MEDIA INDONESIA
Jum'at, 09 Desember 2005


Media Massa dan Stigmatisasi Terorisme
Luthfi Assyaukanie, Dosen di Universitas Paramadina, Jakarta



SALAH satu keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Ulama Indonesia 
(MUI) Sabtu (3/12) adalah penolakan para ulama akan pelabelan dan stigmatisasi 
Islam dan terorisme. Pelabelan dan stigmatisasi itu, menurut MUI, sangat gencar 
dilakukan oleh media massa. Dengan melakukan hal itu, MUI menilai media massa 
telah melakukan sejenis teror juga (Media Indonesia, 4/12).

Labelisasi adalah pemberian cap kepada sesuatu sedangkan stigmatisasi adalah 
pemberian citra tertentu, umumnya dalam makna dan konotasi yang negatif. Baik 
labelisasi maupun stigmatisasi biasanya tidak muncul begitu saja dari ruang 
kosong. Tapi, selalu muncul setelah adanya berbagai peristiwa dan kenyataan 
yang mendukungnya.

Pertanyaannya apakah laporan media massa tentang Islam dan terorisme selama ini 
merupakan pelabelan dan stigmatisasi dalam pengertiannya negatif atau ia 
sesungguhnya merupakan refleksi dari kenyataan yang ada? Tentu saja kita tidak 
bisa menggeneralisasi laporan-laporan media yang begitu beragam. Tapi secara 
umum bisa kita katakan bahwa laporan-laporan media selama ini tentang Islam dan 
terorisme berangkat dari pijakan peristiwa yang objektif.

Kita harus menyadari bahwa media memerlukan identifikasi pada setiap peristiwa 
yang dilaporkannya. Jika sebuah peristiwa kekerasan dilakukan oleh para preman, 
misalnya, media akan melaporkannya sebagai sebuah tindakan premanisme. Jika 
sebuah perkelahian dilakukan oleh anak-anak sekolah, media akan melaporkannya 
sebagai perilaku tawuran di kalangan pelajar. Begitu juga, jika ada sebuah 
peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Front Pembela Islam (FPI), 
misalnya, sudah pasti pelabelan yang paling tepat adalah kekerasan atas nama 
Islam.

Media tak mungkin mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan FPI, misalnya, 
adalah sebuah perilaku preman yang sedang ngamuk, atau sebuah tawuran pelajar 
Ibu Kota. Bukan hanya laporan semacam itu menyalahi fakta, tapi para anggota 
FPI bisa dipastikan akan marah karena disamakan dengan preman atau para pelajar 
yang suka tawuran.

Begitu juga dalam kasus terorisme dan pengeboman yang terjadi selama ini. Tentu 
saja ada sebagian peristiwa pengeboman dan terorisme yang dilakukan bukan atas 
dasar dan motif Islam. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa serangkaian bom dan 
teror yang mematikan selama ini dilakukan oleh sekelompok orang Islam yang 
didorong pemahaman tertentu terhadap agama ini.

Para pelaku bom Bali I, seperti Imam Samudra dan Amrozi dengan bangga mengaku 
melakukan itu karena keyakinan yang dalam terhadap doktrin jihad. Begitu juga, 
kelompok Azahari yang melakukan bom Bali II dan serangkaian teror bom lainnya, 
mengklaim perbuatannya atas nama Islam.
Media massa memerlukan identifikasi ketika melaporkan sebuah peristiwa. Dan 
para wartawan berusaha menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh para pelaku 
teror dan pengeboman itu. Jika para pelaku teror memberikan pesan bahwa mereka 
melakukan aksi-aksinya karena dorongan yang kuat dan pemahaman yang mendalam 
tentang Islam, media harus melaporkannya demikian.

Menurut saya, yang menjadi persoalan bukanlah apakah media telah melakukan 
stigmatisasi, tapi apakah kaum muslim siap dan mampu membedakan diri secara 
tegas dengan para teroris dan pelaku kejahatan. Maksud saya, jika memang benar 
ada sekelompok umat Islam yang melakukan tindak kekerasan dan teror, apakah 
mereka sanggup mengecam itu sebagai sebuah kebiadaban yang nyata?

Persoalan besar yang menghantui kaum muslim selama ini, menurut saya, adalah 
ketidakberanian atau keragu-raguan dalam menyikapi berbagai tindak kekerasan 
dan terorisme yang terjadi selama ini. Alih-alih mengakui, mereka cenderung 
mencari kambing hitam dengan mengadopsi teori konspirasi atau menyalahkan 
pihak-pihak lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa yang terjadi.

Benar bahwa persoalan terorisme dan kekerasan yang melanda dunia belakangan ini 
memiliki kaitan erat dengan tatanan dunia global dan kebijakan luar negeri 
negara-negara Barat, Amerika Serikat khususnya. Tapi, melampiaskan seluruh 
kesalahan pada faktor eksternal adalah sebuah sikap pengecut dan tak 
bertanggung jawab.

Jika MUI dan para tokoh Islam tak pernah tegas dalam menyikapi terorisme atau 
selalu terkesan ragu-ragu, jangan salahkan kalau ada orang baik di dalam maupun 
di luar negeri yang mencurigai bahwa mereka sebenarnya memiliki kesamaan 
mendasar dengan para teroris dan pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama. 
Jika para tokoh Islam tidak menyetujui tindak kekerasan yang dilakukan sebagian 
kelompok Islam, sudah seharusnya mereka membuat pernyataan tegas dan sepenuhnya 
memisahkan diri dari para teroris.

Persoalan serius yang melanda para tokoh Islam dan juga sebagian kaum muslim 
adalah ketidakmampuan membedakan diri dengan para teroris dan pelaku kekerasan 
dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Meskipun mereka menolak kebrutalan atau 
doktrin bunuh diri, diam-diam mereka menyetujui, misalnya, konsep 'perubahan 
dengan tangan' (falyughayyir bi yadih)--yang secara vulgar dilakukan oleh 
FPI--atau konsep 'keras terhadap orang-orang kafir' (asyidda 'ala al-kuffar ).

Doktrin-doktrin semacam itu bukan hanya tidak ditolak, tapi justru malah 
ditumbuhkembangkan di lembaga-lembaga Islam dan majelis-majelis taklim. 
Sikap-sikap intoleran dan rasa permusuhan yang dikembangkan MUI lewat beberapa 
fatwanya yang terakhir sangat jelas mengindikasikan hal itu.

Saya kira, tugas para tokoh Islam sekarang ini bukan hanya sebatas retorika 
memerangi terorisme dan kekerasan, tetapi secara sungguh-sungguh mengikis 
benih-benih sikap intoleran dan kebencian antarsesama umat manusia. Jika 
lembaga-lembaga Islam masih terus mengampanyekan ajaran-ajaran yang tidak 
toleran dan terus menyuarakan permusuhan, jangan harap kekerasan atas nama 
agama dan juga terorisme akan sirna.


* Luthfi Assyaukanie: Dosen di Universitas Paramadina, Jakarta.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Life without art & music? Keep the arts alive today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/7zgKlB/dnQLAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke