refleksi: Ada ucapan klasik yang mengatakan bahwa tidak ada yang mau menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela. Bila ucapan tsb benar, maka timbul pertanyaan bagaimana pendapat Anda dalam meruntukan resistensi seperti disebutkan artikel dibawah in untuk membawa perubahan fundamentil dalam perbaikan hidup masyarakat yang dibodohkan dan dimiskinkan?
MEDIA INDONESIA Rabu, 16 Agustus 2006 Resistensi terhadap Etika Jabatan ADA kebiasaan baru yang tumbuh di kalangan pejabat publik di negeri ini. Yakni, usaha membentengi diri dari rupa-rupa kontrol. Para pemangku jabatan publik giat membuat barikade perlawanan berlapis agar usaha membuat aturan yang bersifat mengendalikan perilaku mereka itu bisa mati muda. Tengoklah, misalnya, aturan pedoman perilaku hakim yang dibuat Komisi Yudisial. Aturan yang isinya memuat apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para hakim itu diabaikan begitu saja oleh Mahkamah Agung. Lembaga yudikatif tertinggi itu malah berjalan dengan pedomannya sendiri yang kontroversial--misalnya hakim boleh menerima hadiah--tanpa mengindahkan kritik masyarakat. Hal yang sama terjadi pada sebagian besar pejabat kita saat menanggapi rencana perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Etika Penyelenggaraan Negara. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi sendiri yang menyebutkan banyak pejabat menolak kehadiran RUU yang dimaksudkan mengatur perilaku penyelenggara negara itu. Akibat penolakan itu, pemerintah kesulitan merumuskan RUU yang sudah lima tahun dibahas pemerintah. Dan, penyebab terhambatnya pembahasan RUU itu terutama terkait dengan larangan dan sanksi bagi penyelenggara negara. Dalam Pasal 14 draf VI RUU tersebut, misalnya, terdapat banyak larangan yang diperkirakan akan merugikan pejabat sekarang. Contohnya, larangan bagi penyelenggara negara untuk merangkap jabatan dalam kepengurusan organisasi masyarakat yang menimbulkan konflik kepentingan. Juga, soal larangan tukar-menukar cendera mata. Terlalu lamanya sebuah RUU dirumuskan jelas memperlihatkan ada polemik alot menyangkut isinya. Dan, kali ini perdebatan alot justru terjadi menyangkut pasal-pasal yang membatasi perilaku pejabat sehingga tidak bisa menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Hal itu menunjukkan pejabat kita masih sangat resisten terhadap kontrol yang menyebabkan mereka kehilangan 'pendapatan'. Padahal, spirit dimunculkannya RUU itu adalah terciptanya pemerintahan yang bersih dan birokrasi yang profesional. Yakni, pemerintahan yang mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan publik. Bukan kepentingan menggemukkan pundi-pundi pribadi dan menumpuk kekuasaan dalam genggaman. Resistensi itu juga menunjukkan mindset korup masih tertanam erat dalam benak banyak pejabat kita. Jabatan dimaknai sebagai sebuah berkah keuntungan ekonomis dan politis pribadi, bukannya amanah melayani publik. Kalau mentalitas seperti itu masih kuat mewarnai, jangan harap usaha membabat kanker ganas korupsi bisa menuai hasil memuaskan. Kalau baru urusan etika yang mengikat secara moral saja sudah mendapat perlawanan sengit, bukan tidak mungkin aturan yang lebih tegas akan layu sebelum berkembang. Lalu, 'korupsi berjemaah' pun kian tak terbendung [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/