http://www.indomedia.com/bpost/082006/17/opini/opini1.htm
Ketika Merdeka Tak Lagi Cukup Oleh : Pribakti B Dokter RSUD Ulin Banjarmasin Bahwa masih ada wilayah dari bangsa yang belum sepenuhnya bisa merasakan kemerdekaan, itu yang perlu kita sesali. Sorak sorai menyambut ulang tahun ke61 kemerdekaan Indonesia tak terelakkan. Seperti melihat orang bertinju di atas jembatan bermatras air atau menyimak tubuh kurus melorot dari pohon pinang 'berbuah' sepeda, ditanggung kita bisa tertawa lepas. Padahal dibalik kegembiraan itu, segepok masalah melilit Republik ini. Itu yang membuat teman saya prihatin, tepatnya jengkel. Otaknya tidak menerimakan darah pejuang dicemari ulah penggerogot negara. "Negara ini mau dibawa kemana? Masak utang luar negeri 19 miliar dollar AS! Belum lagi kebiasaan elit berebut jabatan, dengan seribu kecurangan. Dan, karena jabatan itu diperoleh lewat uang, coba lihat begitu menjabat, gantian jadi 'tikus' negara. Buntutnya, mengurus jasa pasti pakai uang sogok," katanya bersungut-sungut. Saya pun manggut-manggut. Memang harus kita akui tak terasa, meski kita memperingati 61 tahun merdeka. Tapi apa yang kita dapat dari kemerdekaan itu? Sebuah bangsa berdaulat dengan penduduk lebih dari 250 juta. Ini sudah pasti. Bahwa masih ada wilayah dari bangsa yang belum sepenuhnya bisa merasakan kemerdekaan, itu yang perlu kita sesali. Bahwa masih ada elemen bangsa yang belum bisa menikmati kemerdekaan, itu yang harus kita renungi. Sebagian orang boleh berkata: "61 tahun bukan masa yang panjang. Belum sampai pada batas manusia sehat. Perjalanan bangsa yang masih terlalu pendek untuk bisa menjadi negeri yang sempurna." Tapi, sebagian lain juga bisa bilang: "Mengapa hanya segelintir orang yang bisa menikmati kemerdekaan? Bukankah kemerdekaan itu milik semua? Kalau begitu, mengapa sebagian dari kita tak berhak ikut merasakannya? Padahal yang namanya kemerdekaan adalah hari-hari tak punya banyak sekutu. Apalagi kalau kemerdekaan yang dimaksud tidak sekadar terbebas dari penjajahan negara atas negara lain. Kemerdekaan tak dapat digenggam sendirian. Ia membutuhkan kebersamaan, termasuk untuk menikmatinya." Kemerdekaan bangsa ini memang mengalami pasang surut. Dulu Bung Karno (BK) bersama rakyatnya berhasil memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme. Tapi, ia belum mampu memerdekakan dari belitan keterbelakangan ekonomi bangsa ini dibandingkan dengan bangsa lain. Ia hanya mampu menggerakkan bangsa dalam gelora revolusi. Tapi kecemasan melanda sebagian rakyat, ketika komunis dibiarkan meneror kelompok lain dengan gerakan politiknya. Lalu, Soeharto berhasil memerangi keterbelakangan ekonomi. Citra sebagai negeri yang berdaulat sempat terangkat lewat gerakan yang menjadikan ekonomi sebagai panglima. Ketika itu tak pelak negeri ini dilirik banyak pihak sebagai ladang investasi. Sayang, kemerdekaan di bidang ekonomi ini berlalu dengan menutup kemerdekaan di bidang lain. Ia membangun negeri dengan represif dan menutup kemerdekaan berpendapat. Pers terpasung, oposisi dibonsai dan rakyat tak sepenuhnya bisa menikmati kedaulatannya. Kemerdekaan ekonomi akhirnya juga tidak merata. Toh hanya segelintir orang dari ratusan juta anak bangsa yang menikmati. Fundamennya, keropos sehingga negeri ini terjerumus begitu dilanda krisis. Padahal krisis ekonomi disusul krisis mulitidimensional yang meledak pada 1998, sebenarnya merupakan momentum mengasah reintegrasi sosial. Dalam penderitaan bersama akan tumbuh rasa senasib sepenanggungan. Pada saat menyadari bahwa kehancuran Indonesia sudah di pelupuk mata, seharusnya semua merapatkan barisan. Sayang momentum ini terbuang sia-sia, layaknya makan yang seharusnya disuapkan ke mulut tetapi malah nyasar ke sepatu. Hal demikian bermula dari sikap elit nasional kita. Mereka tidak pernah berada dalam satu visi dan satu persepsi mengenai krisis bangsa. Mereka terlalu bernafsi-nafsi. Demi kepentingan partai. Demi perut dewek. Singkatnya, mereka tidak pernah rukun. Kalau kelihatan rukun, itu hanya semu. Mirip orang berjudi kartu. Kelihatannya duduk bareng. Guyon. Pringas pringis. Cengengesan. Minum kopi. Rokokan. Tapi hatinya bergelora bagaimana bisa melindas lawan sampai gepeng seperti kerupuk. Kalau lawannya ludes, menjadi hiburan yang paling mengasyikkan. Kesimpulannya, siapa pun yang memimpin Indonesia pasti akan dirusuhi, diogrok-ogrok. Ibarat bus umum, siapa pun yang jadi sopirnya pasti diganggu. Misalnya, ada sopir yang berpotensi dan dipilih orang banyak, juga dirusuhi dan akhirnya disabot programnya dan bisa jadi dilarang meneruskan kepemimpinannya. Sebaliknya ada pula model sopir yang agresif. Begitu pegang kemudi langsung tancap gas biar segera sampai tujuan. Cuma karena nyopirnya sambil tidur alias setengah tidur setengah melek, laju bus jadi agak tidak karuan. Akibatnya bisa ditebak, penumpang dipaksa dag-dig-dug-der karena sebentar ngerem, sebentar tancap gas, sebentar belok. Yang ngetren kini adalah pilihan sopir yang begitu duduk di belakang kemudi terus diam seribu bahasa. Nyetater juga tidak. Apalagi nyetir. Bilangnya daripada salah jalan. Daripada ketidakbecusannya menyopir kelihatan. Pokoknya, tidak disuruh turun sudah Allhamdulilah. Pokoknya cuek bebek! Kalau perlu nyopir sambil ngemil chiki. Tidak peduli penumpangnya kepanasan. Apalagi ketika ada satu dua orang yang kentut, suasana bus benar benar kacau. Apalagi kalau ditambah ada yang ngompol, muntah dan stres. Pasti tambah seru. Untuk itu mestinya Agustus begini, elit nasional turba saja, bertandang ke kampung-kampung untuk belajar kerukunan. Belajar kekompakan. Belajar bagaimana berkorban untuk suatu pengisian kemerdekaan. Dengan demikian, akan ada makna bagi elit nasional. Dengan begitu, elit nasional bisa belajar realitas kehidupan. Kalau pejabat Jepang minta gajinya diturunkan untuk mengatasi penurunan ekonomi negaranya. Pemimpin dan rakyat Thailand mau menyerahkan simpanan emasnya untuk mengatasi krisis utangnya. Maka, hal itu pasti bisa dilakukan Indonesia. Sekarang saatnya berjuang untuk negeri tercinta! Di hari-hari mengenang perjuangan pahlawan kemerdekaan ini, sudah waktunya pemimpin bangsa ini berpikir dengan hati nurani bagaimana mengatasi kemiskinan rakyat yang makin parah ini. Sudah waktunya kita melakukan gerakan hidup sederhana, membeli produksi sendiri, memberantas korupsi, memberdayakan ekonomi rakyat dan lain-lain. Bila tidak, predikat miring semakin banyak tertuju pada kita. Disebut, misalnya, bangsa yang sakit, pemalas, pengutang, penipu, pendusta, koruptor, teroris, tukang gontok-gontokan dan predikat jelek lain. Merdeka! [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/