Refleksi: Mungkinkah negeri berkesusahan silih berganti efektif memberatas 
bencana korupsi  kalau  Mahkamah Agungnya dikuasai oleh tukang copet bin 
koruptor? Insyaalloh!?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=107928


Soal Audit Biaya Perkara
Jimly Komentari Perselisihan MA-BPK


Jakarta, 20 September 2007 01:20
Perselisihan antara Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal 
audit biaya perkara berpeluang untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/9), mengatakan, 
laporan BPK kepada MA tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana karena 
tindak pidana bersifat individual.

"Ini persoalan antar lembaga. Forum yang bisa mengadili antar lembaga itu tidak 
ada. Yang bisa mengadili lembaga hanya di sini (MK-red)," ujarnya.

Menurut dia, MA dan BPK bisa saja menyelesaikan beda persepsi mereka soal audit 
biaya perkara melalui mekanisme Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).

Jimly mengatakan, UU MK memang mengatur bahwa MA termasuk lembaga negara yang 
tidak boleh bersengketa kewenangan di MK.

Namun, MK telah menafsirkan ketentuan itu dalam Peraturan MK, bahwa yang tidak 
boleh disengketakan adalah mengenai putusan MA.

"Jadi, kalau soal lain seperti biaya perkara, cara mengelola keuangan, itu 
tidak menyangkut putusan MA," ujarnya.

Jimly menambahkan, di luar cara mekanisme formal seperti bersengketa kewenangan 
di MK, BPK, dan MA, sebaiknya juga mencari cara untuk menyelesaikan masalah.

MK, lanjut dia, bersedia untuk memfasilitasi pertemuan antara MA dan BPK guna 
menyelesaikan masalah audit biaya perkara.

"Nanti pemerintah mungkin perlu juga hadir, karena ini menyangkut pengelolaan 
keuangan," ujarnya.

Jimly mengatakan, pada dasarnya ia memahami bahwa MA dan BPK memiliki cara 
pandang berbeda dan sendiri-sendiri soal biaya perkara yang ditarik dari pihak 
ketiga.

Jimly berpendapat, biaya perkara itu memang belum merupakan uang negara karena 
sifatnya dititipkan oleh pihak yang berperkara sebelum perkaranya diputus.

Uang itu pun, jika berlebih, akan dikembalikan kepada pihak berperkara.

Jimly mengatakan, penarikan biaya perkara adalah praktik yang lumrah terjadi di 
setiap negara. Dan MA, menurut dia, memiliki dasar hukum untuk menarik biaya 
perkara itu sesuai dengan hukum acara perdata.

Jimly berpendapat, perlu penyelesaian segera antara MA dan BPK yang sudah satu 
tahun berseteru tentang audit biaya perkara.

"Yang jelas, kalau begini caranya, rakyat bingung melihat pimpinan lembaga 
negara yang terus bertengkar," ujarnya. [EL, Ant] 

++++
http://www.gatra.com/artikel.php?id=107924


Tolak Audit Uang Perkara
BPK Minta Fatwa MK Terkait Bagir

Jakarta, 20 September 2007 01:02
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution mengatakan, pihaknya 
segera meminta fatwa Mahkamah Konstitusi terkait pelaporan Ketua BPK kepada 
Mabes Polri tentang Ketua MA yang menolak audit uang perkara.

"Tahap kedua yang akan kita laporkan adalah melaporkan masalah ini ke MK. Yang 
kita ajukan ke MK terkait ini adalah wewenang BPK dalam mengaudit MA. Bagaimana 
fatwa mereka itu, apakah ada instansi di negara ini yang kebal terhadap 
pemeriksaan," kata Anwar di Jakarta, Rabu (19/9).

Menurut Anwar, langkah tersebut dilakukan BPK sesuai dengan ketentuan yang ada, 
seandainya memang terjadi perbedaan pendapat antar lembaga.

"Kalau ada perbedaan pendapat antar lembaga, nah ini porsi dari Pak Jimly 
(Ketua MK Jimly Asshiddiqie --Red)," kata Anwar.

Dia mengatakan, langkah pelaporan ke Mabes Polri yang dilakukan pada 13 
September 2007 lalu itu menggunakan dasar UUD 45 pasal 23, UU 20/1997 tentang 
PNBP, UU 15/2006 tentang BPK dan UU 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan 
tanggung jawab keuangan negara terutama pasal 24 ayat 2.

"Dalam pasal 24 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja 
mencegah, menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana 
dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 
bulan dan/atau denda paling lama Rp500 juta," katanya.

Menurutnya, selama ini MA memberlakukan uang perkara berdasarkan peraturan 
mereka sendiri, dan menggunakannya tanpa izin Depkeu serta tanpa dilaporkan ke 
DPR sebagai pemegang hak bujet.

"Jadi selain dana resmi yg didapatkan MA, ada juga dari sumber PNBP-PNBP yang 
tidak diketahui oleh orang. itu yg menjadi masalah," katanya.

Dia mencontohkan, biaya perkara Peninjauan Kembali (PK) Perdata Umum, Agama, 
dan Tata Usaha Negara (TUN) yang bernilai Rp2,5 juta per perkara. Lantas biaya 
perkara kasasi Perdata Umum, Agama, dan TUN, sebesar Rp 500.000, biaya perkara 
PK Perdata Niaga sebesar Rp10 juta, biaya kasasi perdata niaga sebesar Rp5 juta.

"Masalah ini sudah lebih dari setahun dan sudah kita berikan cukup waktu. 
Taktik yang mereka gunakan selalu mengulur-ulur waktu, mencari kesepakatan. 
Padahal susah mencari kesepakatan karena BPK bukan pengambil keputusan. Mau 
diapakan uang itu adalah kewenangan DPR dan pemerintah yaitu Menkeu. Jadi kita 
melakukan upaya terakhir yaitu ke Kepolisian," jelasnya.

Anwar juga mengusulkan agar Menteri Keuangan mengeluarkan PP terkait penggunaan 
biaya perkara di MA agar terlabih dahulu masuk ke kas negara atau daerah, baru 
kemudian dikeluarkan kembali sesuai permintaan MA. [EL,

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke