http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77732:raja-jawa-menggugat-dan-digugat&catid=78:umum&Itemid=131

        
      Raja Jawa Menggugat dan Digugat
      Oleh : Bersihar Lubis

       
      Suatu hari di bulan September 2008 lalu, saya ingat lagi penampilan Sri 
Sultan Hamengku Buwono X dalam suatu acara talk show di SCTV.

      "Jika saya membuka festival kebudayaan di Papua atau Sumatera, tak 
mungkin saya memalu gong Jawa," kata Sri Sultan ketika ditanya pengamat politik 
Rocky Gerung dan pakar sejarah Anhar Gonggong. Jawaban itu diucapkan seorang 
Raja Jawa, yang terwaris turun temurun dari ayah dan kakek buyutnya, penguasa 
Mataram nan menyejarah.

      Sultan pun lebih memilih "Sumpah Pemuda", satu bangsa, satu Tanah Air dan 
satu bahasa, ketimbang Sumpah Palapa. Jika yang pertama bersemangat 
kebhinneka-tunggalikaan, yang terakhir adalah sentralisme Gajah Mada yang 
menghegemoni Nusantara. Bahkan menurut Sultan, suatu fenomena "Jawanisasi" ala 
rezim Orde Baru.

      Untunglah ucapan itu datang dari seorang "Raja Jawa." Jika ucapan itu 
keluar dari Gerung dan Gonggong, yang bukan seorang Jawa, wah, apa kata dunia? 
Mungkin, akan meletus geger antro-politik. Apalagi jika dilontarkan oleh 
seorang M. Jusuf Kalla, yang berasal dari Makassar, atau Akbar Tandjung, 
seorang Batak Pesisir dari Sibolga.

      Kala itu, terlepas dari deklarasi politik Sri Sultan yang kala itu siap 
dicalonkan menjadi calon presiden pada 2009, kita semakin yakin bahwa 
nasionalisme 1908, 1928 dan 1945, tak lagi diragukan. Menjadi orang Indonesia 
tidak menghapus historis bahwa Sultan adalah orang Jawa. Dalam frame 
Mangunwijaya, Sultan telah menjadi mahluk pasca-Jawa. Ibarat seorang penyandang 
S-3 tetap saja berhak memakai gelar S-2 dan S-1.

      Mindset yang tersemat di benak Sultan, mengingatkan kita kepada 
perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang "nasionalis" dan Soetatmo Soerjokoesoemo 
yang membela kepriyayian pada saat persidangan Volksraad (DPR di zaman 
kolonial) pada 1918 silam. Berlanjut lagi di Kongres Pengembangan Kebudayaan 
Jawa di tahun yang sama.

      Takashi Sirashi dengan bagus melukiskan perdebatan itu dalam bukunya 
"Satria versus Pandita": Sebuah Debat dalam Mencari Identitas, dalam Akira 
Nagazumi (ed), Indonesia dalam Kaitan Sarjana Jepang" Perubahan Sosial Ekonomi 
abad 19 & 20 dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, 
1986).

      Tjipto alergi melihat hak-hak istimewa kaum priyayi yang dipayungi 
pemerintah kolonial Belanda, meski maksudnya untuk perpanjangan tangan sang 
penjajah. Bedanya, jika Tjipto dikucilkan oleh kalangan intelektual Jawa maupun 
priyayi Jawa, Sultan malah dekat dengan rakyatnya, baik kalangan kampus maupun 
masyarakat tradisional Jawa.

      Keberbedaan Tjipto dan Sultan dimungkinkan oleh proses yang nyaris seabad 
lebih. Sultan tidak sendirian dalam melihat kelemahan "Jawanisasi." Tak sedikit 
intelektual dan budayawan Jawa yang memilih nasionalisme ke-Hindia-Belandaan 
yang belakangan bernama Indonesia ketimbang nasionalisme Kejawaan. Jika Tjipto 
menghendaki "keindonesiaan", Soetatmo cenderung mempertahankan "kejawaan."

      Padahal, hakekat kebudayaan selalu mengalir. Evolusi, akulturasi dan 
degradasi dimungkinkan oleh pergaulan internasional. Indonesia juga dipengaruhi 
dan diubah oleh datangnya Hindu, Islam, Kristen, kolonialisme Belanda dan 
fasisme Jepang hingga ke era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan masa 
reformasi.

      Sistem pemerintahan kita pun tak dipungkiri didominasi demokrasi yang 
datang dari luar. Contoh teranyar adalah demokrasi one man one vote, yang tak 
dikenal dalam sistem masa silam yang feodalis dan monarkis. Lepas dari 
baik-buruknya, era globalisasi telah mengubah Indonesia.

      Kelebihan Sultan ia berani blak-blakan menyempal dari kultur Jawa yang 
introvert dan lazimnya menyukai bahasa simbol yang implisit. Penampilan Sultan 
ketika ia mendeklarasikan dirinya siap menjadi Calon Presiden, terkesan 
ekstrovert layaknya seorang Batak atau Bugis. Rada mirip dengan Amien Rais, 
mantan Ketua MPR yang pernah dijuluki seorang "Baso" alias Batak-Solo itu.

      "Saya siap kalah," kata Sultan. Toh, jabatan presiden bukanlah demi 
semata kekuasaan. Melainkan demi rakyat. Sekiranya ia menjadi presiden, ia 
minta rakyat, apalagi yang beretnik Jawa, jangan marah jika "raja"-nya 
dikritik. Sultan atau presiden, adalah insan biasa. Bukan dewa. Sayang, kala 
itu, Sri Sultan belum berpeluang menjadi Calon Presiden. 

      Kisah lebih dua tahun silam itu kita ingat lagi ketika Presiden Yudhoyono 
alias SBY melontarkan wacana pemilihan Gubernur DIY yang demokratis, dipilih 
rakyat dalam Pilkkada seperti halnya di seluruh daerah di Indonesia, dan tak 
lagi melalui penetapan yang otomatis mengangkat Sri Sultan. Namun kritik dan 
"perlawanan" terdengar dari berbagai penjuru. Tak terkecuali dari para pakar, 
dengan seluruh argumentasinya.

      Polemik sah saja, akan tetapi sebuah bangsa selalu bergerak ke depan, 
walaupun tetap menoleh ke masa silam. Menoleh ke masa lalu bukan berarti 
melestarikannya, tetapi mencuplik substansi dan nilainya yang tak lekang oleh 
zaman. Dalam hal ini betapa Sri Sultan HB IX adalah seorang republik yang 
sangat nasionalis. Dia sediakan Yogyakarta sebagai ibukota republik ketika 
wilayah Indonesia hanya tinggal "sepayung" dan selebihnya dikuasai oleh 
Kolonial Belanda.

      Apakah nilai yang kita kagumi itu akan hilang jika sekiranya Gubernur DIY 
dipilih secara demokratis, dan tak lagi ditetapkan seperti selama ini? Tidak! 
Sejarah masa lalu tak bisa diubah, seperti halnya Indonesia pernah menganut 
system parlementer dan bentuk Negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Yang 
bisa diubah adalah masa depan, sebagaimana bangsa ini sudah berkali-kali 
mengandemen berbagai pasal dalam UUD 1945.

      Semua daerah mempunyai masa lampau, termasuk pernah menjadi kerajaan, 
seperti Kesultanan Deli di Medan, Sultan Siak di Riau, juga di Aceh yang 
terkenal di masa Sultan Iskandar Muda. Juga di Kalimantan, Bali, Sulawesi, 
Ternate dan sebagainya. Namun semua daerah itu yang pernah terhimpun dalam RIS 
merelakan "masa silamnya" ketika pilihan kepada NKRI makin menghunjam, termasuk 
kembali ke UUD 1945 pada 1959 lalu.

      Apakah keistimewaan DIY tetap dipertahankan? Saya kira ya. Mungkin pada 
sistem kepemilikan tanah, dan kebudayaannya. Seperti halnya keistimewaan 
Naggroe Aceh Darussalam dengan syariat Islam, Jakarta sebagbai ibukota sehingga 
sejumlah walikotanya tidak dipilih, melainkan diangkat.

      Bayangkanlah, aspirasi, inspirasi dan ekspresi politik dan kebudayaan 
anak-anak muda di masa depan, rasanya akan semakin demokratis dan elegan dalam 
suatu masyarakat yang semakin terbuka. 

      Sesungguhnya, resultante dari polemik DIY mestilah kita teruntukkan bagi 
masyarakat di masa depan. Bukan untuk kita yang mungkin masih digelayuti masa 
silam dan rada rikuh melepaskannya. ***
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke