Dengan hormat,
Kami lampirkan di bawah ini Press Release dari KUKB, dan pernyataan dari Harry 
van Bommel, anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis.
Harry van Bommel merupakan anggota delegasi parlemen Belanda dari komisi luar 
negeri (Permanent Committe on Foreign Affairs in Dutch Parliament)
Pada hari Selasa, 14 Oktober 2008 bertempat di Hotel Mariott, Jakarta, Harry 
van Bommel dan KUKB mengadakan Jumpa Pers bersama (Joint Press Meeting).
 
Sehubungan dengan penolakan mayoritas delegasi parlemen Belanda untuk 
berkunjung ke Rawagede, Harry van Bommel menyampaikan kekecewaannya dan malu 
terhadap sikap para koleganya. (lihat beritanya di Harian Belanda 
NRC-Handelsblad di bawah ini).
Delegasi juga tidak bersedia menerima kunjungan para janda ke Jakarta, dan 
bahkan tidak bersedia bertemu dengan Ketua KUKB, Batara Hutagalung.
Alasan mereka, kini masalah tersebut sudah menjadi masalah hukum, karena 
pengacara para janda telah mengajukan kasus ini ke pengadilan di Belanda, 
sehingga parlemen Belanda tidak mau hal ini dianggap sebagai intervensi 
terhadap hukum. Namun Harry van Bommel menjelaskan, bahwa yang baru dilakukan 
oleh pengacara Gerrit Pulles adalah menulis surat resmi kepada pemerintah 
Belanda, dan belum mengajukan ke pengadilan. Gerrit Pulles menyatakan, apabila 
pemerintah Belanda tidak merespons secara positif, akan mengajukan kasus 
pembantaian di Rawagede ke Mahkamah Internasional di Den Haag. 
Partai Sosialis  yang merupakan partai terbesar ketiga di Belanda dan partai 
oposisi terbesar di parlemen Belanda dengan jumlah kursi 27, telah beberapa 
kali membawakan kasus Rawagede ke parlemen Belanda, dan didukung oleh beberapa 
partai oposisi lain seperti Partai Groen Links. Namun belum mendapat 
persetujuan dari mayoritas di parlemen Belanda.
 
Ketua KUKB, Batara Hutagalung menyampaikan, bahwa hingga saat ini pemerintah 
belanda tetap tidak mau mengakui de iure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 
17 Agustus 1945. Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda waktu itu, Ben Bot, 
menyatakan bahwa kini pemerintah Belanda menerima 17 Agustus 1945 secara 
politik dan moral, namun tidak secara yuridis, karena pengakuan secara yuridis 
telah diberikan pada 27 Desember 1949, yaitu kepada Republik Indonesia Serikat 
(RIS).
Pemerintah Belanda juga tidak menganggap Indonesia sebagai mitra yang sejajar. 
Sebagai contoh adalah diberlakukannya kebijakan pemberian visa on arrival bagi 
warga Belanda. Artinya, seorang pemuda Belanda dengan ransel punggung 
(back-packers) dan uang yang minim, dapat berkunjung ke Indonesia tanpa 
masalah, kaena tidak perlu memint visa terlebih dahulu. Namun bagi seorang 
milyuner Indonesia, tidak mudah untuk memperoleh visa Belanda. Negara tetangga 
kita, Malaysia, ke mana-mana juga tidak perlu meminta visa. Cukup 
visa-on-arrival.
 
Di Belanda, selain di website parlemen Belanda (Tweedekamer) dan website Partai 
Sosialis, hampir semua media, termasuk beberapa harian terkemuka di Belanda, 
seperti De Volkskrant, Het Parool, NRC Handelsblad dan bahkan harian 
konservatif De Telegraaf, telah menurunkan berita mengenai penolakan sebagian 
besar anggota parlemen Belanda untuk ke Rawagede dan juga tidak mau menerima 
kunjungan para janda korban agresi militer Belanda di Rawagede.
Harian NRC-Handelsblad mengutip pernyataan Ketua KUKB Batara Hutagalung, bahwa 
dengan demikian delegasi parlemen Belanda buta sebelah mata (lihat beritanya di 
bawah ini).
Harian NRC-Handelsblad juga membuat kolom polling pro-contra anggota parlemen 
Belanda berkunjung ke Rawagede dan meminta maaf kepada para jana dan keluarga 
korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda.
(lihat: 
http://weblogs2.nrc.nl/discussie/2008/10/14/moeten-de-kamerleden-die-nu-in-indonesie-zijn-van-de-gelegenheid-gebruik-maken-om-excuses-aan-te-bieden-voor-nederlandse-oorlogsmisdaden/#comments)
 
Terima kasih atas perhatian yang diberikan.
 
 
Batara Hutagalung.
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
 
Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Rawagede, dapat mengunjungi 
weblog: http://indonesiadutch.blogspot.com 
dan http://batarahutagalung.blogspot.com
Petisi-online kepada pemerintah Belanda: 
http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html
 
=================================================
 
KOMITE  UTANG  KEHORMATAN  BELANDA
(Committee of Dutch Honorary Debts)
Sekretariat Indonesia: Jl. Wahyu No. 2 B, Gandaria Selatan, Jakarta Selatan 
12420
Tel./Fax: (+62) - 021 – 7590 1884. Email: [EMAIL PROTECTED]
Website: http://www.kukb.or.id. Weblog: http://indonesiadutch.blogspot.com
________________________________________________________________
 
 
PRESS RELEASE
14 Oktober 2008
 
Untuk kesekian kalinya delegasi parlemen Belanda mengunjungi Indonesia. Selain 
mengunjungi proyek-proyek yang didanai oleh Belanda, mereka selalu “memantau” 
dan “mengawasi” kondisi HAM di Indonesia, terutama sejak 10 tahun belakangan 
ini.
 
Tak jarang parlemen Belanda melontarkan berbagai kritik tajam terhadap 
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Fokus mereka selama ini adalah Aceh, 
Maluku dan Papua. Dahulu sebelum merdeka, juga Timor Timur.
 
Kali ini delegasi parlemen Belanda juga akan “memantau” kondisi HAM di 
Indonesia, dan akan bertemu dengan berbagai kalangan, a.l. dengan komunitas 
Maluku, janda almarhum Munir, dll.
 
Namun ternyata, “pengawasan” terhadap masalah pelanggaran HAM hanyalah yang 
terjadi di kalangan bangsa Indonesia sendiri. Mayoritas di parlemen Belanda 
tidak mau tahu mengenai berbagai kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan  
dan pelanggaran HAM berat lain yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia 
antara tahun 1945 – 1950, dalam upaya menjajah kembali Indonesia.
 
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) telah menyampaikan usul agar delegasi 
parlemen Belanda juga berkunjung ke Rawagede, di mana  pada 9 Desember 1947 
tentara Belanda telah melakukan pelanggaran HAM berat, yaitu membantai 431 
penduduk desa. 
 
Mayoritas delegasi parlemen Belanda menolak untuk berkunjung ke Rawagede, yang 
jaraknya hanya sekitar satu setengah jam perjalanan dari Jakarta. Hanya Harry 
van Bommel dari Partai Sosialis yang menyetujui usulan tersebut. Berbagai 
rombongan delegasi parlemen belanda mengunjungi daerah-daerah yang jaraknya 
ribuan kilometer dari Jakarta, dan bahkan belasan ribu kilometer dari Belanda 
untuk memantau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oang Indonesia terhadap 
orang Indonesia, namun tidak besedia mengunjungi daerah yang hanya berjarak 
sekitar 80 kilometer dari Jakarta, di mana telah terjadi pembantaian yang 
dilakukan oleh tentara Belanda terhadap 431 penduduk sipil Indonesia.
 
Bahkan mayoritas delegasi juga menolak untuk secara resmi bertemu dengan Ketua 
Komite Utang Kehormatan Belanda. Selama ini, delegasi-delegasi parlemen Belanda 
menemui dan membantu LSM-LSM di Indonesia yang mengungkap berbagai pelanggaran 
HAM yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap sesama orang Indonesia, namun 
mereka tidak bersedia bertemu, dengan LSM yang mengungkap pelanggaran HAM yang 
dilakukan oleh orang Belanda terhadap orang Indonesia!
 
Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, terjadi 
sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal perang Amerika 
USS “Renville”, Pembunuhan massal terhadap penduduk sipil tanpa proses, 
tuntutan, pembelaan dan putusan pengadilan,  bukan hanya merupakan suatu 
kejahatan perang (war crimes), melainkan juga kejahatan atas kemanusiaan 
(crimes against humanity), karena merupakan pembantaian teroganisir terhadap 
penduduk sipil, non-combatant. 
 
Kejahatan-kejahatan  tersebut merupakan kategori kejahatan tertinggi di 
International Criminal Court (Pengadilan Kejahatan Internasional) yang 
berkedudukan di Den Haag, Belanda.
 
Pada 9 September 2008, hampir 61 tahun setelah peristiwa pembantaian tersebut, 
pengacara di Belanda, Gerrit Pulles, yang diberi mandat (dengan dibubuhi cap 
jempol karena semua buta huruf) untuk mewakili 9 orang janda korban yang masih 
hidup, dan orang terakhir yang selamat dari pembantaian, Saih (84 tahun), 
secara resmi menuntut pemerintah Belanda untuk bertanggungjawab atas 
pembantaian tersebut dan memberikan kompensasi kepada para janda korban dan 
korban terakhir yang selamat.
 
Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende sangat gigih memperjuangkan 
keadilan bagi seorang wartawan Belanda, Sander Robert Thoenes, yang tewas di 
Becora, Dili, Timor Timur pada 21 September 1999. 
 
Dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta pada 8 April 2006, selain 
menyinggung soal kelanjutan kasus Munir, PM Belanda Balkenende menanyakan soal 
penanganan kasus Sander Thoenes. 
 
Sebelum itu, pada 2 September 2002 di sela-sela KTT Pembangunan Berlanjut (the 
World Summit on Sustainable Development, 26 August - 4 September 2002) di 
Johannesburg, Afrika Selatan, PM Belanda Balkenende menemui Presiden RI 
Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan tewasnya Sander Thoenes, dan kepada 
Radio Nederland (Warta Berita Radio Nederland Wereldomroep, 3 Septemer 2002), 
PM Belanda Balkenende menyatakan bahwa dia: “telah menekankan kepada Presiden 
Megawati bahwa kasus ini sangat peka di Belanda. Selain itu baik parlemen 
maupun masyarakat sangat khawatir akan jalannya persidangan yang dilangsungkan 
di Indonesia.” 
 
Belanda tidak mempercayai pengadilan di Indonesia dan menyerukan agar didirikan 
tribunal internasional untuk kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara 
Indonesia di Timor Timur. Namun di lain pihak, pada tahun 1952 pengadilan 
Belanda membebaskan Westerling –yang bertanggungjawab atas pembunuhan puluhan 
ribu orang- dari seluruh tuduhan. Selain itu, tidak satupun pelaku pembantaian 
massal dan pelaku pelanggaran HAM berat lainnya selama agresi militer Belanda 
di Indonesia yang dimajukan ke pengadilan.
 
Komite Utang Kehormatan Belanda melihat, bahwa pemerintah dan sebagian besar 
anggota parlemen Belanda Belanda menggunakan ukuran ganda terhadap hal-hal yang 
sehubungan dengan kejahatan perang dan pelanggaran HAM berat.
 
Selain itu, Pemerintah Belanda, kalangan konservatif dan terutama para veteran 
Belanda tetap menolak mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi 
Pemerintah Belanda, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, 
yang dipandang Belanda merupakan “hadiah” dari Pemerintah Belanda. 
 
Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda mendesak Pemerintah dan Dewan 
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk:
1.                             Menolak segala bentuk intervensi asing dalam 
masalah dalam negeri Indonesia, 
2.                             Mempertanyakan maksud Belanda dengan melakukan 
intervensi mempersoalkan masalah HAM di Indonesia, sementara pihak Belanda 
sendiri sepertinya tidak mau tahu terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan 
Belanda ketika melakukan agresi terhadap Indonesia tahun 1947 dan 1948..
 
Selain itu Komite Utang Kehormatan Belanda mendesak kepada Pemerintah Indonesia 
untuk mencabut kebijakan visa on arrival bagi warga-negara Belanda yang   
berkunjung ke Indonesia, sementara warganegara Indonesia yang akan berkunjung 
ke Belanda seringkali mendapat kesulitan.  Kebijakan visa on arrival yang 
diberlakukan bagi warga Belanda sering disalah-gunakan oleh pihak Belanda 
dengan melakukan berbagai intervensi di wilayah kedaulatan Indonesia.

Jakarta, 14 Oktober 2008
 
 
Batara R Hutagalung
Ketua 
 
==========================================
 
Statement from Mr. Harry van Bommel and Mrs. Krista van Velzen.
 
Compensate the victims of Rawagedéh
 
This week a delegation of Dutch Members of Parliament is visiting Indonesia. 
The biggest opposition group,.the Socialist Party (SP), will also participate 
in this delegation. 
 
In our view, while it is of the utmost importance that the Netherlands and 
Indonesia have good relations with each other, this can only be achieved via 
the recognition, at the same time, of mistakes made in the past. In this 
respect the expression of regret by former Foreign Minister Ben Bot, regarding 
the military actions of 1945-1949, represents an important step forward. 
 
But this must not stop at such a declaration. A gesture must be made towards 
the people who suffered as a result of this war which in the Netherlands was 
referred to, completely incorrectly, as a series of “policing actions”. 
 
Compensation must be offered to the victims of mass murder during this war, and 
to their descendants. This would principally involve ordinary citizens, 
including women and children, who were put to death in the course of serious 
breaches of human rights committed by Dutch soldiers. In the first place we are 
thinking of the village of Rawagedéh in Java, where in December of 1947 
hundreds of people were murdered. Dutch soldiers were responsible for these 
extra-judicial executions. 
 
Given the fact that there is no statute of limitations for war crimes, it is 
strange that these soldiers have never been prosecuted. The Dutch government 
has never made any kind of gesture towards these families, neither in writing, 
nor in face-to-face meetings, nor in any other fashion. 
 
So it was completely unexpected when, in December 2007, the Dutch ambassador, 
sixty years after the event, was present at the commemoration of this 
bloodbath. This form of recognition of guilt over the Netherlands’ 
responsibility for these crimes is, in our opinion, not sufficient. 
 
The Dutch government must be prepared to express its official regret to the 
descendants of the victims of Rawagedéh and to pay them compensation throughout 
the rest of their lives. 
 
My party proposed this in parliament last winter. Unfortunately our resolution 
did not win the support of a majority. We therefore welcome the fact that 
recently some of the survivors have announced that they will bring a legal 
action before the Dutch courts. 
 
We hope that compensation for the victims of Rawagedéh can provide the 
beginning for a thoroughgoing reconciliation process with the victims of the 
colonial war unjustly fought by the Netherlands
 
*****
 
Harry van Bommel and Krista van Velzen are Members of the Dutch Parliament for 
the Socialist Party.  
 
===========================================
Terjemahannya (dilakukan oleh orang Belanda sehingga bahasa Indonesianya kurang 
sempurna)
Soal Rawagedeh
 
Minggu ini satu delegasi dari Parlemen Belanda akan mengunjungi Indonesia. Juga 
partai oposisi yang paling besar, Partai Sosialis(SP), menjadi bagian dari 
delegasi ini. Pendapat kami itulah amat penting Belanda dan Indonesia ada 
perhubungan baik, tapi itu mungkin hanya kalau kedua fihak serentak mengakui 
kesalahan dan perbuatan yang buruk pada zaman dahulu. 
 
Karena itu pernyataan menyesal dari mantan Menteri Luar Negeri Bot pada bulan 
Agustus 2005 tentang aksi-aksi militer dari tahun 1945 sampai tahun 1949 itu, 
satu langka besar kemuka. Akan tetapi penyesalan begitu tidak cukup. Perlu satu 
tanda niat yang baik untuk orang yang telah menderita dalam perang yang di 
Belanda ini tidak pantas disebut aki-aksi polisi. Perlu diganti rugi korban 
dari pembantaian massal dalam perang itu kepada sanak saudaranya. 
 
Soal ini terutama menyangkut warga, perempuan dan anak, yang dibunuh militer 
Belanda dengan pelanggaran-2 hak-hak asasi manusia di berbagai desa. Kami 
pertamatama memperingati desa Rawagedeh di Pulau Jawa, di mana pada bulan 
desember 1947 ratusan orang dibunuh dengan darah dingin. 
 
Militer Belanda bertanggungjawab atas eksekusi secara pengadilan kilat. Karena 
kejahatan perang tidak kedaluwarsa itu, anehnya tidak pernah militer yang 
terlibat dituntut. Karena itu kepada sanak saudara Pemerintah Belanda tidak 
pernah memberikan satu tanda niat yang baik, tidak secara tertulis, tidak dalam 
pembicaraan, tidak melalui cara apapun. 
 
Mendadak pada bulan Desember 2007, 60 tahun sesudahnya, Kedutaan Besar Belanda 
menghadiri peringatan pembantaian itu. Cara pengakuan bersalah tentang 
pertanggungjawaban Belanda atas kejahatan ini, menurut pendapat kami tidak 
cukup. Pemerintah Belanda harus bersedia untuk mengucapkan penyesalan secara 
resmi kepada sanak saudara korban di Rawagedeh dan memberi kepada mereka ganti 
rugi sisa hidup mereka. 
 
Pada musim dingin lalu partai kami telah mengusulkan hal ini dalam parlemen. 
Sayang usul kami tidak mendapat dukungan dalam parlemen. Karena itu kami senang 
yang baru-baru beberapa orang yang selamat dari pembantaian itu telah 
mengumumkan untuk mengajukan perkara ini ke pengadilan Belanda. 
 
Harapan kami ganti rugi bagi korban Rawagedeh adalah permulaan proses 
rekonsiliasi yang mendasar dengan korban-2 perang kolonial yang Belanda 
melakukan dengan tidak pantas.
 
*****
 
Harry van Bommel dan Krista van Velsen adalah anggota Parlemen Belanda dari 
Partai Sosialis(SP)
 
============================================
 
Berita di Harian Belanda NRC-Handelsblad
 
http://www.nrc.nl/international/Features/article2023396.ece/Massacre_survivors_snubbed_by_Dutch_delegation
 
Massacre survivors snubbed by Dutch delegation 
Published: 14 October 2008 15:43 | Changed: 14 October 2008 15:46
By Elske Schouten in Jakarta
Dutch members of parliament on an official visit to Indonesia have refused to 
meet survivors of a massacre by Dutch soldiers in 1947. The leader of the 
delegation says it would be “inappropriate”. 
The Indonesian village of Rawagede was the scene of a massacre perpetrated by 
Dutch soldiers in 1947, shortly after the colony declared its independence and 
troops were sent in to restore order. 
The village claims 431 men were shot, while a Dutch government investigation 
into war crimes in Indonesia puts the figure at 150. 
Voted down 
One man who survived the massacre and nine widows of victims still live in the 
village, which has been renamed Balongsari. Last week, a letter was sent on 
their behalf to the Dutch government asking for a formal apology and 
compensation. Their request is still being looked at. 
Socialist Party member of parliament Harry van Bommel says he suggested a 
meeting with survivors twice but that the proposal was voted down by the rest 
of the delegation. 
The delegation, made up of seven members of the parliamentary foreign affairs 
committee, is in Indonesia to discuss a range of issues until October 19. 
Delegation chairman Henk Jan Ormel, member of parliament for the Christian 
Democrats, says he feels a meeting with the survivors, or their 
representatives, would be ‘inappropriate” while legal procedures are still 
ongoing. 
False expectations 
“A visit from an official Dutch delegation could create false expectations”, 
Ormel said, adding that he did not want Rawagede to become the focus of the 
visit to Indonesia. “A lot more has happened in this country,” he said. 
Van Bommel, who feels the Netherlands should apologise and pay compensation, 
had wanted a “reconciliatory meeting”. “It would have been the first Dutch 
high-level visit,” he says. “For the survivors of Rawagede, this is far from 
over.” 
The members of the delegation did not want to meet Batara Hutagalung, founder 
of the committee which filed the claim for compensation, either. Hutagalung 
says he finds it “odd” for parliamentarians to come to Indonesia to talk about 
human rights and not pay any attention to Rawagede. 
“It is almost as if they are blind in one eye: they only see the atrocities 
perpetrated by others,” he said. 
 
polling
http://www.nrc.nl/
 
 
 
 
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to