http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/10/sh05.html
Ribuan Jenazah Tersisa, ke Mana Perginya Para Relawan? BANDA ACEH-Enam sarung tangan warna hitam digeletakkan di meja Sayidin (23), salah satu pemuda yang sibuk mengurus posko pengungsi bencana gempa dan badai tsunami di kawasan Lamlhom, Kecamatan Lhok Nga, Aceh Besar. Beberapa orang berdiri di depan posko dengan masker dan sepatu boot. Hari itu, Minggu (9/1), Sayidin dan warga di Lamlhom serta sejumlah pengungsi akan melakukan evakuasi jenazah korban gempa dan badai tsunami yang masih terserak di antara puing reruntuhan di Lampuuk. "Hingga hari ini, tak satu pun relawan yang membantu kami melakukan evakuasi jenazah," kata Sayidin dengan nada getir. Ia menghitung sekali lagi sarung tangan yang akan digunakan untuk mengevakuasi jenazah itu. "Padahal setiap hari ada 20 orang yang harus melakukan evakuasi," ujarnya. Lampuuk adalah permukiman dengan lebih dari 6 ribu penduduk yang mengalami akibat gempa dan badai tsunami cukup parah. Seluruh rumah di kawasan itu luluhlantak dilumat bencana. Satu-satunya bangunan yang masih berdiri di kawasan itu hanya Mesjid Rahmatillah. Meski keempat dindingnya luluhlantak dan sebagian fondasi mesjid itu runtuh, pilar-pilar yang menyangga bangunan itu masih kokoh berdiri. Juga ketiga kubah di atasnya. Bahkan dua lampu neon yang menempel di plafon masih utuh di tempatnya. Namun menatap ke luar dari dalam mesjid berdinding runtuh ini, seluas mata memandang, yang terlihat hanya puing. Kubangan air tersisa di setiap ceruk yang ditinggalkan oleh gempa dan bau menusuk meruap dari ribuan mayat yang diperkirakan masih terserak di antara puing dan genangan air yang menghitam. Saat bencana itu terjadi, hampir seluruh penduduk Lampuuk berlari ke arah Lamlhom. Lokasi Lampuuk yang hanya berjarak 20 meter dari pantai membuat warga di kawasan ini menjadi sasaran pertama saat gelombang tsunami memukul. Dipastikan ribuan warga di sana tewas tersapu gelombang. Dari data posko pengungsi Lampuuk yang dibangun di Lamlhom, hanya 701 orang yang terdaftar, termasuk perempuan dan anak-anak. Sebagian warga lain yang selamat diperkirakan mengungsi di rumah keluarga mereka di luar daerah atau di perumahan penduduk di sekitar Lampuuk. Tetapi jumlah yang selamat, diyakini tak lebih dari 1.000 orang. Salamah (34), seorang warga Lampuuk yang selamat, menuturkan bagaimana badai besar tersebut telah melenyapkan seluruh keluarganya, suami dan ketiga anaknya. Juga kedua orang tuanya dan adik-adiknya. "Anak di gendongan saya terlepas," katanya dengan mata menerawang. Ia bertahan hidup dengan memegang batangan kayu yang melintas di depannya. Seluruh tubuhnya luka memar karena berkali-kali dihempaskan gelombang. Hingga akhirnya ia menemukan potongan dinding, yang menyembul di atas tumpukan sampah lainnya dan bertahan di situ hingga ditolong warga yang selamat. Dua belas jam Salamah bertarung antara hidup dan mati. Kegetiran serupa dialami Ramli Hasyim (60). Ia tengah mengemudikan becak kecilnya ke Kota Banda Aceh saat peristiwa itu terjadi. Ia kehilangan istri dan kelima anaknya. "Seandainya saat itu saya ikuti kemauan anak saya untuk turut ke kota, pasti saya masih ada kawan satu orang untuk menemani hidup," katanya menyesali. Tanpa Relawan Banyaknya korban nyawa di kawasan itu, membuat kisah kehilangan menjadi cerita seragam yang keluar dari mulut setiap warga yang dijumpai SH. Sudah tak terhitung berapa banyak jenazah yang digotong untuk dimakamkan. "Pada hari pertama, kami masih mengenali wajah mereka. Kami memang tak memandikan mereka sebelum dimakamkan, tapi setidaknya kami masih mengelap wajah mereka dengan air. Kemudian mensholatkan mereka sebelum dimakamkan. Tapi hari-hari berikutnya, wajah-wajah itu semakin sulit dikenali," kata Raihal (23), salah seorang penduduk di Lamlhom yang membantu merawat korban luka dan meninggal. Sayidin sendiri mengatakan, jumlah jenazah yang sudah dievakuasi mencapai 1.200 sampai Sabtu (8/1). Sementara evakuasi yang dilakukan Minggu (9/1) siang, mengumpulkan sekitar 30 jenazah. Menurut pengakuannya, evakuasi jenazah sejak hari pertama bencana dilakukan sendiri oleh warga di sekitar Lampuuk, baik yang menjadi pengungsi maupun warga yang tinggal di kawasan Lamlhom yang tidak terkena bencana. Peralatan yang digunakan pun hanya sekop dan kadang-kadang jenazah dibawa dengan tangan telanjang. Pencarian jenazah di reruntuhan Lampuuk, termasuk penguburannya, hanya dilakukan oleh warga setempat. Tak tampak satu pun relawan yang datang ke kawasan tersebut. Palang Merah Indonesia (PMI), menurut Sayidin, sempat berjanji untuk mengirim relawan guna mengevakuasi jenazah. Namun janji tersebut hingga pekan kedua bencana, tidak terpenuhi. Bantuan PMI ke kawasan tersebut hanya berupa makanan dan obat-obatan untuk pengungsi. Camat Lhok Nga yang baru menjabat sejak Jumat (7/1) - menggantikan camat lama yang menjadi korban bencana - menjanjikan untuk membantu korban bencana dengan peralatan yang lebih memadai. Tapi hingga Minggu (9/1) petang, peralatan itu belum datang. "Kami mencari mayat-mayat tersebut dan kemudian menguburkannya juga. Upaya menggali kubur itu cukup melelahkan karena kami melakukannya dengan tangan. Kalau ada, bisa cukup membantu," kata Sayidin. Keluhan Sayidin ini terasa memprihatinkan, jika melihat jumlah relawan yang datang ke Banda Aceh cukup besar. Dalam pengamatan SH, banyak relawan terlihat hanya menumpuk di kawasan kota. Beberapa bahkan hanya terlihat duduk-duduk di sepanjang ruas jalan-jalan utama di Banda Aceh dengan kostum yang sebenarnya siap untuk melakukan evakuasi. Padahal jalan ke arah Lampuuk sudah bisa dilalui kendaraan dan hanya berjarak tiga kilometer dari jalan raya Banda Aceh-Meulaboh. Keluhan juga muncul dari kamp pengungsi. Koordinator pengungsi di Lamlhom, Daud (73), mengeluhkan bahwa tak satu pun perwakilan dari pemerintah datang ke lokasi pengungsian tersebut. Sejumlah dokter dari Indonesia pun hanya datang sesekali untuk memberikan vaksinasi. Perhatian justru datang dari para relawan medis dari Prancis, Jepang dan Korea. "Sebenarnya kami malu dengan mereka. Kenapa justru mereka yang beda agama dan ras yang membantu kami, sementara pemerintah kita sendiri, termasuk para anggota DPR yang kami pilih itu sama sekali tak pernah tengok kami," kata Daud sambil mengepulkan asap kreteknya ke udara. Matahari terik di atas kepala, dan Daud sulit mengerti sampai kapan rakyat Aceh terus merana. (SH/fransisca ria susanti) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Has someone you know been affected by illness or disease? Network for Good is THE place to support health awareness efforts! http://us.click.yahoo.com/rkgkPB/UOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/