http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/10/Editor/edit01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------

Persoalan Mendasar Pendidikan Tinggi
Oleh Ahmad Ali Afandi 

Setiap tahun lebih dari 300.000 lulusan SMA dan sekolah yang sederajat 
mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB), dan pada tahun 2007 ini 
tersedia 96.066 kursi yang diperebutkan. Selain itu, ribuan orang masuk PTS 
lewat tes tersendiri. Kini tercatat sekitar 2.600 perguruan tinggi (PT) 
termasuk 100 PTN, menawarkan sekitar 13.894 program studi. 

Setiap tahun PT meluluskan sekitar 500.000 orang. Umumnya mereka berharap 
mendapatkan gelar akademik untuk mengubah nasib agar mendapat pekerjaan yang 
layak. Dalam hal ini, PT selalu diperhadapkan dengan tuntutan atau pilihan 
orientasi pendidikan yang seringkali bertentangan, yaitu antara pemenuhan 
tuntutan pragmatik dari dunia kerja, dan pemenuhan tuntutan pendidikan umum, 
yakni terbentuknya warga negara yang baik. 

Pendidikan tinggi seharusnya didesain untuk menghasilkan lulusan yang mampu 
berpikir kritis, terbebas dari dogma, namun terbina oleh nilai-nilai 
kemanusiaan. Jadi ada dua kata kunci dalam pendidikan tinggi, yakni pikiran 
kritis dan kemanusiaan. Dua hal ini memang tidak akan memuaskan dunia kerja 
yang selalu lantang menuntut profesionalisme atau spesialisasi ter- tentu. 
Dengan demikian, yang ideal adalah lahirnya para sarjana yang memiliki 
spesialisasi ter- tentu, mampu berpikir kritis, dan menghormati nilai-nilai 
kemanusiaan. 

Kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan ini semakin kuat tatkala kita melihat 
dampak globalisasi dan upaya internasionalisasi PT. Yang paling dicemaskan oleh 
para orang tua dan pendidik pada umumnya adalah tergerusnya budaya nasional dan 
kearifan lokal, padahal pendidikan diharapkan mampu mempertahankan dan 
mewariskan nilai-nilai budaya nasional. Mereka was-was internasionalisasi 
pendidikan malah berdampak negatif, yakni mengikis nilai-nilai budaya nasional 
itu. 


Tujuh Persoalan 

Penelitian yang dilakukan oleh The Carnagie Foundation for the Advancement of 
Teaching (1987) ihwal pendidikan tinggi menemukan tujuh persoalan mendasar 
dalam pendidikan tinggi di Amerika. Menurut penulis, ketujuh persoalan itu 
berlaku universal dan layak diperhatikan dalam mengelola pendidikan tinggi di 
Indonesia. 

Pertama, diskontinuitas antara dunia SMA dan PT yang cenderung asyik dengan 
dunianya sendiri. Berbeda dengan kontinuitas kurikulum SD, SMP, dan SMA, 
kontinuitas kurikulum SMA dan PT agak terputus. Hal ini terkait dengan berbagai 
hal seperti registrasi, tes seleksi masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan 
kuliah, dan kesiapan belajar. Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa 
dan belum banyak diantisipasi oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, muncul 
kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen PT. Pada umumnya (calon) 
mahasiswa kurang menguasai strategi atau keterampilan belajar seperti membaca 
kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan komputer yang merupakan 
kunci sukses belajar di PT. Pada umumnya PT tidak menyediakan program remedial 
untuk mahasiswa baru. 

Kedua, tidak jelasnya tujuan atau misi PT. Bila yang dikejar PT adalah 
kebutuhan pasar dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, misi suci PT bisa jadi 
terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik. PT menawarkan petak-petak 
disiplin keilmuan (program studi) yang terputus satu sama lain. Dalam 
kenyataannya, pendekatan petak-petak ini tidak relevan dengan kehidupan. Dalam 
kehidupan sosial petak-petak itu lebur sehingga yang sangat berperan dan 
menentukan kualitas hidup adalah life skill secara keseluruhan. 

Oleh karena itu, muncul dikotomi careerism dan liberal arts, yakni antara dunia 
kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan berbudaya secara umum. 
Bisa jadi program studi malah menjadi penjara bagi mahasiswa, yakni 
menjadikannya manusia robot dengan keterampilan sempit tanpa kecakapan hidup. 
Tanpa life skill, kepakaran vokasional atau hard skill menjadi tidak bermakna. 
Tantangannya adalah bagaimana memadukan liberal arts dalam kurikulum program 
studi, kurikulum fakultas, atau kurikulum universitas secara proporsional. 

Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara kewajiban mengajar dan kewajiban 
meneliti. Tugas utama dosen adalah mengajar mahasiswa S-1 dengan efektif dan 
melayani mahasiswa dengan baik. Dalam pada itu, dosen juga harus meneliti dan 
mempublikasikan penelitiannya dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media massa. 
Persoalannya bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Banyak juga dosen 
yang mendapat jabatan struktural. Jadi mereka harus belajar menjadi manajer 
yang baik. Biasanya sulit bagi seorang dosen untuk sukses (sama baiknya) 
sekaligus dalam ketiga bidang ini. 

Keempat, sulitnya menumbuhkan kreativitas di kalangan mahasiswa. Kultur 
akademik di SMA, yaitu sikap pasif dan menunggu masih terbawa ke bangku kuliah 
sehingga sulit bagi dosen untuk menumbuhkan kreativitas. Mahasiswa serius 
mempelajari suatu topik manakala diberi tahu bahwa topik itu akan diujikan. 
Sistem kerja semalam dalam mengerjakan tugas perkuliahan adalah strategi 
belajar yang salah. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan 
interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil sehingga 
setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara cerdas. Di 
situlah tradisi ditantang, kejumudan dihalau, gagasan diuji, kepercayaan 
diperdebatkan secara ilmiah, dan kreativitas ditumbuhkan. 

Kelima, sulitnya menciptakan PT sebagai laboratorium kehidupan. Yang marak 
malah PT sebagai menara gading. Banyak orang tua yang masih melihat 
ke(pasca)sarjanaan sebagai simbol status sosial. Buktinya, banyak orang yang 
sudah memiliki status terhormat pun, seperti kiai, jenderal, atau birokrat, 
tertarik membeli gelar akademik. Ia mengisolasi diri sehingga apa yang terjadi 
di ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Persoalannya, 
bagaimana agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi PT. 

Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus dan 
kewenangan lembaga. Juga bagaimana agar PT memberikan kesempatan munculnya 
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di kampus. Dalam konteks globalisasi sekarang 
ini, bagaimana PT menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam kompetisi 
global. 

Keenam, ihwal tata kelola PT. Secara internal para dosen lazimnya lebih setia 
kepada disiplin keilmuan, yaitu pada tingkat program studi daripada kepada PT 
tempat mereka mengajar. Tidak heran banyak dosen pintar menjadi kutu buku, 
tetapi tidak mengetahui atau tidak hirau ihwal visi dan misi PT. Mahasiswa pun 
seringkali menuntut secara berlebihan, seperti menuntut hak memberikan suara 
dalam pemilihan rektor, dekan, atau ketua jurusan. Hal yang disebut terakhir 
ini agak keterlaluan karena demokrasi politik praktis di luar kampus 
dicobaterapkan dalam manajemen PT. 

Secara eksternal PT dituntut untuk lebih terbuka dan akuntabel kepada publik. 
Selama ini PT khususnya PTN mendapat subsidi besar dari pemerintah. Ketika 
pemerintah menyadari terbatasnya dana ini, PT dipaksa untuk belajar mencari 
dana sendiri. Budaya korporat demikian itu adalah sesuatu yang baru dalam 
sistem pendidikan kita. Kehadiran lembaga baru seperti Majelis Wali Amanah, 
Senat Akademik, Satuan Penjaminan Mutu, Dewan Audit, dan Satuan Audit Internal 
masih dirasakan sebagai uji coba dalam manajemen kampus. Tujuh PTN, yaitu ITB, 
UI, UGM, IPB, USU, UPI, dan Unair sudah berubah status menjadi PT BHMN, dan 
sesuai dengan kebijakan Depdiknas semua PTN disarankan mengikutinya. 

Ketujuh, ihwal evaluasi hasil pendidikan. Prestasi akademik mahasiswa sangat 
bergantung kepada dosen per mata kuliah. Nilai akhir atau IPK (indeks prestasi 
kumulatif) dalam rentang 1,00-4,00 adalah ukuran keterdidikan manusia. Bila 
pendidikan dimaknai sebagai upaya membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, 
persoalannya: Bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks 
disederhanakan dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah 
penilai yang baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK mahasiswa perlu dikembangkan 
berbagai format penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi 
juga potensi non intelektual, seperti diniati oleh perkuliahan pengetahuan 
budaya. 

Ketujuh persoalan di atas merupakan persoalan yang selalu ada dan mesti 
dihadapi secara strategis oleh setiap PT. Namun, urgensi dan kekritisan ketujuh 
problem itu berbeda dari satu PT ke PT lainnya. Bahkan dalam satu PT pun 
senantiasa terjadi perbedaan antara fakultas dan bahkan antara program studi. 
Oleh karena itu, PT harus selalu mawas diri, lewat mekanisme evaluasi diri, 
terhadap keunggulan dan kelemahan komparatif dari setiap program studi, 
fakultas, lembaga, dan PT secara kolektif. Tanpa mekanisme ini, PT tidak 
mungkin dapat menyusun rencana strategis secara berkelanjutan. 


Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, tinggal diYogyakarta 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 9/7/07 

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke