Refl: Menjelang dan pada hari raya agama, kaum beragama biasanya menyatakan 
maaf lahir batin dan  saling bermaaf-maafkan antara satu dengan yang lain. 
Sehari sesuadah bermaaf-maafan ini,  situasinya seperti biasa lagi, dilupakan 
maaf-maaf. Contoh paling jelas ialah mengenai korban kekerasaan 1965/1966. 
Bukankah para korban ini tidak dibuktikan bahwa mereka bersalah?  Tetapi maaf 
yang diucapkan berbasiskan ritual agama Allah tidak diberlakukan  untuk hak-hak 
sipil kewargenaraan korban kekerasan tsb dipulihkan sebagaimana mestinya. 

Pernyataan maaf-maaf tsb tidak berbeda jauh dengan pernyataan terhadap 
Pancasila. Menjelang  hari peringatan Pancasila dan pada hari peringatannya, 
teristimewa kaum berkuasa dari pucuk kekuasaan tertinggi sampai ke anak buahnya 
di atas lantai bersama kaum elit negara berejeki mujur,  ramai dan gemuruh 
mereka bicarakan pancasila, bahwa alangkah baik, hebat  dan berguna pancasila 
untuk kesejahateraan, kemajuan dalam mempertinggi mutu kehidupan masyarakat 
berpacansila. Tetapi sehari atau dua setelah peringatan hari Pancasila, kaum 
pancasilaists hari perayaan ini yang mengagung-agungkan  Pancasila, mereka 
menjadi pelupa atau tidak tahu, karena penguasa koruptor, penguasa penipu 
rakyat tetap saja melakukan kebiasaan sehari-hari seperti semula, yaitu sebelum 
hari peringatan pancasila. 

Begitukah hakekat lidah tidak bertulang?


http://www.suarapembaruan.com/home/yudi-latif-pancasila-kunci-indonesia-untuk-maju/7419


Peringatan Hari Lahir Pancasila
Yudi Latif: Pancasila Kunci Indonesia untuk Maju
Rabu, 1 Juni 2011 | 8:09

 Pengamat politik, Yudi Latif 



[JAKARTA] Bangsa Indonesia kini sedang sakit kronis dan menghadapi krisis multi 
dimensional. Tak seorang pun bisa mengobatinya, termasuk oleh pemerintahnya. 
Selain itu, Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan diri dan tidak tahu 
apa yang harus dilakukan oleh para pemimpinnya.

Demikian dipaparkan Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraaan (PSIK) Yudi Latif 
dalam pidato politiknya berjudul "Pancasila Rumah Bersama" dalam rangka 
memperingati Hari Kelahiran Pancasila dan Tribute to Franky Sahilatua di Taman 
Isamil Marzuki Jakarta, Selasa (31/5) malam. 

"Ada sebuah cerita di mana ada seorang seorang pasien yang tidak ada satu 
dokter pun bisa mendeteksi penyakitnya. Seseorang yang sakit kronis, tapi tak 
kunjung bisa disembuhkan, hingga si pasien mengatakan kepada dokternya untuk 
dibawa pulang ke rumahnya. Ketika di rumahnya, pasien yang sudah lama dirawat 
tersebut tiba-tiba sembuh. Itulah yang sekarang dikenal dengan nostalgia, atau 
bahasa sederhananya sakit karena ingin pulang ke rumah. Selain itu, ada satu 
Peribahasa bugis yang mengatakan jika negeri kau kacau balau, bolehlah engkau 
pulang ke rumah sejatimu sendiri," paparnya memberi analogi. 

Saat ini, Indonesia sedang gelisah, mengalami krisis kepercayaan diri, dan 
tidak tahu apa yang harus dilakukan. 

"Beberapa kali Pemilu sudah dilakukan, bermiliar uang dihamburkan, rezim demi 
rezim berganti, partai demi partai silih bertumbuh, tetapi tidak ada kejelasan. 
Hal ini disebabkan karena inkosistensi, pengkhianatan, dan ketidakjelasan sikap 
dari para pemimpin bangsa. Sudah saatnya bangsa ini kembali ke rumah sendiri, 
yakni Pancasila. Selain unsur-unsur untuk mempersatukan bangsa Indonesia, 
butir-butir pancasila merupakan kunci Indonesia maju yang akan menuntun bangsa 
ini melangkah," paparnya. 

Persatukan Bangsa
Lebih lanjut Yudi menuturkan, Pancasila mampu mempersatukan bangsa Indonesia 
yang   terdiri dari banyak bangsa ini ke dalam sebuah satu bangsa. 
Elemen-elemen bangsa seperti Jawa, Tiongkok, Sunda, dan lainnya diturunkan 
menjadi suku bangsa. 

"Indonesia menjadi satu rumah besar yang ditopang oleh berbagai suku atau kaki 
yang banyak, dan seluruh kaki-kaki ini dipersatukan dengan satu bintang kejora 
yang menuntun bangsa ke depan," kata salah sPengamat Politik dari Universitas 
Paramadina itu.

Dalam Pancasila terdapat karakter-karakter yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. 
Pertama, Indonesia adalah bangsa yang religius. Apapun agama dan Tuhannya, 
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Untuk menjadi bangsa 
yang besar, harus memiliki dasar religius yang kuat. Peradaban-peradaban yang 
dapat bertahan dimuka bumi, adalah peradaban yang memiliki fondasi religius.

Kedua, karakter bangsa ini adalah menjadi bagian dari kemanusiaan universal. Ia 
menjelaskan, elemen-elemen lokal yang ada di Indonesia selalu punya kaitan 
dengan tradisi-tradisi besar dunia. Menurutnya Bangsa ini akan kuat, bila 
memiliki satu wawasan kemanusiaan.

"Tanjidor di Betawi misalnya. Dalam alat musik tersebut, terdapat unsur Eropa, 
Tiongkok, Arab. Bila dilihat secara satu persatu tidak ada budaya Betawi, namun 
ketika menjadi Tanjidor disebut budaya Betawi," katanya.

Ketiga, lanjut penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan 
Aktualitas Pancasila ini, walaupun Indonesia mempunyai keragaman, namun dalam 
setiap keragaman tersebut terdapat tenunan dan jalinan yang saling 
mempertemukan satu dengan yang lainnya. Ia mencontohkan dengan masakan soto. Di 
setiap daerah ada soto. Soto Madura, Banjar, Bandung, Betawi, atau Coto 
Makassar, yang mempunyai khas rasa lokal,  namun tetap soto. 

"Kita boleh berbeda. Ada elemen-elemen lokal, tetapi selalu ada benang merah 
yang menyatukan kita. Seperti itulah filosofi dari Bhineka Tunggal Ika. 
Filosofi ini tidak muncul begitu saja, namun melalui proses yang panjang 
melalui pertemuan, peririsan, pembauran, dan lainnya dari setiap elemen lokal 
melalui perdagangan, kekuasaan kerajaan, dan penyebaran agama," urainya

Keempat, di seluruh Nusantara, bangsa ini memiliki tradisi musyawarah di 
tingkat desa. Walaupun tradisi pemilihan tidak dikenal, namun bukan berarti 
tidak ada prinsip-prinsip demokrasi. Di beberapa daerah, terdapat tanah milik 
desa, yang dalam penggunaannya harus melalui proses musyawarah. Musyawarah desa 
ini menjadi jantung demokrasi kita. Dalam musyawarah desa tersebut, 
pembelajaran bagaimana kepentingan ekonomi tidak bisa dilakukan tanpa 
partisipasi politik, dan begitu pula sebaliknya.

"Emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi dan politik. Demokrasi politik 
tanpa demokrasi ekonomi tidak akan bertahan lama," ujarnya. 

Empat unsur tersebut pada akhirnya kembali dipersatukan dengan cita-cita dan 
impian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "Dan 
akhirnya, di manapun kita berada, baik di Papua, Sumatera, atau lainnya, kita 
dipersatukan dengan impian masyarakat yang adil makmur, tentram raharja," 
katanya.

Yudi Latif kemudian mengutip dari Bung Karno yang mengatakan, unsur-unsur yang 
telah dijabarkan tersebut adalah yang menyatukan Bangsa Indonesia, sekaligus 
yang memandu dan menentukan arah bangsa. Pilar-pilar Pancasila itulah yang 
kemudian membentuk keindonesiaan, dan bila satu pilar dihilangkan, maka 
bangunan "rumah" bangsa Indonesia terguncang. 

Direktur Eksekutif Reform Institute tersebut melanjutkan, "rumah" Indonesia 
dibangun dengan jenius oleh para pendiri bangsa. Namun, seringkali diremehkan 
oleh bangsa sendiri. Menurutnya bangsa ini mengidap inferior kompleks yang luar 
biasa. Terkadang masyarakat sering menempatkan para pendiri bangsa kita satu 
tingkat di bawah pemikiran-pemikiran negara lain. Ia kemudian membandingkan 
dengan Amerika Serikat. Ketika didirikan AS merupakan negara yang  homogen 
untuk segala ukuran, sehingga tidak sulit mengelolanya.

"Hanya ada orang white anglo-saxon protestan. Berkulit putih, etnisnya 
anglosaxon, dan beragama protestan dan politik negara itu (Amerika) maskulin, 
karena politik berarti jantan. Politik berarti laki-laki. Belum ada kesetaraan 
gender," paparnya.

Yudi melanjutkan, ketika Republik Indonesia berdiri dan "rumah" keindonesiaan 
dirancang, para perancangnya sangat beragam. Dari segi etnik misalnya, tidak 
hanya etnik-etnik seperti Minang, Jawa, Sunda, tapi juga dari etnik penting 
lainnya di Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Manado. Selain itu, ada 
empat orang Tionghoa, satu orang keturunan Arab, dan Indo-Belanda. 

Dari sisi keagamaan, selain ada Islam, Hindu, Kristen, ada juga ada perwakilan 
dari penghayat kepercayaan. Selanjutnya, sejak awal negara ini dirancang, dalam 
BPUPKI sudah terdapat keterwakilan perempuan. Sedangkan Amerika memerlukan 
waktu 200 tahun bagi perempuan mempunyai hak pilih. Selain itu, ketika negara 
Indonesia berdiri sudah ada berbagai negara, Negara Mataram, Bone, Aceh, dan 
lain-lain sebelumnya. 

"Singkat kata, keragaman yang ada di muka bumi ini sudah bisa kita selesaikan 
ketika republik ini didirikan. Seluruh gagasan, ideal, dan cita-cita tersebut 
dituangkan ke dalam empat pikiran pokok dalam pembukaan UUD 1945," tutupnya. 
[FFS/A-21]

Berita Terkait

  a.. Pancasila Harus Dimaknai 

  b.. Jadikan Pancasila sebagai Fundamen Pendidikan di Era Globalisasi 

  c.. Pancasila Tidak Terimplementasi dalam Batang Tubuh UUD 

  d.. Peringatan Pancasila Langkah Baik untuk Rekonsiliasi Nasional 

  e.. Akhirnya Megawati 'Akui' SBY sebagai Presiden 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke