http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=176952
Selasa, 21 Juni 2005,


Miskin Ide dan Kreativitas
Oleh Riswandha Imawan *


Menghadapi impitan persoalan berat, layak bila orang menjadi bingung bahkan 
frustrasi. Tidak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, 
berbeda dengan orang kebanyakan, tindakan presiden harus tetap terukur dan 
konstruktif. 

Bagaimanapun sebagai seorang pemimpin, presiden harus menunjukkan kualitas 
lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan. Bahasa pelesetannya, "Bingung 
ya bingung, tapi mbok jangan mbingungi."

Mbingungi tidak otomatis terkait dengan ketidakmampuan. Sikap itu muncul lebih 
karena kebimbangan yang berlebihan atas keputusan terbaik yang harus diambil di 
bawah impitan waktu. Sebenarnya, inilah ujian bagi kualitas kepemimpinan SBY. 
Apakah SBY terpaku pada realita atau mampu menangkap pola dan gejala?

Selayaknya SBY mampu melihat pola dan gejala. Bila terjebak realita, energinya 
akan terkuras habis untuk membuat kebijakan yang tambal-sulam. SBY hanya lari 
dari satu realita ke realita lain. 

Padahal secara metodologis, realita merupakan interpretasi terhadap fakta. 
Karena itu, bila SBY terpaku pada realita, sejatinya presiden dipermainkan oleh 
mereka yang menginterpretasikan fakta.

Bagaimana agar SBY mengendalikan realita? Jawabannya, SBY harus kaya dengan ide 
dan kreativitas untuk menciptakan irama permainan. Dalilnya, pemenang adalah 
mereka yang menentukan irama permainan.

***

Sejarah membuktikan kebenaran dalil tersebut. Kebangkitan bangsa Jepang setelah 
Perang Dunia II atau bangsa Vietnam setelah Perang Vietnam memberi pelajaran 
bahwa kuncinya ada pada tiga faktor: kebanggaan sebagai bangsa (nasionalisme), 
disiplin dalam bekerja dengan menaati hukum yang berlaku, serta kreativitas 
pemerintah (dan warga negara) menemukan ide-ide baru (Aoki, Kim, Fujiwara, 
1997).

Bila konstanta tersebut dijadikan patokan, tampak kita tak cukup memiliki 
landasan kuat untuk bangkit. Rasa kebangsaan kita merosot tajam (Kuntowijoyo, 
2004). Disiplin kerja kita rendah. Ketaatan pada hukum tampaknya lebih rendah 
lagi. 

Sementara itu, akibat kekosongan paradigma p
enyelenggaraan bernegara, pemerintah tidak cukup kreatif menampilkan ide-ide 
baru. Kalau saja pemerintah cukup inovatif, masalah kemerosotan nasionalisme 
dan disiplin sangat mungkin teratasi.

Tapi, inilah masalah terbesar kita. Beberapa kebijakan akhir-akhir ini memberi 
indikasi bahwa pemerintah tidak cukup inovatif menghadapi persoalan. Atas nama 
"menciptakan stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi," demi memberantas 
aksi terorisme, pemerintah kembali mengaktifkan institusi-institusi yang dulu 
menjadi instrumen represi sekaligus memata-matai aktivitas rakyat. 

Membentuk Desk Antiteror, pengaktifan kembali Kominda dan Pamswakarsa 
mengindikasikan bahwa pemerintah tidak cukup kreatif mencari format pengelolaan 
konflik yang sesuai dengan situasi saat ini.

Kegagalan aparat menciptakan rasa aman kepada publik dijadikan alasan untuk 
bernostalgia dengan efektivitas format represi negara kepada rakyat di era 
rezim Soeharto. Nostalgia itu beresiko pada upaya peningkatan kualitas 
demokrasi di negeri ini. 

Upaya membangun social trust (rasa saling percaya antarwarga/kelompok 
masyarakat) yang menjadi bangun dasar civil society dan fondasi deepening 
democracy terancam. Pada saat kesenjangan ekonomi makin melebar, format 
tersebut bisa membuat masyarakat saling memata-matai.

Alternatif pengelolaan dinamika sosial yang mampu mengubah energi negatif 
menjadi energi positif luput dipikirkan. Misalnya, modernisasi lembaga adat 
agar masyarakat bisa mengelola konflik berdasarkan perangkat norma yang 
dikenal, tanpa terlepas dari hukum formal maupun kesesuaian dengan ide-ide baru 
yang berkembang. Lembaga (dan tokoh) adat tetap saja difungsikan sebagai 
instrumen mobilisasi massa untuk kepentingan legitimasi negara.

Fungsi tersebut membuka peluang bagi pemerintah untuk lebih fokus pada 
pencapaian tujuan, tidak pada proses. Itu ciri Orde Baru. Hal tersebut juga 
tidak sesuai dengan ide participatory democracy yang kita inginkan. 

Artinya, ada dasar yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa organisasi massa 
bentukan negara akan kembali dianakemaskan, sementara organisasi massa bentukan 
warga negara dianaktirikan. Lalu, kapan akan terbentuk relasi seimbang antara 
tiga pilar demokrasi: political society, economic society, dan civil society?

***

Alasan pemerintah kembali ke romantisme Orde Baru karena fungsi dasar pelayanan 
sosial terabaikan selama tujuh tahun gerakan reformasi. Ada benarnya. Energi 
kita memang lebih banyak dicurahkan untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan 
daripada berpikir tentang pemecahan masalah yang nyata dihadapi masyarakat. 

Ada benarnya pula pernyataan Presiden SBY bahwa program yang dulu baik 
dilanjutkan, yang jelek ditinggalkan. Sebab, makna dasar reformasi adalah 
memahami apa yang salah, mengetahui faktor yang salah, lalu mengeliminasi 
faktor-faktor itu.

Pertanyaannya, "baik bagi siapa?" Sejak dulu selalu terjadi, baik bagi 
pemerintah tapi tidak baik bagi rakyat. Kenaikan harga BBM, contohnya. Demikian 
pula, seberapa efektif program itu dihidupkan kembali? Apakah asumsi-asumsi 
yang digunakan dulu masih relevan untuk situasi saat ini? 

Kalau tidak, program-program tersebut sangat mungkin gagal. Bila gagal, 
setidaknya tidak ada hasil konkret yang dirasakan masyarakat dalam tempo 
singkat. Hal itu bisa jadi bumerang bagi SBY. Bisa jadi, SBY dicap hanya bisa 
"mencanangkan" tanpa bisa "melaksanakan."

Indikasinya sudah ada. Dicanangkan perawatan kesehatan murah untuk masyarakat. 
Tatkala wabah penyakit merebak, penderita yang mayoritas dari keluarga miskin 
itu tetap saja harus membayar. Kecuali, tentu saja, untuk keperluan shooting 
berita di televisi.

Lebih sedih lagi tatkala jari telunjuk pemerintah mengarah pada ketidaktahuan 
para orang tua akan pentingnya gizi dan kesehatan. Itu mengasumsikan bahwa 
orang miskin adalah orang bodoh yang tidak berpendidikan. 

Faktanya, banyak orang pintar yang miskin. Hingga mereka pun berteriak: "Bukan 
kami tidak tahu, tidak sadar akan pentingnya gizi, namun kami tidak punya 
pekerjaan untuk memperoleh panghasilan guna memenuhi standar kesehatan itu." 
Kalau sampai anak kader posyandu di Tanjung Pandan, Belitung, bergizi buruk, 
apalagi alasannya?

Bingung, memang. Tapi, itu terjadi karena pemerintah hanya mampu berpikir 
tentang solusi yang itu-itu saja. Kenapa? Sebab, pemerintah tidak mampu keluar 
dari framework politik Orde Baru tentang pluralisme terbatas dalam pengambilan 
keputusan seraya mereduksi sumber informasi hanya dari intelijen saja.

Kaki Merapi, 20 Juni 2005

* Prof Riswandha Imawan PhD, guru besar UGM Jogjakarta 



[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to