http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/11/0902.htm
Pembinaan dan Perlindungan Anak Jalanan Oleh DODI HIDAYAT SEBAGAI manusia lndonesia, anak jalanan (anjal) adalah anak telantar yang wajib dipelihara oleh negara sebagaimana dipesankan UUD 1945. Dari sisi lain, anjal juga mestinya terikat dengan program kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Almarhum Harry Roesli dan beberapa LSM telah berhasil menggali potensi seni atau kreativitas anjal sehingga sebagian dari mereka menjadi seniman atau anak yang berprestasi. Mungkin saja ada bakat lain yang ada pada anjal yang perlu terus digali agar mampu menghapus stigma buruk yang melekat di dalamnya. Tidak dapat dimungkiri kehidupan anjal hampir identik dengan label miring. Ngelem sebagai kegiatan teler dengan cara menghisap Aibon dan sebangsanya hampir menjadi label khusus anjal. Belum lagi tindakan kriminal seperti pencurian, pemalakan, atau gangguan kamtibmas lain sering kali label lain yang sulit dihindari. Labelisasi ini mungkin penyebab apriorinya banyak pihak terhadap anjal sehingga yang paling patut dilakukan adalah pegusiran dan penertiban, bukan pembinaan dan perlindungan. Produk gagal Menjadi anjal pastilah tidak dikehendaki oleh siapa pun termasuk anjal itu sendiri. Kemiskinan sering kali menyebabkan kelahiran kelompok pinggiran seperti itu. Oleh sebab itu UNICEF menekankan faktor pemberantasan kemiskinan dan menanamkan investasi pada anak merupakan salah satu prinsip dan tujuan yang ingin dicapai Hampir pasti dapat diasumsikan bahwa anjal identik dengan kemiskinan sehingga bertambahnya populasi anjal dapat menjadi indikator bertambahnya keluarga miskin. Kemiskinan memunculkan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan yang menjadikan tempat apapun sebagai arena hidup, termasuk stopan, kolong jembatan, trotoar, ataupun ruang terbuka yang ada. Kegagalan keluarga bukan mustahil menjadi penyebab lain munculnya anjal. Banyak anjal muncul akibat kelahiran yang tidak dikehendaki. Bisa juga akibat dendam kepada bapak/ibunya kemudian menelantarkan anaknya. Atau ada anak melarikan diri dari rumah akibat disharmonisasi ibu-bapaknya. Kegagalan ini bisa mendorong berkumpulnya anjal dengan keragaman problematika yang dialami untuk kemudian saling mengisi dan mendidik satu sama lain. Dampaknya anjal akan menjadi kaya dengan persepsi buruk terhadap pihak lain di luar anjal sebagai penyebab dirinya demikian. Oleh sebab itu anjal menjadi rentan dengan penyakit sosial, termasuk kriminalitas, penyimpangan seksual, dan trafficking. Pembinaan dan perlindungan Menggusur anjal sebenarnya dapat memperburuk persepsi anjal terhadap petugas penertiban dan pemerintah sebagai musuh bersama anjal. Yang perlu dilakukan justru mengurai kekuatan buruk anjal dengan upaya penampungan dan pembinaan. Ketika ada upaya pengembalian kepada keluarganya, mungkin perlu pemilahan dan pemilihan agar tidak kembali ke dalam kehidupan bebas sebagai anjal. Oleh sebab itu, upaya penanganan anjal tampaknya perlu sinergi dengan upaya pemberdayaan masyarakat miskin serta pembinaan usaha kecil dan menengah atau pembinaan kehidupan remaja agar tidak terjerumus dalam kegagalan hidup. Tanpa sinergitas berkecenderungan kepada pemborosan energi dan biaya yang tersedia. Membina anjal tentu perlu ditempatkan sebagai pembinaan generasi penerus yang memiliki cita-cita, kreasi dan panutan. Membangun cita-cita merupakan langkah penting agar termotivasi untuk mengubah kebiasaan yang dipandang buruk banyak pihak. Demikian juga kreasi yang terpendam perlu media yang memadai untuk ditumbuhkembangkan. Ketika banyak pihak NGO mampu berkorban untuk menggali kreasi anjal, mestinya hal demikian lebih memacu pemerintah dengan instansi terkait untuk meningkatkan kinerja dalam pembinaan anjal. Dalam UU 23/02 tentang Perlindungan Anak, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak ( pasal 22). Demikian juga masyarakat yang diwujudkan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25). Sedangkan orang tua bertanggung jawab mengasuh memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Pemerintah tampaknya dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menangani anjal karena orangtua mereka tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya (pasal 45 ayat 2 UU 23/02). Depsos dalam buku pedoman Perlindungan Anak (2002), menyusun kebijakan yang dapat dijalankan dengan memperkuat sistem pelayanan, bantuan, dan rehabilitasi anak yang menekankan pada upaya preventif berbasis masyarakat, integratif, komprehensif dan akuntabel. Untuk merealisasikannya diupayakan dengan merevitalisasi institusi terkait dengan penanganan masalah anak serta peningkatan kesadaran dan peran aktif masyarakat, baik lokal maupun lembaga-lembaga yang ada pada komunitas dalam upaya perlindungan anak. Strategi di atas perlu disikapi dengan asumsi bahwa pemerintah merupakan leading and commanding dalam menangani anjal yang tidak berhenti ataupun mengendur ketika gerakan masyarakat menguat. Tidak juga tanggung jawab tersebut dilimpahkan semua kepada masyarakat. Kemauan berkorban aparat terkait dalam membina anjal perlu terus ditanamkan sehingga pembinaan itu tidak harus dilakukan dengan membawa anjal ke tempat rehabilitasi sosial. Tindakan ini berisiko sosial-psikologis karena anjal akan memandang buruk instansi tersebut sebagai pihak yang perlu dihindari. Pandangan semacam itu akan menjadi ganjalan dalam upaya perlindungan anak yang diprogramkannya sendiri. Perlindungan anak bertumpu pada lima komponen sesuai dengan UU tersebut di atas. Komponen pertama, anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Dalam kehidupan anjal, komponen ini menjadi penting untuk ditumbuhkan agar dengan dasar keagamaan yang baik penyimpangan prilaku yang cenderung muncul menjadi berkurang. Komponen kesehatan menuntut pemerintah menyediakan fasilitas secara komprehensif yang didukung oleh peran serta masyarakat. Komponen ini sering menjadi persoalan dalam kehidupan anjal mengingat pola hidup yang tidak sehat menyebabkan gangguan kesehatan sering mengancam anjal. Berbagai penyakit sangat mudah hinggap sehingga pelayanan kesehatan terhadap kelompok anak pinggiran ini perlu dilakukan secara agresif. Mengenai komponen pendidikan, anjal tidak dapat diperlakukan sama dengan anak yang mengikuti pendidikan formal. Unsur formal sangat melekat dalam sekolah sehingga keharusan berseragam, datang pada waktu dan tempat tertentu akan memberatkan anjal. Belajar sambil bermain tampaknya lebih cocok dilakukan pada pendidikan non formal melalui sanggar yang ada. Bahkan sebaiknya sanggar tersebut berada pada lokasi aktivitas anjal. Ketersediaan sanggar tentu menjadi perlu disediakan pemerintah dan kalau perlu menjadi tempat singgah para anjal untuk memudahkan pelaksanaan belajar sekaligus media pembinaan dan perlindungannya. Keempat komponen sosial. Komponen ini mewajibkan pemerintah untuk merawat dan memelihara anak telantar agar dapat berpartisipasi, bebas menyatakan pendapat dan menerima informasi, bebas berserikat dan berkumpul, beristirahat dan bermain serta memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Komponen ini menuntut penyediaan peluang dan fasilitas yang menjadi lebih sulit seiring dengan mahalnya ruang terbuka yang ada di perkotaan. Yang lebih menungkinkan untuk dilakukan adalah membangun dan memfungsikan sanggar yang dapat digunakan juga untuk kegiatan sosial anjal. Dalam sanggar yang diperbanyak keberadaannya, sukarelawan yang direkrut NGO dan aparat Depsos-Dinsos memadukan program dan kegiatannya menjadi lebih terpadu. Komponen perlindungan khusus diperuntukkan bagi anak dalam situasi darurat, terjerat kasus hukum, minoritas, trafficking, korban napza, korban kekerasan fisik dan/atau mental, dan juga korban penelantaran. Kesemua hal sangat mungkin menimpa anjal sehingga dalam konteks ini anjal memerlukan perlindungan khusus. Dengan perlindungan semacam ini diharapkan anjal terbebas dari berbagai hal yang berkonotasi buruk. Ngelem, kriminal dan sebangsa napza yang selama ini melekat erat sebagai predikat anjal sepatutnya mulai dikikis dengan menguatnya perlindungan khusus. Sebaliknya, dengan menguatnya predikat tersebut menunjukkan bahwa perlindungan khusus masih jauh dari harapan. Hanya ada yang perlu diingat bahwa setiap orang yang mengetahui dan membiarkan anak dalam situasi darurat tersebut di atas (pasal 78 UU23/02) dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000- Untuk itu, pembinaan dan perlindungan anjal khususnya, menjadi pekerjaan rumah untuk semua. Kehadiran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di daerah semakin penting untuk menyosialisasikan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Tanpa sinergi dan kerja sama dengan pihak terkait lainnya, KPAI pun tidak mungkin bisa bekerja dengan maksimal. Masih ada waktu dan kesempatan.*** Penulis anggota KPAI Daerah kota Bandung [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/