SUARA KARYA Menyikapi Maraknya Penyakit Sosial Oleh Sri Sugiyati
Kamis, 2 Februari 2006 Situasi sosial kehidupan masyarakat Indonesia dari hari ke hari kian memburuk. Hal ini terlihat dari makin maraknya tindak kejahatan, kekerasan sosial, amuk massa, main hakim sendiri, dan berbagai penyimpangan sosial yang tumbuh secara bervariasi. Yang lebih mengerikan, makin banyak pengidap penyakit HIV/AIDS di negeri ini. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan RI, pada Maret 2005 tercatat 6.789 orang Indonesia mengidap penyakit ini, terdiri dari 3.668 HIV positif dan 3.121 orang AIDS. Tetapi pada Juni 2005, jumlah pengidap HIV/AIDS mencapai 7.082 orang atau bertambah 293 orang dalam kurun waktu 3 bulan. Karenanya, HIV/AIDS tetap menjadi ancaman bagi negeri ini. Laporan UNAIDS, AIDS Epidemic Update (Desember 2005), menyebutkan penderita penyakit berbahaya itu di Indonesia pada 2010 diprediksi akan mencapai 93.000-130.000 orang. Mengerikan! Sebuah LSM Peduli AIDS di Serang (Banten) juga mengungkapkan, Indonesia bersama China dan India termasuk negara berpenduduk besar yang menyimpan 'bom' AIDS, karena terjadi pertumbuhan jumlah penderita HIV/AIDS yang luar biasa, diperkirakan sudah mencapai 80.000-100.000 kasus. Percepatan seperti deret ukur ini karena akumulasi banyak faktor, seperti akibat peningkatan kasus narkoba 10 kali lipat. Yang juga memrihatinkan adalah kian mekarnya perilaku menyimpang di kalangan anak-anak dan remaja negeri ini. Di kalangan remaja, misalnya, fenomena hubungan seksual pra-nikah, yang meniadakan lembaga perkawinan yang luhur, sudah kian pesat perkembangannya belakangan ini. Dampaknya pun amat jauh dalam kehidupan sosial masyarakat manakala hubungan tanpa nikah dianggap wajar, bukan pelanggaran dan bukan tindak perzinahan bila dilakukan secara suka sama suka. Bahkan dalam kasus perkosaan pun, si pemerkosa bisa lepas dari jeratan hukum jika ia dapat berdalih dalam pembelaannya dengan mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas dasar "suka sama suka". Fenomena lain yang memrihatinkan terkait dengan maraknya tindak pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban remaja serta anak-anak. Anak-anak belasan tahun dan masih bersekolah, seperti kerap diberitakan media massa, juga banyak terlibat dalam kasus perkosaan. Hal itu bahkan telah menjadi peristiwa sehari-hari yang lazim dan menjadi pola kehidupan masyarakat kita. Berbagai kasus tindakan penyimpangan norma dan kriminalitas di atas tentu saja berkembang dalam situasi yang tidak vakum alias banyak faktor yang memengaruhinya. Tetapi, apa- pun penyebabnya dan seberapa- pun tingkat kejadian dan pelaku maupun korbannya, hasil akhirnya tetap mengindikasikan hal yang sama, yakni terganggunya dan bahkan rusaknya tatanan kehidupan masyarakat kita. Artinya, makin maraknya kasus-kasus di atas menunjukkan adanya gejala kuat bahwa nilai-nilai dan norma-norma kehidupan masyarakat kita mulai dilanggar dan telah menjadi sesuatu yang longgar. Ada pergeseran nilai dan norma-norma, yang sebetulnya merupakan perubahan perilaku masyarakat. Kondisi ini tentu amat mencekam. Terutama, bila mengingat perubahan sosial yang berdimensi penyimpangan sosial dalam beragam bentuknya itu mengibas di kalangan remaja dan anak-anak kita, yang tiada lain merupakan tunas-tunas dan harapan bangsa Indonesia. Di tengah keprihatinan ini, yang perlu dicermati adalah seberapa jauh perubahan perilaku disertai perubahan persepsi dan bahkan sikap hidup masyarakat tentang moral dan agama sebagai sendi mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam? Ada kesan perubahan perilaku dan persepsi masyarakat mulai mengarah ke situasi netral nilai, bebas nilai, dan paham moral situasional yang hedonistis. Hal rawan di atas bukan mustahil akan makin meluas memasuki era globalisasi dengan arus informasi berteknologi canggih yang kian membanjiri kehidupan masyarakat kita. Nilai-nilai pragmatisme, materialisme dan hedonisme yang diusungnya tak pelak akan memengaruhi kehidupan masyarakat. Inilah barangkali yang perlu direnungkan semua pihak, terutama oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dhus, semua pihak perlu berpartisipasi aktif mengatasi 'penyakit' sosial di atas, terutama karena ia baru bisa disembuhkan melalui proses panjang dan mendasar. Di situlah, misalnya, fungsi agama sebagai faktor penyuci (sublimasi) dalam kehidupan masyarakat sangat diperlukan kehadirannya, selain faktor-faktor profetik lain. Sebagai faktor penyuci, tulis Peter L Berger (1991), agama perlu dijadikan acuan bagi humanisasi kehidupan manusia, yang berarti sebagai peneguhan terhadap nilai-nilai yang fitri berupa proses pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran nafsu dan perilaku hewaniah. Dalam konteks inilah pentingnya penanaman kepastian akan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan. Dalam konteks agama, yang juga perlu direnungkan bersama, jangan-jangan selama ini kalangan umat beragama - terutama melalui cendekiawan atau ulamanya - terlampau asyik dengan pengembangan pemikiran-pemikiran 'pembaharuan' yang bersifat transformasi pemikiran. Agama terlampau banyak diperbincangkan pada tataran pemikiran spekulatif dan serba rasional, demi memenuhi tuntutan zaman modern. Dampaknya lalu muncul pragmatisme dengan atas nama kontekstualisasi. Agama serba dituntut menjawab tantangan-tantangan struktural kehidupan modern sehingga menyisihkan tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis. Dampak lain dari wacana yang acap kali kontroversial itu, muncul berbagai pembongkaran (dekonstruksi) sedemikian rupa, yang kadangkala masih bersifat embrional tetapi disuarakan dengan nada amat nyaring. Pembongkaran penuh semangat ini membawa implikasi pengabaian fungsi agama sebagai pemberi kepastian makna dan sikap hidup. Akibatnya, sebagian pemeluk agama menjadi kehilangan kepastian, sebab semua nilai dibongkar dan serba dinisbikan. Bukan cuma agama, bahkan nabi dan Tuhan pun kadang disikapi secara kurang begitu takzim, demi 'pembaharuan'. Karena itulah, dengan makin maraknya 'penyakit' sosial dan moral masyarakat kita sekarang ini, tak ada salahnya bila para tokoh dan pemikir agama, mulai merenungkan-ulang tentang semangat pembaharuan yang terlampau bersemangat dan gegap-gempita itu. Di depan mata kita, kini sudah bermunculan beragam panorama 'penyakit' sosial yang membutuhkan therapi yang relatif pasti dan praktis dari agama. Konkretnya, marilah sirami masyarakat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang jelas dan bisa dijadikan acuan untuk bertindak. Di sinilah pentingnya tuntunan-tuntunan praktis tentang kehidupan beragama, disertai proses sosialisasinya yang juga praktis. Itulah solusinya. *** Penulis Direktur Lembaga Tafsir Etika Sosial (LTES) Yogyakarta. [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/