***Selama supply dalam negeri belum surplus, mengimpor beras dari luar negeri adalah satu kebijakan tepat pemerintah. Apa akan terjadi bila harga beras menjadi mahal karena demand lebih besar, kita bisa bayangkan.
***Mahalnya harga beras di dalam negeri sama sekali tidak pengaruhui daya beli bangsa Korsel dan Jepang, globalisasi malah menguntungkan dua bangsa itu. Menceritakan Pilih Mati tolak impor beras di Korsel, sangat menghasut dan provokatif. ***Lebih baik pelajari sistim OrBa, yang expor beras surplus ke Burma. Soeharto bisa, kenapa SBY tidak bisa ? Pelajaran dari Korsel Pilih mati tolak impor beras Resistensi kalangan petani terhadap importasi beras ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Di Korea Selatan aksi menentang impor komoditas pangan strategis itu justru berlangsung sangat dramatis. Bahkan, sejumlah orang rela mengakhiri hidupnya sebagai ekspresi penentangan keras terhadap kebijakan impor beras. Hari-hari ini, salah satu isu yang memicu pro-kontra di Tanah Air adalah soal impor beras, yang oleh pemerintah diklaim sebagai upaya menjaga stok pangan dan menahan kenaikan harga komoditas penting itu di pasaran, yang bisa berakibat konsumen terbebani. Tapi, kalangan LSM, intelektual, politisi dan organisasi petani (HKTI), menyayangkan langkah pemerintah yang berencana mengimpor beras dalam jumlah besar itu dari Vietnam. Bukan apa-apa. Argumen populis yang dikemukakan adalah, dengan impor beras, maka petani yang paling dirugikan, karena produsen utama beras ini tentu akan mendapatkan harga yang rendah bila beras impor membanjiri pasaran dan menekan harga. Karena itu, HKTI misalnya, mendesak pemerintah membatalkan rencana impor beras, juga kalangan anggota DPR. Terkait hal itu, adalah menarik menyimak aksi bunuh diri yang dilakukan sejumlah petani Korsel sebagai perwujudan penolakan keras terhadap impor beras, yang dinilai memarjinalkan petani lokal. Tolak impor beras Catatan Oh Cho Ok ditemukan polisi di Taegu, Korea Selatan. Di sebuah rumah sakit kota itu, Oh meregang. Mati. Dia mengembuskan nafasnya dan menyisipkan selembar pesan: menolak beras impor. Menurut Oh, ini berbahaya bagi bangsa Korea. Oh adalah petani perempuan di Kota Taegu. Umurnya 40 tahun. Dia mati sehari sebelum perhelatan Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang digelar pada 18-19 November lalu dengan meminum cairan insektisida. Dalam catatan yang dibacakan oleh polisi, dia menyerukan para politisi Korsel untuk membatalkan rencana pembukaan pasar beras negara tersebut ke dalam perdagangan global. Tak hanya Oh, tapi ada Cung Ton Pum. Cung pun menenggak cairan kimia untuk mengakhiri hidupnya. Demi sebuah perlawanan. Oh dan Cung membunuh dirinya pada saat Korsel merayakan Hari Petani Nasional, yaitu sehari sebelum para pemimpin dunia berkumpul di Pulau Tongbaek, Busan dalam forum APEC. Oh dan Cung bukan orang pertama yang melakukan bunuh diri. Tengoklah dua tahun silam di Cancun, Mexico. Seorang Korea lainnya, Lee Kyung Hae menikam tubuhnya sendiri dengan pisau untuk memrotes rusaknya perekonomian Korsel oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Lee menuduh beroperasinya MNC-MNC tersebut adalah langkah untuk membunuh petani dan merusak lingkungan utama negeri itu. Lee mengejutkan banyak orang. Lee juga mengejutkan orang yang percaya pada kemakmuran di Korsel. Sekitar 1970-1980, negara ini dikenal sebagai negara agraris yang menduduki ranking atas negara industri di seluruh dunia. Di wilayah pinggiran kota Seoul, perubahan terjadi. Orang berbondong-bondong ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dari sekadar bertani. Jumlah penduduk di wilayah pinggiran pun turun drastis. Harga makanan melembek. Plus pendekatan industri yang kerap digunakan untuk mendorong hasil panen membuat Korsel jatuh dalam krisis. Pelahan namun pasti. Walaupun pemerintah Korsel menyeru warganya untuk memakan beras lokal yang dimodifikasi menjadi panganan pizza dan es krim, namun tak cukup mempengaruhi tingkat konsumsi beras lokal warga Seoul yang semakin menurun. Ini juga dipengaruhi oleh gaya hidup. Sekarang mereka lebih suka menyantap kimchi, nasi dan sayuran yang telah diawetkan dan berasal dari China. Kegemaran ini meningkat seiring perusahaan-perusahaan Korsel membayar lebih murah buruh di sana. "Apakah Korea Selatan sebuah negara yang sukses?" tanya Kwon Young Geun dari Korean Agricultural Society Research Institute, retoris. Menurut Kwon, krisis tengah melanda negerinya. Penetrasi perusahaan multinasional tak tertahankan. Ada 50 perusahaan makanan waralaba, dan 40 di antaranya bertengger di Korsel. Walaupun hasil panen meningkat tapi tingkat kecukupan diri warganya terus tergerus. Ini yang membuat tegas jawaban Kwon. Korsel bukanlah negara yang sukses. Tragedi Oh, Cung dan Lee tak sekadar simbol perlawanan terhadap arus perdagangan bebas. Ini sekaligus menjadi dilema. Pada tahun lalu, Korsel setuju untuk menggandakan impor beras berdasarkan kesepakatan dengan WTO sebelum memasuki area perdagangan bebas tahun depan. Pemerintah Korsel sendiri sudah tak berdaya melindungi para petani lokal lebih lama dari perdagangan bebas. Mereka berkilah harga beras impor akan sama dengan harga beras lokal, karena tarif yang dipatok Korsel cukup tinggi. Penjelasan ini tetap saja tak memuaskan para pengunjuk rasa. Sekitar 3,5 juta petani Korsel menentang rencana pemerintah untuk pembukaan pasar liberal. Menurut mereka, pasar bebas justru mematikan bisnis agrikultural petani lokal. Ada demonstrasi besar yang dihelat. Ada kemarahan yang memuncak. "Kami tak ingin Bush. Kami tak ingin APEC," teriak mereka dalam sebuah gelombang massa pekan lalu. "Kami akan menghancurkan APEC. Kami akan menghancurkan WTO. Kami tetap akan melawan!" Yoon Geum Soon dari Koalisi Petani Perempuan mengatakan kematian Oh adalah sebuah 'memoar' untuk terus melawan. Yoon bersama petani lainnya adalah generasi yang menentang habis-habisan dibukanya perdagangan bebas. Menurut mereka, pasar bebas diterjemahkan sebagai upaya pemerintah Korsel untuk membunuh warganya sendiri. Mereka tetap mati walaupun perlahan. Bermuka dua Globalisasi memang bermuka dua. Ada kemakmuran yang ditawarkan, namun samurai panjang siap pula menghunjam. Sangat dalam. Mari lihat Indonesia. Diam-diam, pemerintah menerbitkan izin impor beras awal November. Jumlah impor tak tanggung-tanggung: 70.050 ton. Izin ini berlaku hingga Januari tahun depan dan bisa diperbarui kembali. Alasan yang diberikan adalah pemerintah menjamin ketersediaan stok beras kepada konsumen sekaligus kesejahteraan petani lokal. Ini yang masih abu-abu. Apakah Indonesia tak memiliki nasib serupa dengan Korsel? Banyak yang mengecam. Demonstrasi pun bergulir ke Senayan kemarin. Serupa dengan Oh dan Cung, para demonstran menganggap peraturan ini sebagai langkah untuk membunuh petani lokal Indonesia. Ini adalah pengkhianatan. Pemerintah tak lagi memihak rakyat dan membiarkan pengusaha menerabas tanpa batas. Oh dan Cung merasakan itu. Keduanya tak ingin melihat kepedihan lebih lama di Korsel. Mereka muak dengan pemerintah. Dan kematian keduanya adalah sebuah tebusan terhormat. ([EMAIL PROTECTED]) Oleh Anugerah Perkasa Kontributor Bisnis Indonesia http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=145&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=B30&cdate=27-NOV-2005&inw_id=404876 ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery. http://us.click.yahoo.com/WpTY2A/izNLAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/