http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/20/utama/1825901.htm


 
Rumah Panjang di Kalimantan Tengah Mulai Ditinggalkan Warga Dayak 




Puruk Cahu, Kompas - Rumah panjang atau betang di Kalimantan Tengah kini makin 
ditinggalkan warganya. Hanya warga miskin yang "terpaksa" masih tinggal di 
betang, sementara warga yang kaya memilih "turun" dari betang dan membangun 
rumah sendiri.

Kondisi seperti itu bisa ditemui di betang Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang, 
Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Desa Konut terletak 
sekitar 18 kilometer dari Puruk Cahu atau sekitar 460 kilometer dari 
Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Tim Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam menyinggahi betang ini, Minggu 
(19/6), untuk mengabadikan "benteng terakhir" budaya Dayak Siang ini.

Di rumah panjang itu hanya bertahan tujuh keluarga yang tinggal di tujuh bukung 
atau tujuh pintu. Padahal, betang itu bisa menampung sampai 27 keluarga.

Seorang penghuni betang Desa Konut, Lilik (30), mengatakan, satu per satu 
penghuni meninggalkan betang dan membuat rumah sendiri. "Biasanya yang 
meninggalkan betang ini karena banyak keluarga atau karena sudah kaya," 
tuturnya.

Warga lainnya, Yeti (25), mengatakan, mereka tidak pergi karena jika 
ditinggalkan pasti tidak ada yang merawat betang itu. "Harus ada yang merawat 
betang dan menghuninya karena betang ini warisan leluhur," katanya.

Leluhur yang dimaksud adalah Telanying, Nadot, Ngingit, dan Pulang. Keempat 
bersaudara itulah yang membangun betang pada awal abad XX untuk kepentingan 
rumah komunal dan juga pertahanan dari serangan binatang buas.

Makin memprihatinkan

Dua antropolog yang menyertai tim ekspedisi, Marko Mahin dari Sekolah Tinggi 
Teologi Gereja Kalimantan Evangelis dan Setia Budhi dari Universitas Lambung 
Mangkurat, Banjarmasin, merasa prihatin dengan kondisi rumah betang yang 
terhitung masih dekat dengan ibu kota kabupaten.

"Alamnya kaya raya, tetapi benteng budayanya seperti ini, sungguh ironis," 
katanya.

Betang itu memiliki sembilan kamar atau sembilan bukung, tetapi hanya tujuh 
bukung yang masih dihuni. Itu pun kondisi bangunan sudah tua dan mendesak untuk 
direnovasi. Tiga bukung sudah direnovasi dengan biaya pemerintah, tetapi 
pembangunannya tidak sesuai dengan harapan warga. Selain hanya diganti dengan 
kayu kualitas rendah, hasil renovasi menurut warga lebih mirip barak daripada 
betang adat.

Lebih lanjut Marko Mahin mengungkapkan, fenomena ditinggalkannya betang oleh 
warganya merupakan cermin dari menurunnya sifat komunalisme masyarakat adat. 
Masyarakat bergerak ke arah individualis dan tak lagi rela memikul beban hidup 
secara bersama-sama.

Setia Budhi memaparkan, betang itu saat ini dihuni oleh warga yang relatif 
miskin. Kemiskinan warga penghuni betang terlihat menonjol dan kontras dengan 
kondisi rumah-rumah di sekeliling betang.

Menurunnya pengaruh betang juga sebagai dampak dari dipaksakannya sistem desa 
yang "java centris" di desa adat ini. Sejak masuknya konsep desa, pemimpin adat 
tak sekuat dulu dan betang tak lagi menjadi pusat kegiatan masyarakat.

"Seharusnya konsep tata pemerintahan berjalan berdasarkan kearifan lokal 
masyarakat, bukan berdasar pada konsep dari luar daerah," kata Marko. (AMR/THY)





[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke