"A.Supardi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:        
            
http://analisakebudayaan.blogspot.com/2005/11/konpirasi-jahat-soeharto-cia-dan-mafia.html
  Saturday, November 12, 2005  Konpirasi Jahat Soeharto, CIA, dan Mafia UI 
Dalam Menghabisi Bung Karno   Terjerat Kekuatan Barat

Keterlibatan AS dalam kupdeta militer yang merangkap di tahun 1965 di Indonesia 
sudah banyak ditulis. Bung Karno (BK) yang mempunyai visi jauh kedepan sudah 
menetapkan bahwa Indonesia adalah non blok, mandiri (berdikari), dan tidak mau 
tergantung pada utang luar negeri (“Go to hell with your aids!”). Sayang 
sekali, Soeharto dkk. melakukan konspirasi dengan USA (via CIA) menusuk 
bangsanya sendiri. Negara-negara sahabat Bung Karno, sperti RRC dan India, yang 
mempunyai prinsip serupa dengan BK dan tidak mempunyai pengkianat negara 
semacam Soeharto Cs., saat ini sudah menjadi bangsa yang sehat, normal, bahkan 
adidaya! Presiden SBY baru-baru ini terpaksa mengulangi langkah BK lagi dengan 
mengunjungi RRC dan India.

Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film dokumenternya, 
dengan judul The New Rulers of the World, antara lain, dikatakan: “Dalam dunia 
ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan 
utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan 
puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan 
puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar”.

Ini terkenal dengan istilah nation building dan good governance oleh "empat 
serangkai" yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, 
Canada, dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan Departemen 
Keuangan AS). Mereka mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan 
pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang 
yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar USD 100 juta 
per hari kepada para kreditor Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia yang 
elitenya -dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar orang- menguasai 80 
persen kekayaan seluruh umat manusia."

Itu ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan Australia yang bermukim di 
London, yang tidak saya kenal. Antara John Pilger dan saya, tidak pernah ada 
komunikasi. Namun, ada beberapa kata yang saya rasakan berlaku untuk bangsa 
Indonesia dan yang relevan dengan yang baru saya kemukakan. Kalimat John Pilger 
itu begini: "Their power derives largely from an unrepayable debt that forces 
the poorest countres..." dan seterusnya. Dalam hal Indonesia, keuangan negara 
sudah bangkrut pada 1967. Paling tidak, demikianlah yang digambarkan oleh para 
teknokrat ekonom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang 
tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka, dalam buku John Pilger 
tersebut, antara lain, juga dikemukakan sebagai berikut:

(Saya kutip halaman 37) "Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 
’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation 
mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang 
pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling 
berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa 
korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General 
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American 
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper 
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang 
oleh Rockefeller disebut "ekonoom-ekonoom Indonesia yang top".

"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ’the Berkeley Mafia’ 
(kebanyakan dosen UI), karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa 
dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di 
Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang 
diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual 
dari negara dan bangsanya, mereka menawarkan : … buruh murah yang melimpah… 
cadangan besar dari sumber daya alam … pasar yang besar." Di halaman 39 
ditulis: "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. 
’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry Winters, guru besar 
pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang 
bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari dokumen-dokumen 
konferensi. ’Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, 
jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan 
di
 kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah 
delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka 
dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini 
berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami 
inginkan: ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur 
hukum untuk berinvestasi di Indonesia.

Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal 
global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara 
berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam 
negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry 
Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua 
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. 
Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat 
hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah 
undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan 
kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. 
Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental 
Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, 
Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan 
Bank Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger yang 
tidak saya kenal.

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry Winters, sejak 1967 
Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elite 
bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.

Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang terorganisasi dengan 
sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pemberian utang terus-menerus sehingga 
utang luar negeri semakin lama semakin besar. Dengan sendirinya, beban 
pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya semakin lama semakin berat. Kita 
menjadi semakin tergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan inilah yang 
dijadikan leverage atau kekuatan untuk mendikte semua kebijakan pemerintah 
Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan, tetapi jauh lebih luas 
dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia diberikan secara sistematis, 
berkesinambungan, dan terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap yang keras 
serta persyaratan-persyaratan yang berat. Sebagai negara pemberi utang, mereka 
tidak sendiri-sendiri, tetapi menyatukan diri dalam organisasi yang disebut CGI.

Negara-negara yang sama sebagai pemberi penundaan pembayaran cicilan utang 
pokok dan bunganya yang jatuh tempo menyatukan diri dalam organisasi yang 
bernama Paris Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh semua kreditor yang 
memberikan pinjaman kepada swasta Indonesia supaya pemerintah menekan para 
kreditor swasta itu membayar tepat waktu dalam satu klub lagi yang bernama 
London Club. Secara kolektif, tanpa dapat dikenali negara per negara, utang 
diberikan oleh lembaga multilateral yang bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan 
Asia. Pengatur dan pemimpin kesemuanya itu adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu 
tidak ada bedanya dengan kartel internasional yang sudah berhasil membuat 
Indonesia sebagai pengutang yang terseok-seok.

Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari ini. Dalam krisis di tahun 1997, 
Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya untuk memperoleh bantuan. 
Ternyata, ada aturan ketat untuk bantuan itu. Bantuan uang tidak ada, hanya 
dapat dipakai dengan persyaratan yang dibuat demikian rupa, sehingga praktis 
tidak akan pernah terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF sebagai show 
case, IMF mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, yang dengan segala 
senang hati dipenuhi oleh para menteri ekonomi Indonesia, karena mereka 
orang-orang pilihan yang dijadikan kroni dan kompradornya.

Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah dipaksa menerbitan surat utang dalam 
jumlah Rp 430 triliun untuk mem-bail out para pemilik bank yang menggelapkan 
uang masyarakat yang dipercayakan pada bank-bank mereka. Mereka tidak dihukum, 
sebaliknya justru dibuatkan perjanjian perdata bernama MSAA yang harus dapat 
meniadakan pelanggaran pidana menurut undang-undang perbankan. Dalam perjanjian 
perdata itu, asalkan penggelap uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu 
dapat mengembalikan dalam bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen, dianggap 
masalahnya sudah selesai, diberikan release and discharge.

Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999 sampai dengan tahun 2003, pembayaran 
utang luar negeri yang sudah jatuh tempo ditunda. Namun, mulai tahun 2004, 
utang yang jatuh tempo beserta bunganya harus dibayar sepenuhnya. 
Pertimbangannya tidak karena keuangan negara sudah lebih kuat, tetapi karena 
sudah tidak lagi menjalankan program IMF dalam bentuk yang paling keras dan 
ketat, yaitu EFF atau LoI.

Setelah keuangan negara dibuat bangkrut, Indonesia diberi pinjaman yang tidak 
boleh dipakai sebelum cadangan devisanya sendiri habis total. Pinjaman 
diberikan setiap pemerintah menyelesaikan program yang didiktekan oleh IMF 
dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau setiap pelaksanaan LoI dinilai baik, pinjaman 
sebesar rata-rata USD 400 juta diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah 
USD 9 miliar, tiga kali lipat melampaui kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. 
Karena saldo pinjaman dari IMF melampaui kuota, Indonesia dikenai program 
pemandoran yang dinamakan Post Program Monitoring.

Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja yang USD 6 miliar supaya saldo 
menjadi USD 3 miliar sesuai kuota agar terlepas dari post program monitoring. 
Berkali-kali saya mengusulkan dalam sidang kabinet agar seluruh saldo utang 
sebesar USD 9 miliar dikembalikan. Alasannya, kita harus membayar, sedangkan 
uang ini tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa milik sendiri habis total. 
Cadangan devisa kita ketika itu sudah mencapai USD 25 miliar, sedangkan selama 
Orde Baru hanya sekitar USD 14 miliar. Yang USD 9 miliar itu harus dicicil 
sesuai jadwal yang ditentukan oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa 
sehingga pada akhir 2007 saldonya tinggal USD 3 miliar. Ketika itulah, baru 
program pemandoran dilepas. Alasannya kalau yang USD 9 miliar dibayarkan 
sekarang, cadangan devisa kita akan merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 
miliar. Saya mengatakan, kalau yang USD 9 miliar dibayarkan, cadangan devisa 
kita meningkat dari USD 14 miliar menjadi USD 25 miliar. Toh pendapat saya 
dianggap
 angin lalu sampai hari ini.

Mari sekarang kita bayangkan, seandainya cadangan devisa kita habis pada akhir 
2007. Ketika itu, utang dari IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota. Barulah 
ketika itu utang dari IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit dianggap bahwa 
ini lebih kredibel, yaitu mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal USD 3 
miliar yang berasal dari utang IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar 
dibayar kembali karena sudah mempunyai cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 
miliar dikatakan bahwa Indonesia tidak akan kredibel karena cadangan devisa 
merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.

Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa untuk memegang utang dari IMF 
dengan pengenaan bunga yang tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa boleh 
dipakai. Jelas sekali bahwa Indonesia dipaksa berutang yang jumlahnya melampaui 
kuota yang sama sekali tidak kita butuhkan. Tujuannya hanya supaya Indonesia 
dikenai pemandoran yang bernama post program monitoring. Jelas ini hanya 
mungkin dengan dukungan dan kerja sama dari kroni-kroninya Kartel IMF.

Mengapa kami dan teman-teman yang sepikiran dan sepaham dikalahkan 
terus-menerus? Mengapa pikiran yang tidak masuk akal seabsurd itu 
dipertahankan? Sebab, para menteri ekonomi yang ada dalam kabinet dan otoritas 
moneter sedikit pun tidak menanggapinya. Memberikan komentar pun tidak mau. 
Mengapa? Sebab, perang modern yang menggunakan seluruh sektor ekonomi sebagai 
senjata, terutama sektor moneternya, membutuhkan kroni atau komprador bangsa 
Indonesia sendiri yang mutlak mengabdi pada kepentingan agresor.

Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Pilger, dan 
kita perhatikan serta ikuti terus sikap satu kelompok tertentu, kiranya jelas 
bahwa kelompok pakar ekonomi yang dijuluki "the Berkeley Mafia" adalah kelompok 
kroni dalam bidang ekonomi dan keuangan. Lahirnya kelompok tersebut telah 
dikemukakan dalam studi Brad Sampson yang tadi saya kutip. Pengamatan saya 
sendiri juga membenarkan bahwa kelompok itu menempatkan dan memfungsikan diri 
sebagai kroni kekuatan asing.

Yang paling akhir menjadi kontroversi adalah sikap beberapa menteri dalam 
Kabinet Indonesia Bersatu terhadap uluran tangan spontan dari beberapa kepala 
pemerintahan beberapa negara Eropa penting berkenaan dengan bencana tsunami. 
Baru kemarin media massa penuh dengan komentar minor mengapa tim ekonomi 
pemerintah utang lagi dalam jumlah besar sehingga jumlah stok utang luar negeri 
keseluruhannya bertambah? Ini sangat bertentangan dengan yang dikatakan selama 
kampanye presiden dan juga dikatakan oleh para menteri ekonomi sendiri bahwa 
stok utang akan dikurangi. Berdasar pengalaman, saya yakin bahwa kartel IMF 
yang memaksa kita berutang dalam jumlah besar supaya dapat membayar utang yang 
jatuh tempo. Buat mereka, yang terpenting memperoleh pendapatan bunga dan 
mengendalikan Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri yang sulit dibayar 
kembali.

Mafia Berkeley

Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka mempunyai atau 
menciptakan keturunan-keturunan. Para pendirinya memang sudah sepuh, yaitu Prof 
Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. 
Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan 
adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka 
tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai 
kepala biro.

Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa presidennya. 
Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, 
sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota penting dari KOTOE dan 
Widjojo Nitisastro sudah sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya 
menjabat sebagai ketua Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah itu, presiden 
berganti beberapa kali. Yang "kecolongan" tidak masuk ke dalam kabinet adalah 
ketika Gus Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak 
terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. 
Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.

Mereka berhasil mempengaruhi atau "memaksa" Gus Dur bahwa mereka diperbolehkan 
hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi, mereka 
berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang 
saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus 
ikut mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club 
pada 12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama 
sekali tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan 
porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal, kinerja tim 
ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.

Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati yang mengangkat Boediono sebagai 
menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir dan 
sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia, walaupun dia 
bukan anggotanya. Ada penjelasan tersendiri tentang hal ini. Presiden SBY sudah 
mengetahui semuanya. Toh tidak dapat menolak dimasukkannya ke dalam kabinet 
tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu, 
seperti yang telah disinaylir oleh beberapa media massa.

Peranan UI dalam Konspirasi Destruktip

Setelah dr. Mahar Marjono sukses mengemban tugas Soeharto dalam “mempersingkat” 
hidup Bung Karno (meninggal pada usia sekitar 66 th.), maka Mahar Marjono 
diangkat menjadi Rektor UI. Dengan ini, maka konspirasi tiga serangkai: 
USA-Militer-UI mulai terjadi. Untuk menguasai SDM top Indonesia, maka 
dibentuklah mafia Berkeley (yang sipil, yang notabene para oknum akademisi UI) 
dan mafia West Point (yang militer, yang notabene para oknum petinggi TNI 
AD/Polisi). Sejarah dan pendidikan Indonesia mengalami kegelapan disaat Rektor 
UI dijabat oleh jendral TNI AD yaitu Nugroho Notosusanto. Hari lahir Pancasila 
diabaikan, sejarah nasional dijungkir balikan: nama2 jalan besar diseluruh kota 
besar di Indonesia harus memakai nama jendral AD (Yani, Tendean, dst), peran BK 
diminimalkan, peran militer di blow up, peran inteligensia/kecerdasan 
disempitkan, dan wawasan almamater (pembungkaman kampus) dilaksanakan. Para 
pelacur intelektual UI sungguh banyak, mereka ini telah ikut serta 
menenggelamkan
 Indonesia, sudah saatnya mereka mengalami hukuman sosial dengan membeberkan 
dosa-dosa terselubung mereka! Prof. Ismail Suni, Yusril, Jimmly Asidiqi, 
Miranda Gultom, Anwar Nasution, Nazarudin, dst., adalah termasuk para 
konspiran. Pada umumnya, mereka ditokohkan terlebih dahulu melalui televisi 
sebagai intelektual yang kritis (politik kambing putih); kemudian setelah 
beberapa bulan dan telah mempunyai reputasi nasional, maka mereka 
diselundupkan/disusupkan dan diangkat menjadi pejabat penting regim ORBA (dan 
bablasannya) dalam pemerintahan (eselon 1, 2, atau menteri). Konspirasi 
destruktip USA-Militer-UI yang berhasil menusuk Bung Karno dari belakang 
(kupdeta yang merangkak) menjadikan Indonesia hingga kini terjebak dalam 
berbagai krisis dan sulit kembali menjadi bangsa yang sehat sehat.

Dalam perkembangannya, Soeharto dan regim penerusnya tidak hanya menggunakan 
UI, melainkan juga memanfaatkan para pelacur intelektual dari: ITB, UGM dan 
IPB. Seperti diketahui, UI, ITB, IPB, dan UGM adalah institusi perguruan tinggi 
negeri (PTN) tertua dan terbesar di Indonesia. Jadi, mereka adalah pencetak 
para PNS (peg. Negeri sipil) terbanyak, tersenior dan terbesar di Indonesia, 
dan alumni mereka menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan; dari pegawai 
menengah (IIIA), eselon dua, eselon satu, dan menteri. Sayang sekali, 
masyarakat telah memahami adanya istilah korupsi berjamaah dan birokrasi 
keranjang sampah; ini ibarat mengatakan bahwa keempat PTN itu adalah produsen 
koruptor dan birokrat keranjang sampah terbesar didunia (ingat prestasi KKN 
kita selalu nomor satu atau tiga besar)! Melihat, memahami, dan mengalami 
sendiri berbagai krisis di Indonesia, sudah sepatutnya kalau kita tidak perlu 
mensyukuri kehadiran ITB, UI, UGM, dan IPB, mereka tidak membawa berkah dan 
rahmat ke
 masyarakat; atau justru sebaliknya, kita harus merasa prihatin atas moral 
hazard dan tingkat kecerdasan mereka, mereka yang dianggap kelompok terpandai 
di Indonesia ternyata tidak pernah bisa membawa Indonesia ke bangsa yang 
mandiri, sejahtera, adil, berwibawa, dan berkepribadian! Ternyata mereka, kalau 
diijinkan pembaca, boleh diibaratkan dan boleh disebut sekedar sampah 
masyarakat yang terhormat (sampah berdasi) dan sekedar alat politisi busuk atau 
alat negara asing dalam membodohi bangsanya sendiri!

Mari Mewaspadai Mass Media Terutama TV

Regim ORBA (dan bablasannya) menguasai hampir 75% mass media di Indonesia; maka 
mereka dengan mudah menyusupkan manusia2nya melalui politik “kambing putih”; 
dan sebaliknya melakukan character assasination/kambing hitam bagi musuh2 
politiknya! Seringkali mereka cukup memberi gaji tambahan bulanan bagi para 
kuli tinta, tanpa harus mendirikan mass media corporation, sungguh jeli dan 
licik! Dengan menguasai mass media, maka mereka dapat membentuk mind set (pola 
pikir) bangsa Indonesia sesuai kehendak mereka.

Kambing Putih adalah strategi memberikan gelar yang hebat agar didengar 
masyarakat dan untuk mendongkrak dan menjadikan level nasional, contoh politik 
kambing putih adalah:
- Prof. Sumitro (besan Soeharto): digelari Begawan Ekonomi, padahal anak2nya 
terlibat maha kejahatan (Prabowo: pembantaian Cina Mei 98, dan Sudrajat J. dan 
Hasyim: kasus BLBI, dst), jadi mestinya begawan Durna (karena suka menipu 
Pendawa, muridnya sendiri!). Dijaman beliau, ekonomi kita mulai dijajah Barat!
- Marie Muhammad: digelari Mister Clean, padahal saat beliaulah terjadi kasus 
BLBI, jadi semestinya Mister berlepotan saja!
- Zainudin MZ: digelari Dai Sejuta Umat, padahal dai politik untuk menggaet 
suara pemilih! Semestinya digelari dai sejuta dollar, atas upahnya menipu umat 
Islam melalui politisi agama!
- Tanri Abeng: digelari Manajer Satu Milyar, padahal dipakai untuk menghisap 
BUMN! Semestinya manajer sejuta kasus, atas upahnya membuat BUMN menjadi sapi 
perah politisi, petinggi militer dan polri!
- Prof. Yuwono Sudarsono: penjaga setia dominasi Militer atas Sipil dan dwi 
fungsi ABRI, maka ia diselundupkan ke LEMHANAS (alat intelektual militer) dan 
saat ini menjabat MENHAN. Bagaimana para petinggi militer tidak pakar dalam 
politik kalau pekerjaan utamanya beralih ke politik (sehingga tugas utamanya 
terbengkelai, apalagi juga pelaku bisnis ilegal) yang menghasilkan account di 
bank menjadi ukuran XL (puluhan milyar rupiah), yang semestinya ukuran S 
(small) mengingat gaji pegawai negeri itu rendah sekali. Sementara itu, sipil, 
yang digaji rendah sehingga sulit fokus pada bidangnya, yang berusaha menguasai 
perpolitikan dengan baik dan etis selalu mereka ganggu dan gagalkan upayanya 
untuk mendominasi kancah perpolitikan nasional!
- Prof. Nazarudin Syamsudin dkk.: diselundupkan ke KPU untuk menjaga PEMILU 
agar regim ORBA selalu menang atau minimal termasuk tiga besar.
- Saat menjelang reformasi: Sri Mulyani dan Anwar Nasution (dosen UI) di 
“roketkan”, seolah-olah mereka kritis terhadap regim ORBA, padahal mereka 
diselundupkan demi mengamankan sisa hari Tua regim Soeharto/ORBA dari jamahan 
hukum dibidang Keuangan dan demi dominasi asing!
- Puncak politik kambing putih dan strategi penyelundupan adalah Amien Rais! 
Beliau digelari tokoh/pelopor reformasi, padahal beliau diselundupkan untuk 
membelokan reformasi dan menyelamatkan regim ORBA! Untuk ini baca artikel di 
web site di seksi Pesan Penutup dibawah.
- Dst. (sampai dengan sekarang, politik kambing putih terus dilaksanakan)

Saat ini kedudukan politik regim ORBA dan Bablasannya amat sangat kuat, 
lihatlah posisi: Yusril (kesayangan Soeharto) menjadi Setneg (powerful sekali 
dalam memfilter informasi ke presiden SBY); Miranda Gultom (kepala BI) dan 
Anwar Nasution (ketua BPK): untuk melindungi ORBA dari segi keuangan atas kasus 
BLBI, dan kasus besar lainnya (terutama di BUMN), agar sulit terungkap, padahal 
mengungkap KKN itu mudah sekali, cukup mempelajari histori rekening para 
pejabat dan tersangka secara mendalam dan tuntas, nah disinilah faktor keamanan 
regim Soeharto terjamin oleh Miranda Gultom dan Anwar Nasution; Jimmly Asidiqi 
(ketua MK): untuk melindungi ORBA dari segi hukum, agar berbagai kasus 
pelanggaran HAM berat sulit terungkap; dan seterusnya …masih banyak sekali. 
Mereka ini, pelacur intelektual sekaligus akademisi selebritis dari UI, selalu 
dikonotasikan pandai dan bersih dalam mass media, padahal sebaliknya!

Saat reformasi (1998) papan tulisan di Kampus UI Salemba yang berjudul: KAMPUS 
PERJUANGAN ORDE BARU ditutup kain hitam, tanda malu dan berkabung; mungkin 
sekarang sudah dibuka lagi dan ditulis ulang sebagi: “KAMPUS PERJUANGAN ORDE 
BARU DAN BABLASANNYA, MENERIMA ORDER PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT WALAU 
UNTUK MERUSAK BANGSA SENDIRI.”

Sebaliknya, Kambing Hitam adalah strategi memberikan gelar yang sangat negatip 
agar mereka tidak laku dimasyarakat (character assasination); contoh politik 
kambing hitam adalah: di PKI kan, dikonotasikan radikal (Munir, Budiman 
Sujatmiko, Ditasari, dst), dikonotasikan agen asing (Hendradi dan NGO/LSM yang 
baik dan bermoral).

Menonton TV (dan mendengarkan radio) di Indonesia harus waspada; sebab banyak 
skenario dibelakangnya/terselubung; pada umumnya untuk membentuk opini yang pro 
Regim ORBA dan bablasannya. Semakin sering seorang 
cendekiawan/akademisi/pengamat muncul di TV, kita harus semakin waspada pada 
orang itu (alat Regim ORBA dan bablasannya dan moralitasnya perlu diragukan)! 
Sebaliknya, semakin jarang, semakin dapat dipercaya ke idealismeannya! Sebagai 
contoh: pernah terjadi dialog yang sangat menggelikan, WS Rendra tidak bisa 
dikontrol pembicaraannya oleh Salim Said (pengamat militer, alat ORBA) dan 
Anhar Gogong (pengamat sejarah, alat ORBA); WS Rendra terus nerocos membahas 
rusaknya kebudayaan kita akibat ORBA! Sejak saat itu, WS Rendra tidak pernah 
muncul lagi di dialog Televisi! Jangan harap kita disuguhi dialog yang sering 
dengan orang yang bermoral baik dan idealis seperti: Kwik Kian Gie, Mochtar 
Prabotinggi, Hendradi, Teten Masduki/tokoh ICW, Dita Sari, Wardah Hafidz/ketua 
UPC, Munir,
 Jeffry Winters, Budiman Sujatmiko, Faisal Basri, dst. Seandainya mereka 
muncul, slot waktunya paling hanya singkat dan amat jarang; mereka dimunculkan 
kadang2 saja hanya untuk sekedar mengelabui bahwa stasiun TV tsb. adalah 
netral, padahal tidak!

Pesan Penutup

Dengan keterlibatan USA dalam kupdeta 1965, semestinya para kurban PKI 
mempunyai alat jitu dengan membuat masalah ini menjadi masalah internasional 
dengan strategi tidak hanya menuntut regim militer Soehato, melainkan juga 
menuntut USA! Tentu saja dengan melibatkan NGO level internasional; sayang 
sekali nalar para kurban 1965 belum sampai kesitu! Dengan internasionalisasi 
masalah HAM berat, maka kans untuk membawa ybs. ke kebenaran dan keadilan akan 
mudah terlaksana! Karena visi/misi para konspirator/mafia 1965 (yang saat ini 
banyak yang sudah berusia diatas 60 th.) adalah: ”Jangan berani mengungkit masa 
lampau kami dan hormati kami s/d kami meninggal. Setelah kami meninggal 
silahkan buka borok2 kami dan luruskan sejarahmu. Kalau kami masih hidup, 
jangan sekali-kali kau berani melakukannya, atau negara ini akan kami obok2 
sampai manusianya mabok. Hanya dengan bunga uang kami (hasil curian/merampok) 
yang disimpan di luar negeri, kiranya sudah cukup untuk mengobok-obok Indonesia!
 Ketahuilah dengan samar2 bahwa TNI AD, Kepolisian, Badan Intelijen dan Lembaga 
Peradilan masih dalam cengkeraman kami. Selain itu, telah kami tempatkan 
penjaga setia kami yaitu para pakar/pelacur intelektual di posisi yang 
strategis!”. Memahami misi mereka, maka upaya membawa mereka ke justice, kalau 
hanya level dalam negeri, hanya akan sia2 saja! Demikian pula dengan kasus 
pelanggaran HAM dan KKN berat yang lain!

Sebagai penutup, tulisan diatas diambil dari artikel karangan Kwik Kian Gie di 
Jawa Pos, edisi pertengahan Agustus 2005, dengan sedikit tambahan. Bila anda 
merasa artikel ini bagus dan bermanfaat untuk mencerdaskan kebudayaan bangsa 
Indonesia, maka mohon diteruskan keseluruh penjuru Indonesia dan dunia.

Penulis juga berharap agar tulisan ini jatuh ketangan para mahasiswa aktivis di 
ITB, UI, UGM dan IPB, dengan maksud agar mereka menyadari/memahami bahwa banyak 
dosen mereka yang menjadi oknum kelas berat (level nasional atau bahkan 
internasional) dan yang sepantasnya dijadikan musuh bangsa!

Dan bagi anda yang mempunyai: inteligensi, idealisme, moral dan etika yang 
baik, keprihatinan akan krisis di Indonesia, serta kemampuan menulis, kami 
menghimbau anda untuk menulis di Internet yang bebas, kritis, lugas dan 
pembacanya mencapai seluruh dunia! Selamat berkarya.

* Catatan: kata saya = Kwik Kian Gie, tokoh cerdas, bijak dan nasionalis.
* Semua tanggapan harap ditulis ke: [EMAIL PROTECTED]
* artikel lain yang sangat dalam dan sangat luas pembahasannya ada di 
http://diskusikebudayaan3.blogspot.com/ DAN 
http://analisakebudayaan.blogspot.com/. 
    posted by Analis Kebudayaan at 6:22 AM

   



  SPONSORED LINKS 
        Conservative politics   Bali indonesia   Indonesia hotel     
Organizational politics 
    
---------------------------------
  YAHOO! GROUPS LINKS 

    
    Visit your group "nasional-list" on the web.
    
    To unsubscribe from this group, send an email to:
 [EMAIL PROTECTED]
    
    Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 

    
---------------------------------
  




                
---------------------------------
 Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.  

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke