RIAU POS
Sabtu 23 Desember 2006

      Satu Dibidik, Seribu Luput  
        
      BERSIMPATI kepada ter    sangka korupsi, agak langka terjadi. Tampaknya, 
itulah yang terjadi terhadap Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan 
Perikanan (2001-2004) yang kini menjadi penghuni ruang tahanan Bareskrim Mabes 
Polri. Saban hari banyak kenalan, kolega, sanak famili maupun orang yang 
bersimpati menjenguknya. Boleh jadi tokoh yang tumbuh dari keluarga nelayan 
miskin di pesisiran Cirebon ini merasa tak sendirian. Termasuk yang mengunjungi 
Rokmin adalah Menteri Sosial, Bakhtiar Chamsyah. Bakhtiar pun telah berkirim 
surat ke KPK dan meminta penahanan Rokhmin ditangguhkan. 

      Uniknya, permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh Tim 
Penasehat Hukum Rokhmin Dahuri, juga ikut dijamin seratus nama, mulai dari 
kalangan anggota DPR, dosen IPB Bogor, Presidium ICMI, aktivis mahasiswa, 
hingga pengurus DPP Partai Demokrat, bersama istri Rokhmin, Ir Pigolselpi Anas. 

      Rokhmin dipersalahkan menggunakan dana non-bujeter sebesar satu persen 
dari dana dekonsentrasi di 33 provinsi dan swasta dan bernilai total jeneral 
Rp34,7 miliar. Uniknya, dana non-bujeter banyak disumbangkan untuk pembangunan 
rumah ibadah seperti masjid, pura, gereja, lapangan badminton, termasuk bantuan 
untuk organisasi seperti HMI, ICMI, Muhamamdiyah, NU dan lainnya. Juga mengalir 
ke beberapa petinggi negara. Ada sekitar 1.300 penerima dana itu dari berbagai 
lapisan, kalangan, dan latar belakang. Dana itupun dikeluarkan untuk DPR bagi 
keperluan RUU dan legislasi menyangkut kelautan dan perikanan.  

      Benarkah? Nampaknya peradilan akan membuktikannya. Namun, di antaranya 
dipakai Rokhmin sekitar Rp356 juta untuk biaya pengukuhan dirinya sebagai guru 
besar tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di IPB Bogor pada Januari 2003 
silam. Bahkan, juga menyumbang tim sukses sejumlah kandidat Presiden RI 
menjelang Pemulu 2004, masing-masing senilai Rp200 juta. Semua pengeluaran itu 
berjumlah Rp15 miliar.

      Sebetulnya, Presiden BJ Habibie telah mengeluarkan Inpres No 9/1999 yang 
mewajibkan semua menteri melaporkan setiap rekening yang ada di departemennya 
dan tidak tercatat dalam APBN. Syahdan, rekening non-bujeter itu diputuskan 
pada Februari 2002 lalu di departemen yang dipimpin Rokhmin. Dana itu dibukukan 
Bendahara Kas Biro Keuangan departemen itu. Kordinatornya adalah Sekjen 
Departemen Kelautan dan Perikanan, Andi H Taryoto, yang ikut menjadi tersangka 
dalam kasus ini. Masih ada lagi dana non-bujeter lainnya yang berasal dari 
komisi pengusaha yang menjadi rekanan pengadaan barang, serta pengusaha di 
bidang perkapalan dan perikanan. Jumlahnya mencapai Rp19,7 miliar.

      Kasus Rokhmin mirip kasus mantan Menteri Agama Said Agil Almunawar yang 
menggunakannya untuk kepentingan publik. Bukan kebetulan pula jika Rokhmin dan 
Said Agil adalah menteri di era Presiden Megawati sehingga isu "tebang pilih" 
dalam penegakan hukum pun bertiup. Tak pelak kasus ini menjadi sangat heavy 
politics daripada law erfoncement. Orang pun teringat kepada mantan Kepala 
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Theo Toemeon yang juga mantan menteri PDIP di 
era Mega juga telah diadili dalam kasus korupsi. 

      Banyak kader PDIP yang menjadi Kepala Daerah dan anggota DPRD diadili 
karena terlibat korupsi, padahal kader partai lainnya juga melakukannya. 
Diskriminasi juga terjadi dalam kasus Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul 
Fatah yang juga kader PDIP. Ia tak hanya ditangkap, juga akan dicopot dari 
jabatannya. Berbeda dengan Gubernur Sulawesi tenggara Ali Mazi yang terlibat 
dalam kasus Hotel Hilton hingga sekarang belum ditahan. Ali Mazi adalah kader 
Partai Golkar.

      Wakil Presiden M Jusuf Kalla membantah isu itu. Kepada pers, Kalla 
mengaku bahwa Rokhmin adalah temannya. Sebaliknya, KPK punya wewenang untuk 
memeriksa dan menahan. "Pemerintah tidak bisa mencampuri cara mereka memeriksa. 
Sama sekali tidak ada maksud untuk membeda-bedakan, apalagi untuk pejabat di 
masa yang lalu. Karena saya ini juga kan bagian dari pemerintah yang lalu," 
kata Kalla. "Meskipun pak Rokhmin diperiksa dan ditahan, bukan berarti dia 
sekarang ini bersalah. Orang bersalah kalau pengadilan sudah menetapkan 
putusannya," tegas Kalla. 

      Toh jika boleh dibandingkan dengan keterangan Badan Pemeriksa Keuangan 
(BPK) tentang ratusan rekening departemen yang tidak tercatat di APBN dan 
mencapai Rp53 triliun, dana non-bujeter itu masih berlangsung hingga kini di 
semua departemen. Sudah pasti proses pengadaan dan penggunaan dana non-bujeter 
itu luput dari hak anggaran DPR, sehingga tidak transparan dan tidak akuntabel. 
Bukan mustahil pula menjadi "ladang" korupsi. Jika KPK menindak-lanjutinya, 
jangan-jangan, banyak sekali pejabat departemen yang bisa dijerat pasal korupsi.

      Kita pun teringat pada kasus non-bujeter senilai Rp40 miliar yang dulu 
melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung, meskipun terbukti bebas dalam putusan 
kasasi Mahkamah Agung. Saat itu adalah mantan Menteri Pertahanan MD Mahfud MD 
dan Menko Perekonomian Rizal Ramli yang mengungkapkan bahwa selain yang Rp40 
miliar tersebut, masih ada dana non-bujeter yang melibatkan 400 orang, baik 
berupa kelompok, organisasi atau oknum yang menikmatinya. Ternyata hanya Akbar, 
Rahardi Ramelan dan kontraktor penyaluran beras untuk rakyat miskin itu saja 
yang diadili.

      Jika Akbar telah menjadi korban dari kebijakan mantan presiden BJ 
Habibie, dalam hal ini Rokhmin menjadi korban siapa pula? Bukankah dana-dana 
itu sudah ada semenjak Orde Baru, baik semasa Presiden Soeharto, BJ Habibie, 
Gus Dur dan Megawati? Mengapa kasus itu tidak ditarik saja ke atas, secara 
vertikal? Termasuk secara horisontal. Jika hanya Rokhmin yang dibidik, maka 
kasus 1.300 orang penerima dana tersebut akan luput.

      Interplay antara politik dan hukum bukanlah sesuatu yang tabu. Political 
will yang menangkap suara hati nurani rakyat dan kemudian menjelma menjadi rasa 
keadilan masyarakat hendaklah terjabarkan dalam program penegakan hukum, 
khususnya pemberantasan korupsi. Namun tak berarti politik tampil lagi sebagai 
panglima yang mendominasi segala-galanya. Apalagi jika demi kepentingan politik 
tertentu akan membuat kepastian hukum menjadi fatamorgana belaka.

      Apa boleh buat, wajah "Dewi Keadilan" terus murung. Jika asas semua orang 
sama di mata hukum hanya teks yang hampa belaka, maka anak cucu akan mencatat 
bahwa penegakan hukum di Indonesia masih diskriminatif dan politis. Politik 
sebagai panglima ala Orde Baru dipertontonkan lagi?***

      Bersihar Lubis, tinggal di Depok. 


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke