Paulus Abraham Abdurrahman
 
Kembalinya Anak yang Hilang
 
Ibarat laron yang mencari bebas dari kelam,
aku terbakar dijilat api yang kusangka cahaya.
Seperti kelana di lembah fatamorgana,
aku terkapar di lembah gelap yang kukira terang
Kini kutempuh jalan selamat dengan kembali bersyahadat
 
Masyarakat sering kali terkesima tiap kali aku datang kesuatu kota 
menyampaikan khotbah di mimbar-mimbar gereja. Bukan hanya lantaran 
uraianku yang gamblang dan menyentuh perasaan, melainkan juga karena 
kefasihanku apabila mengutip ayat-ayat Al-Quran sebagai 
perbandingan. 
Apalagi setelah membaca namaku EV (Evangelis) Paulus Abraham 
Abdurrahman. Mereka bertanya-tanya: Siapakah aku sebenarnya? Apakah 
nama Abdurrahman sekedar untuk mengelabui umat Islam? Ataukah memang 
tadinya aku seorang Muslim? Kalau betul aku belum lama menjadi 
Kristen, mengapa begitu hafal dan lancar melontarkan firman-firman 
Kitab Injil?
 
Hancurnya sebuah Keluarga 
 
Abdurrahman memang nama asli pemberian ayah, putra seorang 
ulama/kyai 
di Pesantren Purbabaru, Tapanuli Selatan. Sedangkan Ibu menambah di 
depannya dengan nama Ade Fadli. Jadi, lengkapnya sejak kecil aku 
bernama Ade Fadli Abdurrahman. Jelas Muslim turun temurun, tak usah 
diragukan lagi.
 
Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Hanya satu orang kakakku yang 
perempuan. Semuanya laki-laki. Ketika usiaku baru tiga bulan, 
menurut 
penuturan tante, orang tua kami berpisah. Padahal ayah dan ibuku 
yang 
sama-sama haji, seharusnya tahu bahwa perceraian adalah perbuatan 
halal yang sangat dimurkai Tuhan. Sejak itu aku diasuh tante, tiga 
saudara-saudaraku, sementara ayahku menikah lagi tatkala aku berusia 
sebelas bulan.
 
Aku bertemu dengan Ibu pertama kali pada waktu berumur 6 tahun. Akan 
tetapi baru berkumpul dengannya 2 tahun kemudian. Tentu saja bersama 
ayah tiri karena ibu sudah punya suami! Ayah tiriku, OK, disamping 
pelatih tinju untuk wilayah Sumatera Utara, juga seorang pengusaha 
dan kontraktor bangunan. Ibu pun tidak ketinggalan aktif berdagang, 
khususnya di bidang jasa boga, melayani katering untuk bea cukai dan 
klub sepak bola PSMS.
 
Meskipun tidak mendapat anak dari OK, agaknya karena tidak dari 
kecil 
berada dalam asuhannya, ibu kurang memperlihatkan rasa cintanya 
kepadaku. Terutama gara-gara kesibukan usahanya sehingga aku lebih 
banyak dididik oleh pembantu. Aku terjerumus kedalam ketidak acuhan 
orang tua, berbeda dengan semasa berada di rumah tante. Apalagi 
semenjak rumah tangga ibu dengan OK berantakan dan ibu kembali 
menjadi Janda, nasib ku kian terlunta-lunta.
 
Tahun 1979 kakak nomor 3 dipanggil Yang Maha Kuasa. Waktu itu atas 
suruhan ibu, aku tinggal bersama ayah karena bisnis ibu sedang 
membentur kesulitan. Tampaknya ibu sangat kehilangan kakakku itu, 
sehingga beberapa hari lamanya ia tertimpa keguncangan mental. 
Berbeda dengan keadaan ayah. Usahanya makin maju. Malah pernah 
dipercaya menggarap proyek lapangan terbang Torgamba dan Aceh. Namun 
celakanya, lantaran kesibukannya, ayah jarang berada dirumah. Aku 
harus bersaing dengan adik-adik lain ibu.
 
Tidak dapat kukatakan bahwa istri ayah membenciku, namun yang jelas 
ia lebih condong memperhatikan kepentingan anak-anaknya sendiri. 
Lebih-lebih setelah ayah mempunyai istri lagi dan ibu tiriku dimadu. 
Aku dan kakak-kakakku makin menderita, kecuali kakak nomor 2 yang 
ikut berusaha mendampingi pekerjaan ayah.
 
Sering aku menyaksikan ayah menyakiti sampai menggampar ibu tiriku. 
Timbullah kebencian dalam hati kepada ayah. Bukankah ia haji? Apa 
arti agama buat ayah kalau tidak ada rasa kasihan kepada istri 
sendiri? Inikah akibat ajaran Islam yang memperbolehkan laki-laki 
melakukan poligami, beristri lebih dari satu? Ia, meskipun bukan ibu 
kandungku, telah banyak berjasa kepada kami. Beliau juga termasuk 
seorang wanita yang sabar, walaupun telah berkali-kali dianiaya, ia 
tidak mau minta cerai. Selemah itukah kedudukan kaum perempuan dalam 
pandangan Islam? Akupun mulai dihinggapi keragu-raguan akan 
kebenaran 
isi Al-Quran.
 
Malaikat pelindungku
 
Hidupku makin terombang-ambing. Terutama sesudah kami mengetahui ibu 
(kandungku) berniat kawin lagi dengan seorang duda beranak empat. 
Tidak ada seorangpun dari kami yang menyetujui rencana ini, tapi ibu 
tetap berkeras melaksanakan keinginannya. Barangkali memang berat 
hidup menjanda. Gosip dan desas-desus sering menimpa. Namun bagi 
kami 
justru merupakan aib yang memalukan. Kami merasa benci karena banyak 
menerima bisikan bahwa ayah dan ibuku hobi kawin-cerai.
 
Aku mulai belajar keluyuran, padahal tadinya aku dikenal pendiam dan 
sopan. Kalau ada yang menegur atau memberi nasihat, kutangkis bahwa 
aku ini anak yatim piatu. Maksudku, yatim dari kasih ayah dan piatu 
dari cinta ibu. Aku mondar-mandir, kadang-kadang ikut ibu bila 
sedang 
makmur, besoknya kembali kepada ayah kalau ibu sedang kepepet.
 
Akhirnya aku minggat, kembali tinggal bersama tanteku. Cuma 
sayangnya, sikap beliau terhadapku sudah tidak sehangat dulu lagi. 
Jadinya aku frustasi. Dan pelarianku kemana pula jika bukan kepada 
mabuk-mabukan, menenggak minuman keras. Sampai kemudian aku dijemput 
oleh kakak nomor 2 setelah lebaran, sebab ayah menangis gara-gara 
aku 
tidak berada di sisinya pada hari raya yang agung itu.
 
Oleh ayah aku disarankan pulang ke kampung kelahiran sambil menekuni 
ilmu agama di pesantren kakekku. Tidak berapa lama berada dalam 
gemblengannya, kakek meninggal dunia. Aku kehilangan pegangan 
meskipun tadinya sudah mempunyai cita-cita hendak meneruskan 
pelajaran ke Kairo Mesir. Pikiran sehatku sudah pernah singgah, 
yaitu 
ingin menjadi mubaligh atau dai dikemudian hari.
 
Semua bergembira mendengar tekadku itu, maka tatkala pada kesempatan 
libur aku pulang ke Medan, ibu dan seluruh keluargaku menyambut 
dengan mesra. Mereka terharu menyaksikan perubahan perangaiku yang 
saat itu masih taat beribadah. Sesudah habis masa libur, akupun 
kembali ke pesantren. Dalam bus aku duduk bersebelahan dengan 
seorang 
gadis lembut mengenakan jilbab yang ternyata murid di pesantren yang 
sama.
 
Oleh karena itu, perkenalan kami langsung menjadi hubungan yang 
akrab. Ia sangat baik, dan yang membuat aku bangga, meski usianya 
diatasku, ia memanggilku kakak dan tampaknya menaruh perhatian besar 
terhadapku. Sebagai perjaka puber yang merindukan kasih sayang, 
hatiku langsung tertambat padanya. Bahkan dari hari kehari aku kian 
tergila-gila. Namanya yang indah, NS, selalu kusebut-sebut diwaktu 
jaga dan didalam mimpi.
 
Ia amat telaten menampung semua keluhanku. Kebutuhanku akan 
perlakuan 
yang tulus dari seorang ibu bisa kudapatkan padanya. Namun 
kebahagiaanku cuma berlangsung sebagai fatamorgana. Tiba-tiba sirna 
dilahap kekeras-kepalaan manusia. Ibu dan ayah kandungku tidak 
merestui hubungan kami, juga orang tua NS. Bahkan tanpa berunding 
dulu gadisku ditunangkan dan kemudian dinikahkan dengan F, mahasiswa 
kedokteran semester terakhir dikota M. Aku tercabik-cabik dan nyaris 
nekat menghabisi nyawa sendiri.
 
Aku pun keluar dari pesantren tanpa permisi setelah tiga tahun 
menggali ilmu. Kembali pengetahuan agama tidak membekas dihati. 
Kucurahkan kekesalanku di jalan-jalan sebagai anak liar. Wiseng dan 
Cap Orang Tua menjadi dewa penghibur, meskipun kalau berada di rumah 
atau di kampung ayah dan ibu, aku pura-pura alim atau ikut aktif di 
remaja masjid. Tapi bila kakakku lengah, sepeda motornya kuserobot 
dan aku ngebut ugal-ugalan di seantero kota. Karenanya ia pernah 
marah dan aku dihantamnya hingga terjerambab di lantai.
 
Huh, Brengsek semua. Tidak seorangpun saudara atau keluargaku, 
termasuk ayah dan ibu, yang mau memahami keadaan jiwaku yang tengah 
gersang dan hampa. Aku tidak tahu arah. Ibarat musafir, aku 
kehabisan 
bekal, tenaga dan cahaya. Dalam suasana begitu ayah menyuruhku 
mengikuti kursus manajemen. Kupilih saja Emmanuel yang gedungnya 
bergengsi dan dipimpin oleh sarjana berbobot, Ir. APM.
 
Sedikit demi sedikit aku mulai terhibur oleh sikap kawan-kawan dan 
pimpinan kursus yang semuanya beragama Kristen. Begitu baiknya 
mereka 
sampai-sampai aku berpikir: Inikah kawan-kawan sehati? Ditengah 
merekakah seharusnya aku berada?
 
Di tengah-tengah kesesatanku itu, seorang kawan kursus yang pandai 
dan baik budi hadir dalam kehidupanku, bernama N. Ia berasal dari 
Menado, Sulawesi Utara. Ia ikut orang tuanya yang sedang menjalani 
dinas sementara. N sendiri sebetulnya masih berstatus mahasiswa pada 
sebuah institut terkenal dikota B, Jawa barat. Ia tengah 
menyelesaikan ujian skripsinya. Ternyata dialah malaikat 
pelindungku. 
Dia begitu bijak sesuai dengan latar belakangnya yang pernah ditempa 
dilembaga pengkaderan Kristen di Malang, Jawa timur.
 
Diselamatkan
 
Sejak itu aku lebih dekat dengan N dan dari dialah aku kenal siapa 
kristus. Mula-mula aku mengalami kesulitan untuk menerimanya sebagai 
Tuhan. Aku ragu-ragu, bahkan sering bertikai pendapat. Barangkali 
ini 
merupakan sisa-sisa pelajaranku di pesantren. Namun, N tidak pernah 
bosan hingga akhirnya aku menyerah. Terutama karena di tengah 
keluarganya aku mendapat kasih sayang, diperhatikan dan diperlakukan 
seperti anak hilang yang baru kembali. Maka meskipun dari segi 
keimanan Kristiani masih bimbang dan sering menentang, aku merasa 
mempunyai tempat pelarian.
 
Rupanya segenap familiku telah mendengar kabar tentang perpindahan 
agama yang kulakukan. Kuharap mereka mau membujukku untuk kembali. 
Ternyata tidak! Mereka bahkan menyumpahiku sebagai anak murtad, 
kafir 
dan dikutuk Tuhan. Aku juga tidak diakui lagi sebagai keluarga, maka 
akupun makin nekat. Aku sangat aktif mengikuti acara kebaktian-
kebaktian. Dalam salah satu kegiatan doa persekutuan di rumah N aku 
terkesan oleh khotbah Pak Pendeta: "Marilah yang letih lesu, yang 
berbeban berat, angkatlah Aku. Nanti engkau akan memperoleh 
keringanan. Engkau pasti mendapat kedamaian dan kebahagiaan."
 
Akibatnya aku seolah kepanasan di kotaku sendiri. Maka aku pun 
berangkat ke Jakarta untuk menemui Bapak LR disebuah lembaga 
pengkaderan AlKitab. Dari situ aku meneruskan ke Lawang, Jawa Timur, 
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan Bibel.
 
Sesudah sembilan bulan disana, aku dinyatakan lulus, lalu diberi 
tugas keliling untuk menyampaikan ilmu yang kuperoleh kepada 
masyarakat. Setelah itu, dengan ditemani Bapak VP aku bertolak 
menuju 
Mojokerto guna memperdalam ilmu di IKBI (Institut Kristen Bethani 
Indonesia) yang bernaung di bawah Gereja Bethel Pusat, Jakarta. 
Pesertanya mayoritas China, yang pribumi bisa dihitung dengan jari.
 
Aku disambut hangat, malah disayangi oleh Pak rektor karena aku 
bekas 
Muslim. Sungguh aku terharu, didalam agamaku dulu, belum pernah 
kuterima penghormatan setulus itu. Tiap kali akan pergi kuliah, 
kitab 
Bibel sudah disediakan dan didalamnya terselip uang paling sedikit 
Rp. 15 Ribu.
 
Namun untuk diresmikan menjadi Kristen tidak segampang prasangka 
orang. Setelah melewati proses pendidikan cukup lama, baru pada 11 
November 1987 aku dibaptis dengan nama Paulus Abraham yang sering 
kusingkat P.A saja. Sejak itulah aku menyandang gelar hamba Kristus. 
Aku menangis, lantaran didalam batinku masih ada pergolakan hebat. 
Namun aku percaya kepada takdir, inilah barangkali tempatku, dan ini 
pula yang menjamin keselamatanku.
 
Kegamanganku agaknya tertangkap oleh saudara-saudara baruku. Untuk 
itu mereka segera mengirimku ke Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok 
Tengah, Bima dan Sumbawa selama setengah tahun. Ketrenyuhanku 
menyala 
kembali tiap kali harus menghadapi umat Islam yang merupakan 
penduduk 
mayoritas di NTB.
 
Aku teringat akan masa laluku yang pernah seiman dengan mereka. 
Kekangenanku akan suara adzan yang selalu terlantun merdu dari surau-
surau, masjid-masjid serta pengajian-pengajian AlQuran begitu 
menyentuh kalbuku. Sekarang aku tidak bisa lagi menikmatinya, aku 
tidak bisa lagi melangkahkan kakiku ke masjid sebagaimana dahulu. 
Saat ini aku seorang pendeta, yang kerjanya untuk gereja, bukan 
untuk 
masjid.
 
Kembali perasaanku itu tercium oleh teman-teman sesama pendeta, 
mereka segera menghiburku: "Disana engkau dicaci, disini engkau 
dihormati. Apakah itu kurang memadai?"
 
Makin Mantap
 
Perjalanan keimananku kian berliku semenjak aku makin dipercaya oleh 
gembala sidang untuk menghadiri berbagai kegiatan gereja, tingkat 
nasional maupun regional. Padahal sebelumnya sudah 3 bulan aku tidak 
melakukan tugas luar, sengaja kupergunakan masa vakum itu untuk 
mengunjungi beberapa pesantren di Jawa Barat, karena aku sebetulnya 
ingin kembali bersimpuh kehadirat Tuhan Yang Maha Tunggal, aku ingin 
melafalkan syahadat dengan syahdu. Tetapi mereka menuduhku telah 
mempermainkan agama tanpa melihat latar belakang kehidupanku. Aku 
bisa memakluminya sebab kala itu statusku masih tetap sebagai 
Pendeta.
 
Akhirnya aku masuk Yayasan Pekabaran Injil selama 9 bulan, dan 
kemudian ditugaskan ke Sydney, Australia, lalu ke Nelson, Selandia 
Baru. Sesudah aku kembali ke Indonesia beberapa saat aku mendapat 
tugas lagi menyampaikan pekabaran Injil ke Pontianak, Palangkaraya, 
Balikpapan dan Samarinda.
 
Pengembaraan memberi kesejukan rohani ini kuteruskan ke Kendari, 
Palu, Ujung Pandangbaru terus ke Jakarta untuk menerima sertifikat. 
Prestasiku dianggap menonjol sehingga aku diangkat untuk bergabung 
dalam Organisasi Pengusaha Kristen Internasional.
 
Selanjutnya aku diberi tugas untuk bergabung dengan tim Menado. 
Disana aku bertemu dengan seorang gadis Taiwan yang seprofesi 
sebagai "penyebar kasih". Kami saling jatuh cinta, oleh Bapak GP 
kami 
lalu dinikahkan disebuah gereja di kota itu. Namun belum genap 3 
minggu berbulan madu, aku harus menghadiri seminar para pengusaha 
Kristen internasional di Jakarta.
 
Dengan kapal "Kambuna" akupun segera berlayar mengarungi lautan 
biru. 
Di anjungan kupandang ombak yang mengalun, tiba-tiba air mataku 
menetes: "Oh, Tuhan, berilah aku petunjuk agar aku mampu menggenggam 
kebenaran. Tunjuki aku jalan menuju iman yang sejati."
 
Persis setelah aku selesai berdoa, kudengar suara lembut menyapaku 
dari belakang. Aku menoleh, Ya Tuhan, Terpujilah Nama-Mu, Mulialah 
Kerajaan-Mu. Wanita itu adalah istri kakakku yang nomor dua!
 
Kamipun bersepakat menghabiskan waktu bersama untuk melepaskan rindu 
dengan bercengkarama. Ia memberi tahu bahwa Ibu tinggal dikota 
Kecamatan B untuk mengelola kontrak usaha kateringnya dengan sebuah 
perusahaan besar. Sayangnya Ibu sudah sering sakit-sakitan. Aku 
tersentak dan sangat sedih mendengar berita itu.
 
Maka sepulang dari Jakarta,dengan tiket pesawat terbang yang 
ditanggung oleh jemaah gereja, pada kesempatan transit di Balikpapan 
aku beli tiket lagi ke kota B dan tidak jadi melanjutkan perjalanan 
ke Menado. Kudatangi alamat Ibu yang diberikan kakak iparku.
 
Berdebar jantungku tatkala kutapaki halaman rumahnya. Maukah ia 
menerimaku sebagai anaknya? ataukah aku akan diusirnya seperti 
anjing 
buduk? Tapi aku tidak perduli, sebab jauh di lubuk hatiku sudah 
kudapatkan tekad yang mantap.
 
Kembalinya ke kampung Syahadat 
 
Betapa terkejut dan cemas hatiku melihat banyak keluargaku berkumpul 
di depan kamar Ibu. Apa yang terjadi? Ada musibah apa? Ketika 
akhirnya mereka mengenali siapa yang datang, semua mata terbelalak 
lebar. Tante menghambur kearahku dan memeluk tubuhku dengan erat. 
Ditelingaku ia berbisik agar aku tetap tabah. Mengapa?
 
Di kamar, baru aku tahu sebabnya. Ibu terbujur di tempat tidur tanpa 
bergerak. Aku terpacak kaku, ikut-ikutan tidak mampu bergerak. Hanya 
air mataku yang tumpah habis-habisan.
 
"Ibu, maafkan aku, anakmu yang murtad ini!"
 
Sejurus kemudian, seorang pria berwajah bersih dengan gamis berwarna 
putih dan di dahinya membekas bulatan hitam kecoklatan pertanda 
sering bersujud, menepuk pundakku dengan lembut. Ia cuma 
berkata: "Pasrahkan Ibumu kepada Yang Maha Kuasa!"
 
Sayangnya, ia langsung pergi sebelum aku sempat berkenalan. Namun, 
kesejukan tatapan matanya membuatku merasakan ketenangan. Kemudian 
kuketahui dia adalah Kyai besar yang memimpin sebuah pesantren 
ternama dengan sejumlah anak yatim menjadi asuhannya. Ia sengaja 
datang untuk turut mendoakan untuk kesembuhan Ibu. Tetapi karena 
sampai saat itu Ibu masih tidak bergerak, aku lalu menyusul ke 
pesantrennya.
 
Sungguh asri tempatnya, damai dan ceria. Anak-anak pesantren, 
terutama yatim piatu dan gurunya tampak bahagia meskipun sederhana. 
Aku menagis!
 
Inilah sebenarnya duniaku. Untuk merekalah seharusnya aku mengabdi. 
Sekonyong-konyong tekad yang mantap itu memanggil-manggilku.
 
"Sudah saatnya engkau harus bertobat!"
 
Dan bagai ada yang menuntun, akupun mengucapkan kembali Dua Kalimat 
Syahadat: "Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Aku 
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
 
Masya Allah, alangkah lapangnya dadaku, alangkah benderangnya 
jiwaku. 
Aku pun tersedu-sedu.
 
Kini aku pulang ke kampung Iman, kampung yang kadang terasa kumuh 
dan 
compang camping, namun penuh warna-warni surgawi dilubuk hati. Bagai 
rama-rama, aku pernah terbakar dalam api yang kukira cahaya. Sebab 
rupanya aku tersesat di jalan lain.
 
Disinilah seharusnya aku bermukim, bersama Kyai, bersama para santri 
dan bersama Ibu yang kini mulai berangsur sembuh sejak mendengar 
anaknya yang murtad sudah bertobat.
 
Tinggal kini aku harus berusaha mengajak istriku untuk bersama-sama 
memeluk kebenaran hakiki. Mudah-mudahan ia mau mengikuti jejakku 
dengan sukarela dan penuh keyakinan. Semoga Allah memberikan Hidayah-
Nya kepada istriku, agar ia mau memeluk ajaran Islam.
 






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke