http://www.suarapembaruan.com/News/2006/02/04/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Skenario Plato, Oedipus, dan Sisyphus Oleh Imam Cahyono TRANSISI demokrasi tak selamanya berjalan mulus seindah mimpi. Janji perubahan yang menggiurkan, kenyataannya seringkali jauh dari harapan. Di negara-negara berkembang, buaian masa peralihan justru menuai kekecewaan. Periode transisi, konsolidasi, dan demokratisasi ternyata bisa stagnan dan berjalan mundur ke belakang. Reformasi demokrasi bisa layu sebelum berkembang dan bahkan, dapat menemui ajal. Lise Garon dalam studinya Dangerous Alliances: Civil Society, The Media & Democratic Transition in North Africa (Zed Books: 2003) mengungkapkan, transisi demokrasi dapat terperangkap dalam skenario persekutuan mematikan (fatal alliance) yang tidak hanya menyebabkan rumitnya jalan transisi, tapi juga dapat menggagalkan konsolidasi demokrasi. Tiga skenario evolusi politik pada pengujung abad ke-20 di negeri maghribi, yakni Tunisia, Aljazair, dan Maroko memiliki persamaan, terjadinya persekongkolan antara aktor sipil, pemerintah (state) dan militer untuk melanggengkan pengaruh kekuasaan. Pemerintahan dikontrol oleh rezim tiran, Bourghiba di Tunisia, Raja Hassan di Maroko, dan Aljazair oleh partai tunggal FLN (Front de Liberation Nationale). Demokrasi dijadikan legitimasi sekaligus topeng penguasa otoriter. Masa peralihan membuka peluang besar terjadinya persekongkolan sipil-militer dalam tubuh pemerintahan. Kepemimpinan sipil yang lemah memanfaatkan militer untuk memperkuat dukungan. Apa yang terjadi di Tunisia serupa dengan kisah Plato, Maroko mirip dengan filosofi Sisyphus, dan Aljazair senada dengan legenda Oedipus. Konspirasi Elite Sipil dan Pemerintah Kendati tidak sama persis, tiga skenario itu ternyata pas dan cocok untuk memotret perkembangan transisi demokrasi di Indonesia. Skenario politik pertama terjadi seperti yang dilukiskan oleh Plato, bapak filsafat Barat dan Arab. Plato membandingkan forum publik dengan dinding sebuah goa yang gelap (Plato's cave) sebagai proyeksi atas realitas. Pertunjukan yang dipentaskan aktor-aktor politik tidak memiliki tujuan berarti (unmeaninglessness) melainkan hanya bayang-bayang kenyataan belaka. Secara intensif berbagai akrobat politik dipertontonkan, tapi secara substansi menyangkal dan mengingkari realitas. Skenario semacam ini terus digelar dan dipentaskan dalam panggung publik negeri ini. Secara prosedural, demokrasi yang digelar telah mencapai prestasi memuaskan. Namun, secara substantif, demokrasi kita masih sebatas slogan. Pemilu untuk memilih pemimpin secara langsung telah berjalan sukses dan lancar, namun para pemimpin yang terpilih masih jauh dari harapan. Pertunjukan politik yang dipentaskan para elite (pemerintah) dan wakil rakyat (DPR/D) seringkali justru mengingkari keberadaan rakyat. Atas nama rakyat, pemerintah maupun wakil rakyat membuat berbagai kebijakan yang tidak peka dan justru menyakiti hati rakyat. Mereka mengklaim mewakili aspirasi rakyat tapi sejatinya lebih memperjuangkan kepentingan pribadi. Dalam persidangan, wakil rakyat justru tidur, sibuk berebut jabatan dan lahan basah, serta berlomba-lomba menaikkan tunjangan merupakan tontonan politik yang dominan. Sementara rakyat terus menderita, dibiarkan sengsara. Ini sesungguhnya merupakan kebohongan dan pembohongan terhadap publik. DPR tidak lagi menjalankan peran check and balance terhadap pemerintah, tapi membuat kompromi politik yang saling menguntungkan posisi masing-masing. Mereka bersekongkol untuk melanggengkan kekuasaan meski harus mengorbankan rakyat. Rakyat pun hanya bisa melihat bayang-bayang demokrasi tanpa pernah menik- mati. Skenario kedua pararel dengan legenda Yunani, Oedipus yang secara brilian disusun kembali oleh Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud. Oedipus adalah representasi mitos seseorang yang berhasrat untuk membebaskan diri dari ikatan pertalian masa kanak-kanak dengan berusaha keluar, mengusir, dan meruntuhkan posisi dominan ayahnya. Setelah berhasil, dia justru meminta perlindungan sang Ibu, Jacosta. Sejak runtuhnya belenggu otoritarianisme Soeharto, pengaruh militer terus-menerus terkikis. Tentara dikandangkan ke barak, peran politiknya dibatasi. Ini tentu prestasi menggembirakan, berbeda dengan masa transisi demokrasi di negara-negara Amerika Latin yang umumnya masih didominasi dan dikontrol militer (O'Donnell, Schmitter and Whitehead, Transition from Authoritarian rule, Johns Hopkins University Press, 1991). Lantaran trauma terhadap militer, pemimpin berbaju sipil menjadi harapan alternatif. Celakanya, elite sipil yang berperan dominan dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono disetir dan didominasi kalangan pengusaha. Kepemimpinan Yudhoyono yang lemah, mau tidak mau harus berkompromi, bersekongkol dengan para pengusaha. Tanpa segan, rakyat pun dikorbankan demi kepentingan mereka. Tak pelak, Indonesia memasuki babak baru, dalam cengkeraman kaum pedagang. Idealnya, pengusaha merupakan kelas menengah bagian dari civil society. Seperti di Thailand, kelas menengah semestinya otonom sehingga mampu melakukan bargaining power terhadap pemerintah. Parahnya, di Indonesia para pengusaha (yang juga pejabat) seperti memiliki privilege, dwi-fungsi kepemimpinan ganda sebagai pemerintah sekaligus pengusaha. Padahal, bisnis adalah urusan pribadi sementara pemerintah mestinya mengurusi publik. Sulit dibayangkan bagaimana seseorang memerintah yang berarti mengabdi untuk rakyat sembari berbisnis untuk mengeruk untung. Mengurus negara jalan, bisnis pun tak mau ketinggalan. Dan lagi-lagi, rakyat yang harus siap dijadikan tumbal? Skenario ketiga adalah legenda Sisyphus, pahlawan dari Yunani yang dihukum untuk memindahkan batu yang berat ke puncak sebuah bukit dengan cara menggelindingkannya. Sisyphus selalu berhenti untuk istirahat tiap setengah perjalanan. Dari sini, batu itu jatuh lagi ke bawah sehingga ia harus mulai bekerja lagi, menggelindingkannya lagi dari awal. Bangsa ini menghadapi ujian dan kesengsaraan akibat cengkeraman militer dan rezim otoriter. Indonesia harus berjuang sekuat tenaga untuk mengakhiri belenggu otoritarianisme tanpa mencegah batu kebebasan jatuh kembali ke dalam jurang. Lepas dari sangkar besi militer, bangsa ini masuk dalam genggaman pengusaha. Setelah susah payah menggulingkan otoritarianisme Soeharto, bangsa ini jatuh dalam kekuasaan kaum pedagang. Sejujurnya, kita kembali ke titik nol. "Civil Society" Tiga skenario ini -hemat penulis- sejatinya merupakan skenario buruk yang sedang kita hadapi dan kita jalani. Sementara, skenario baru yang lebih menjanjikan belum juga muncul. Tidak hanya militer yang harus diwaspadai, mengontrol kepemimpinan sipil juga tak kalah penting. Dalam banyak kasus, para pemimpin berbaju sipil pun dapat menghadirkan tirani, otoritarianisme dan fasisme yang menindas. Maka, pilar-pilar civil society harus ditegakkan. Cita-cita menuju masyarakat madani yang mandiri dan otonom harus terus ditumbuhkan. Aktor-aktor diluar negara seperti kaum intelektual, akademisi, ormas, LSM dan pers harus terus mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Tanpa itu, transisi menuju demokrasi tak lebih dari sekadar ilusi, manis di bibir tapi pahit sekali di hati. Ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke kandang buaya. Lolos dari belenggu militer, kita masuk dalam cengkeraman pengusaha. Ya, sama saja ...! * Penulis adalah Koordinator Riset Al Maun Institute, Jakarta. Last modified: 4/2/06 [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/