http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/16/utama/2290324.htm
Saat Pemerintah Dituding Tak Paham Pendidikan Isu yang terkait dengan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia sepertinya sudah klise. Namun, ketika tokoh pendidikan seperti Utomo Dananjaya menuding hal itu disebabkan pemerintah tidak memahami pendidikan, kita seperti disentakkan pada satu kesadaran bahwa ada yang tak beres dalam pengelolaan pendidikan di negeri ini. Boleh jadi, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina itu hanya berniat mengetes tingkat kepekaan sekaligus kearifan para petinggi Republik ini dalam merespons sebuah kritik. Sebab, sedih sekali rasanya bila pernyataan keras tentu saja makin terasa pedas bila dimaknai apa adanya dan bukan diperlakukan sebagai ungkapan literer yang dikemukakan Utomo, saat berbicara dalam suatu diskusi di Bandung akhir pekan lalu, benar-benar memang suatu kenyataan empiris yang tak terbantahkan. Apalagi bila dikaitkan dengan ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada anak- anak bangsa ini untuk mengembangkan budaya unggul, optimisme yang ingin dibangun itu sepertinya kian sayup saja terlihat. Di tengah kenyataan bahwa kontribusi bidang pendidikan (17 persen) dan pendidikan tenaga kerja (19 persen) bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh di atas kontribusi investasi (cuma empat persen), kita sepertinya abai memerhatikan dunia pendidikan secara sungguh-sungguh. Padahal, tokoh sekelas peraih Nobel John Nash pun bahkan mengingatkan bahwa pendidikan memberikan kontribusi tertinggi dalam perekonomian suatu bangsa. Anehnya, pemerintah belum juga paham. Kritik bahkan ditanggapi dengan tudingan balik, bukannya (meminjam ungkapan Oom Pasikom) didengar dengan hati. Pemerintahan saat ini bukan saja tidak memasukkan pendidikan dalam tujuh program prioritas mereka, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pun terkesan diskriminatif. Perhatian terhadap pendidikan bukan tidak ada, tetapi salah memahaminya, begitu penilaian Utomo Dananjaya. Orang pun mafhum. Sikap diskriminatif itu terlihat dari sejumlah kebijakan yang telah diambil pemerintah. Dalam draf Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, misalnya, dimunculkan gagasan untuk mengategorisasi ruang-ruang belajar dalam stratifikasi sosial berdasarkan kemampuan finansial dan akademik. Secara garis besar, gagasan yang tertuang pula dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan itu menghendaki pengaturan pelayanan pendidikan formal berdasarkan dua jalur: formal mandiri dan formal standar. Jalur pendidikan formal mandiri diperuntukkan bagi mereka yang mampu secara akademik dan finansial. Terhadap mereka yang tak mampu secara finansial tetapi memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, masih dimungkinkan masuk jalur formal mandiri lewat mekanisme beasiswa atau sistem anak asuh. Pendidikan jalur formal standar diperuntukkan bagi mereka yang tak mampu secara finansial, dengan memberikan program keterampilan dan diarahkan untuk mencari kerja. Secara tidak langsung masyarakat dikelompokkan dalam stratifikasi sosial berdasarkan kaya-miskin dan pintar-bodoh. Tak aneh bila rencana ini menuai kecaman. Setelah mendapat banyak kritik, belakangan naskah tersebut memang sedikit mengalami perbaikan. Sementara dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang baru saja disetujui DPR untuk disahkan, pemerintah kian membuka kesenjangan antara guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru non-PNS. Bukan cuma itu. Kita pun dihadapkan pada kenyataan masih lambannya angka pertumbuhan anak-anak yang mampu menuntaskan pendidikan dasar. Meski angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar (SD-SLTP) yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional cukup menggembirakan bahkan untuk tingkat SD ada provinsi yang persentase APK- nya melampaui 100 persen pada saat bersamaan kita pun menyaksikan masih banyak anak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke SLTP. Suatu kenyataan pula, hingga tahun 2005, sebanyak 64,7 persen orang Indonesia berpendidikan SD dan atau lebih rendah dari SD. Ini seharusnya dianggap bencana oleh pemerintah karena setelah 60 tahun kemerdekaan angkanya masih tinggi. Padahal, saat awal merdeka, 90 persen penduduk Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Apa artinya itu semua? Pertumbuhannya sangat lamban, begitu kata Utomo Dananjaya. Keprihatinan Soedjatmoko Sekalipun demikian, tetap saja tudingan bahwa pemerintah tidak paham pendidikan terasa menyesakkan. Akan tetapi, persoalannya menjadi lain manakala kita mau mencoba menangkap pesan tersurat dan tersirat di balik itu semua; memahami dan menerima kritik semacam itu dengan pikiran terbuka dan hati yang tulus. Membangun optimisme dan memberi semangat kepada bangsa tidak mesti diartikan secara sempit dalam wujud puji- pujian. Kritik keras dan pedas sekalipun, jika disampaikan dengan niat bersih dan direspons sewajarnya demi untuk kebaikan bangsa, malah bisa membuka ruang dialog untuk menyikapi suatu krisis yang sudah berurat akar di negeri ini. Di bidang pendidikan, bukankah jauh sebelumnya Soedjatmoko (almarhum) sudah mengingatkan hal serupa? Ketika tampil berceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 22 Mei 1972, intelektual sejati kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, yang pernah dipercaya sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo ini melihat betapa sistem pendidikan kita ketika itu tidak mampu untuk turut meluas bersamaan dengan lajunya pertambahan penduduk. Ketika itu 34 persen dari jumlah anak-anak usia sekolah tidak bisa bersekolah. Apakah di hari depan keadaan semacam ini akan terus demikian, atau lebih suram lagi? Apakah di hari depan kita akan mempunyai dua macam warga negara; yang kelas dua terdiri dari mereka yang tidak sempat masuk sekolah? kata Soedjatmoko dalam ceramahnya yang kemudian terbit dalam Budaya Jaya edisi Agustus 1972. Intinya, Soedjatmoko melihat perlunya perubahan dalam sistem pendidikan yang ada pada saat itu. Sistem pendidikan kita kala itu dinilainya terlalu mahal; terlalu mahal untuk diperluas sehingga bisa menjangkau seluruh angkatan muda Indonesia yang terus bertambah. Sistem pendidikan kita juga salah orientasi. Akibat pendidikan yang didapat di sekolah, unsur-unsur yang paling dinamis di desa-desa justru lari ke kota. Begitu pun dalam cara mengajar para guru kita. Tak cukup hanya membekali mereka dengan sertifikasi sebagai pendidik. Jauh lebih penting lagi adalah melalui apa yang disebut Soedjatmoko sebagai keberanian mempragmatiskan pengajaran. Kita harus meruntuhkan tembok yang memisahkan sekolah dari masyarakat. Pengajaran harus menjadi bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat, demikian Soedjatmoko berpesan. Jalan di tempat Adakah perubahan signifikan dari hasil amatan Soedjatmoko 33 tahun lalu dengan situasi saat ini pada umumnya? Bagai anggur lama dalam gelas yang baru, perubahan-perubahan yang tampak hanya pada permukaan. Selebihnya sama dan sebangun. Kecenderungan munculnya produk perundang-undangan yang justru memfasilitasi kepentingan kapitalisme global, termasuk di sektor pendidikan, bukan saja memarjinalkan institusi-institusi pendidikan yang ada, tetapi yang lebih merisaukan adalah semakin menjauhkan orang-orang miskin dari akses pada pendidikan bermutu. Liberalisme dan privatisasi pendidikan yang disasar pemerintah, pelan tetapi pasti, akan menggerus nilai-nilai yang berurat akar pada tradisi-budaya bangsa. Gejala komersialisasi pendidikan yang kini kian diperluas dan mendapat tempat di negeri ini secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan bahwa pemerintah gagal memenuhi kewajibannya dalam bidang pendidikan. Namun, mengikuti anjuran Wakil Presiden Jusuf Kalla, kita tetap harus membangun optimisme, tetapi tentu tidak dengan cara marah-marah. (ken) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Fair play? Video games influencing politics. Click and talk back! http://us.click.yahoo.com/u8TY5A/tzNLAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/