan BBM, sudah seyogianya pemerintah terlebih dahulu "membayar/membeli" BBM dari Pertamina dengan tingkat harga yang mampu meng-cover seluruh biaya yang dikeluarkan dengan marjin tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Dengan demikian, Pertamina akan mempunyai dana yang cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan BBM, termasuk di dalamnya dana untuk mengimpor minyak mentah dan BBM. BBM yang "dibeli" dari Pertamina itu kemudian dijual kepada masyarakat dengan harga subsidi, sepenuhnya merupakan hak dan kebijakan pemerintah. Dengan mekanisme seperti ini, kemampuan finansial Pertamina akan sangat tertolong mengingat perusahaan migas milik negara ini harus menggunakan sekitar 80 persen dari sumber dayanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan BBM masyarakat. Langkah ini harus dibarengi pengelolaan Pertamina yang lebih transparan. Sudah saatnya pemerintah berkomitmen untuk mendukung dan membesarkan perusahaan minyak nasionalnya sebagaimana juga lazim dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai BUMN migas. Dengan dukungan pemerintah, maka setidaknya dua tujuan akan tercapai, yakni menghilangkan secara permanen kasus kelangkaan BBM seperti saat ini. Sekaligus akan dapat memperkuat dan memperbesar perusahaan minyak nasional sebagai salah satu pilar kemandirian dan kemajuan ekonomi bangsa. KURTUBI Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/