http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/o3.htm
Perekonomian nasional dalam beberapa waktu ke depan tampaknya masih akan mengalami banyak ancaman. Di antaranya masalah perseteruan antara buruh, pengusaha dan pemerintah akibat tidak satunya persepsi tentang revisi UU Ketenagakerjaan. --------------------------------- Optimisme Vs Pesimisme Penguatan Ekonomi Oleh Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. PADA triwulan I 2006, perekonomian Indonesia menunjukkan ada geliat perbaikan dilihat dari beberapa indikator, misalnya pertumbuhan sekitar 4,58 persen atau sedikit lebih tinggi dari prediksi awal Bank Indonesia (BI) sebesar 4,35 persen, menguatnya nilai tukar rupiah yang cukup signifikan yakni menyentuh level di bawah 9.000 per dolar AS, cadangan devisa yang hampir Rp 400 trilyun, inflasi yang berada pada level 12,92 persen, dan neraca pembayaran yang mengalami surplus. Di pasar bursa, pada akhir minggu lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengukir rekor tertinggi pada poin 1.355,013. Tentu semua indikator ekonomi itu memberi angin segar dan melegakan masyarakat, khususnya pelaku ekonomi. Namun, apakah hal itu akan bisa terus berlanjut? --------------------------------------------- Dari pihak BI selaku otoritas moneter tetap optimis akan menguatnya perekonomian nasional, karena perbaikan ekonomi diakibatkan oleh kondisi ekonomi global yang tampaknya lebih kondusif dan kinerja neraca pembayaran yang terus diprediksikan membaik serta intensifnya upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi. Demikian juga Produk Domestik Bruto (PDB) 2006 diperkirakan tumbuh lebih tinggi sehingga mendekati batas atas kisaran proyeksi 5,0-5,7 persen. Di samping itu, membaiknya koordinasi antara pemerintah dan BI memberikan dampak positif serta berhasil memulihkan pasar, yang secara tidak langsung memberi tekanan yang kuat terhadap nilai tukar rupiah. Penguatan Temporer Beberapa pihak meragukan keberlanjutan perbaikan ekonomi nasional yang versi BI tersebut. Di antaranya oleh beberapa pengamat dan lembaga keuangan internasional seperti Asia Development Bank (ADB). Seperti menguatnya rupiah, dianggap bukan disebabkan oleh membaiknya fundamental perekonomian, tetapi lebih banyak dikarenakan masuknya dana asing yang memborong saham dan obligasi, sehingga sifatnya temporer atau sementara. Jika dana masuk karena investasi real, seperti dana-dana dari long-term invesment yang berupa pendirian pabrik atau pendirian perusahaan, maka menguatnya rupiah kemungkinan bisa berlangsung lama. Di sisi lain, optimisme BI tentang penguatan rupiah yang dianggap sebagai kinerja perekonomian nasional mengalami perbaikan tampaknya belum diikuti oleh perbaikan di sektor riil, terbukti dengan penyerapan kredit yang masih rendah sehingga tidak akan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Berbeda dengan BI, lembaga keuangan internasional seperti ADB malah pesimis dengan perbaikan ekonomi Indonesia tahun 2006 ini. Jika pemerintah memproyeksikan pertumbuhan 6,2 persen dan BI 5,8 persen, maka ADB hanya memprediksikan tumbuh paling tinggi sekitar 5,4 persen. Lambannya laju pertumbuhan disebabkan oleh rendahnya konsumsi swasta karena suku bunga dan tingkat inflasi yang masih cukup tinggi, yang berakibat pada semakin banyaknya pengangguran. ADB memperkirakan setelah tahun 2007 baru pertumbuhan bisa di atas 6 persen. Untuk inflasi, diproyeksikan pada akhir 2006 sekitar 8 persen dengan rata-rata 14 persen, setelah itu baru turun menjadi 7 persen dengan asumsi kenaikan harga berlangsung secara bertahap. Di pihak lain, pada tahun ini pemerintah Indonesia harus melunasi pokok dan bunga utang luar negeri senilai 9,4 milyar dolar AS, yang berarti setara dengan 14 persen penerimaan ekspor dan 30 persen lebih besar dari pembayaran utang tahun 2005. Ekspansi Melambat Dari aspek lain, ada data yang menunjukkan dari sisi permintaan ekspansi mengalami kelambatan pada triwulan I 2006. Melambatnya ekspansi diperkirakan dari rendahnya pertumbuhan permintaan domestik, meski net ekspor masih cenderung meningkat. Beberapa faktor yang mempengaruhi melambatnya ekspansi, seperti belum membaiknya iklim investasi meskipun paket kebijakan investasi telah dikeluarkan, serta masih berlangsungnya daya beli masyarakat yang melemah sejak akhir tahun 2005. Kondisi permintaan domestik tersebut tentunya berakibat pada semakin terbatasnya peningkatan kapasitas perekonomian. Dari sisi penawaran, sektor ekonomi yang diperkirakan mengalami kelambatan cukup signifikan adalah sektor industri pengolahan, perdagangan serta sektor transportasi dan komunikasi. Meski demikian, ada yang menggembirakan dari dunia perbankan, yakni mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan kinerja yang dapat dilihat dari peningkatan jumlah dana pihak ketiga (DPK), walaupun belum sampai pada jumlah yang diharapkan. Dari fenomena optimis dan pesimis di atas, sebenarnya yang paling penting bagi suatu perekomian adalah stabilitas, sebab stabilitas adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi. Meskipun begitu, harus disadari bahwa stabilitas bukanlah tujuan akhir, sebab hanya merupakan sarana yang pada akhirnya harus dapat menciptakan pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja. Para pelaku ekonomi, misalnya, tidak menginginkan penguatan maupun pelemahan rupiah yang berfluktuasi tajam. Bagi mereka yang terpenting adalah nilai rupiah stabil, meskipun misalnya levelnya agak tinggi. Sebab, pergerakan nilai tukar yang turun naiknya terlalu sering dan tajam, akan menyulitkan pengusaha untuk memproyeksikan berbagai hal, terutama menyangkut anggaran dan perhitungan harga jual suatu produk. Banyak Ancaman Perekonomian nasional dalam beberapa waktu ke depan tampaknya masih akan mengalami banyak ancaman. Di antaranya masalah perseteruan antara buruh, pengusaha dan pemerintah akibat tidak satunya persepsi tentang revisi UU Ketenagakerjaan. Meski untuk sementara belum mengganggu perekonomian secara nasional, namun jika berlanjut terus tentu mau tak mau akan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Saat ini sebenarnya pihak pengusaha tampaknya mengalami tekanan yang berat, sebab tiga unsur biaya produksi yaitu biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik mengalami peningkatan -- yang tentu berpengaruh terhadap harga pokok dan harga jual -- sementara di pihak lain daya beli masyarakat menurun. Jelas bayang-bayang kerugian akan menghantui propek berusaha mereka. Hal lain yang perlu diwaspadai oleh perekonomian nasional adalah menyangkut masih tingginya harga minyak serta berlanjutnya kebijakan moneter ketat di tataran global. Menko Perekonomian berserta menteri yang berada di bidang perekomian selaku otoritas kebijakan fiskal, dan pihak BI selaku otoritas kebijakan moneter, harus jeli melihat gejala-gejala yang akan mengganggu perekonomian nasional itu untuk mempertimbangkan kebijakan yang akan diambil apabila gejala perbaikan ekonomi diharapkan berlanjut. Seperti berbagai paket kebijakan yang telah dikeluarkan pada triwulan I 2006, harusnya sudah dievaluasi awal, sudahkah berjalan efektif? Jika tak diantisipasi dengan kebijakan secara cepat dan tepat serta dilakukannya pengevaluasian awal berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan, maka jelas akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi, dan ujung-ujungnya tentu kinerja ekonomi nasional dianggap tidak berhasil. Efek lanjutannya adalah, pemerintah yang berkuasa saat ini tentu akan dianggap gagal. Penulis, Ketua Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/