Catatan A. Umar Said

(Tulisan ini juga disajkan dalam website
 http://perso.club-internet.fr/kontak )

                KASUS SPANDUK   IDUL FITRI

                BERGAMBAR PALU ARIT



Sesudah lebaran Idul Fitri dan dalam rangka Peringatan 40 Tahun Peristiwa
Tragedi Nasional 65, kiranya adalah menarik bagi kita sekalian untuk
menyimak dan kemudian merenungkan dalam-dalam isi berita yang disiarkan
Tempo Interaktif 7 November 2005 tentang spanduk Hari Raya yang bergambar
palu arit di Solo.  Berita tersebut, yang berjudul « Selamat Idul Fitri dan
Palu Arit » adalah sebagai berikut :

« Kepolisian Resort Kota (Polresta) Solo menyita spanduk ucapan Hari Raya
Idul Fitri bergambar lambang palu arit yang selama ini dikenal menjadi
lambang PKI (Partai Komunis Indonesia), Senin (7/11). Spanduk ucapan Hari
Raya Idul Fitri dari eks Tapol PKI bergambar palu arit itu selama tiga hari
terakhir ini dipasang di atas sebuah ruko tepat di depan Pasar Pasar Kliwon,
Solo.



« Pemilik dan pemasang spanduk tersebut adalah Martono (70), warga Jalan
Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon, Solo. Ia mengaku memasang spanduk tersebut
sebagai bentuk rasa kebabagiaan dan solidaritas dari eks tapol PKI dengan
datangnya Hari Raya Idul Fitri. "Saya memang eks tapol PKI, apa salahnya
memberikan ucapan selamat dan ikut merayakan Idul Fitri. Apa eks tapol tidak
boleh memberikan ucapan selamat idul fitri seperti yang lainnya?" katanya.



« Menurut Kapolresta Solo, AKBP Oneng Subroto, penyitaan terhadap spanduk
tersebut dikarenakan adanya pelanggaran terhadap Tap MPRS no XXV/1966.
"Sesuai Tap MPRS tersebut, PKI dilarang di negeri ini. Polisi melakukan
tindakan ini untuk menegakkan aturan hukum negara,"katanya.



« Sementara itu, meski spanduknya disita, Martono tidak ditahan dan hanya
diberi pengarahan oleh petugas. Namun jika mengulangi kembali perbuatannya,
petugas akan mengambil tindakan lebih tegas lagi. Martono pun siap dengan
konsekwensi atas tindakannya tersebut. Hanya saja ia menyesalkan penilaian
orang terhadap keberadaan para eks tapol.



« Menurut Martono, spanduk dengan gambar palu arit dan bertuliskan eks tapol
tersebut, bukan berarti ingin membanggakan keberadaan PKI atau tapol. "Saya
senang dicap sebagai eks Tapol dan ditahan sekitar lima tahun dan disiksa,
tetapi saya masih tetap hidup. Hal inilah yang memotivasi saya untuk
memasang spanduk dengan tulisan eks Tapol. Saya ingin hidup seperti
masyarakat pada umumnya. Ini bukan sebagai bentuk kebanggaan saya sebagai
eks Tapol, tetapi sebagai peringatan bagi anak cucu bahwa ada kekejaman pada
masa lalu,"katanya.



« Spanduk berwarna hijau muda tersebut dipasang di atas rumah toko (Ruko)
milik Martono yang berada di pojok utara Pasar Pasar Kliwon. Gambar palu
arit terlihat cukup mencolok di pinggir tulisan kanan dan kiri. Sedang di
tengah tertulis "Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin wal Faizin" »
Demikian berita Tempo Interaktif  tersebut.

Setelah membaca berita tersebut, jelaslah bahwa setiap orang bisa mempunyai
pendapat yang berbeda-beda, dan memandang persoalannya dari berbagai segi
pula.  Apa yang diuraikan berikut di bawah ini adalah salah satu pandangan
di antara berbagai pandangan tersebut.



PERISTIWA YANG SARAT DENGAN SIMBUL DAN MAKNA

Kasus Martono, seorang eks-tapol PKI yang memasang spanduk bergambar palu
arit untuk meng-ekspresikan rasa gembiranya kepada sesama orang Muslim pada
hari raya Idul Fitri, dan kemudian ditindak oleh kepolisian, merupakan
kejadian yang patut mendapat perhatian dari semua orang yang memiliki
kepedulian terhadap rasa kemanusiaan dan peradaban.  Sebab, kasus Martono
ini bisa dilihat sebagai suatu manifestasi perlawanan atau protes terhadap
ketidakberesan, ketidakadilan, dan « keanehan » yang banyak terjadi di
negeri kita sejak berkuasanya Orde Baru.

Peristiwa ini juga melambangkan  keberanian seorang manusia,  seorang
warganegara Republik Indonesia,  untuk menuntut haknya sebagai pemeluk agama
Islam supaya diperlakukan sebagai orang Muslim lainnya, walaupun ia bekas
tapol PKI. Apa yang dilakukannya ini bisa diartikan bahwa perbuatannya
secara perseorangan itu sebenarnya juga mewakili perasaan atau fikiran
banyak sekali bekas anggota PKI atau para eks-tapol (dan orang-orang yang
bernalar sehat lainnya), baik di Indonesia atau pun di luar negeri.

Karena itu, kejadian ini pantas sekali jadi peringatan atau seruan  bagi
pimpinan gologan Islam, bagi Majlis Ulama Indonesia, bagi tokoh-tokoh NU dan
Muhammadiah (dan organisasi-organisasi Islam lainnya), bahwa pemeluk-pemeluk
agama Islam yang banyak terdapat di kalangan bekas anggota PKI dan para
eks-tapol (yang belum tentu bekas anggota PKI) perlu  dan berhak (!!!)
mendapat perlakuan yang berdasarkan keadilan, kebenaran, dan juga menurut
ajaran-ajaran agama yang sebenarnya.



MUSLIM DAN MUSLIMAT DI KALANGAN TAPOL

Kalimat-kalimat yang diucapkan Martono pantaslah kiranya jadi renungan yang
dalam bagi kita semua.  Antara lain  ia mengaku memasang spanduk tersebut
sebagai bentuk rasa kebabagiaan dan solidaritas dari eks tapol PKI dengan
datangnya Hari Raya Idul Fitri. "Saya memang eks tapol PKI, apa salahnya
memberikan ucapan selamat dan ikut merayakan Idul Fitri. Apa eks tapol tidak
boleh memberikan ucapan selamat idul fitri seperti yang lainnya?" katanya

Kalimat Martono lainnya yang patut menjadi renungan kita bersama, karena
isinya yang dalam dan juga mengandung pesan  yang penting adalah yang
berbunyi :  « Saya senang dicap sebagai eks Tapol dan ditahan sekitar lima
tahun dan disiksa, tetapi saya masih tetap hidup. Hal inilah yang memotivasi
saya untuk memasang spanduk dengan tulisan eks Tapol. Saya ingin hidup
seperti masyarakat pada umumnya. Ini bukan sebagai bentuk kebanggaan saya
sebagai eks Tapol, tetapi sebagai peringatan bagi anak cucu bahwa ada
kekejaman pada masa lalu,"katanya

Kasus Martono menggugah fikiran kita semua akan adanya kenyataan bahwa di
antara banyak anggota PKI, atau di antara  para eks-tapol, atau di antara
para korban pembantaian dalam tahun 1965, yang jumlahnya jutaan itu (bahkan
puluhan juta) terdapat  juga banyak pemeluk Islam atau Muslimin dan
Muslimat. Sebenarnya, kenyataan itu masih bisa disaksikan oleh siapa pun,
sampai sekarang, di kalangan yang tadinya menjadi pendukung PKI dan para
eks-tapol beserta keluarga mereka. Siapa saja yang banyak bergaul dan
mengenal mereka itu secara baik-baik atau dari dekat , akan melihat dengan
mata kepala sendiri betapa banyaknya pemeluk agama Islam di kalangan mereka.

Sebagian besar di antara mereka ini, selama puluhan tahun Orde Baru, telah
menanggung penderitaaan yang bermacam-macam bentuknya  - dan berbeda-beda
kadarnya -  dari masyarakat dan pemerintah.  Golongan militer Suharto dkk.
yang anti-komunis, anti-Bung Karno dan pro-imperialis AS telah melakukan
genosida yang paling kejam, bengis, dan biadab (!!!) terhadap jutaan orang
kiri pendukung politik Bung Karno. Yang perlu dicatat, dan dengan huruf
tebal-tebal pula, ialah bahwa yang  menjadi korban genosida atau holokaus
yang paling besar dalam sejarah bangsa Indonesia ini termasuk juga  banyak
orang-orang Muslim dan Muslimat. Adalah sangat disayangkan bahwa sebagian
dari golongan Islam sendiri pernah telah berhasil ditipu, dihasut,
dimanipulasi  dan “dibujuk” oleh pimpinan TNI-AD (waktu itu) untuk memusuhi
PKI dan Bung Karno. Mereka telah senang, atau menyetujui, atau diam seribu
bahasa saja, terhadap pembunuhan secara besar-besaran dan pemenjaraan
ratusan ribu orang tidak bersalah, dalam jangka waktu yang lama sekali pula.



SPANDUK DENGAN TANDA PALU ARIT DILARANG

Karena hebatnya kampanye anti-komunis  yang dilakukan secara intensif sekali
selama lebih dari 30 tahun oleh rejim militer Orde Baru ( dengan mendapat
dukungan dari sebagian golongan Islam yang bisa dirangkul oleh pimpinan
TNI-AD) maka masyarakat luas di Indonesia berhasil dicekoki racun “bahaya
laten PKI”, “ PKI adalah anti-agama”, “PKI anti-Pancasila”. Akibat racun
yang telah dipaksakan secara besar-besaran – dan dengan berbagai cara atau
jalan – maka dampaknya sangat luas dan dalam sekali. Sebagai akibat  racun
propaganda dan indoktrinasi ini, banyak orang menganggap atau mengira bahwa
anggota atau simpatisan PKI (dan para eks-tapol pada umumnya) adalah :
orang-orang  jahat yang anti-agama,  pembunuh, perusuh, orang-orang yang
bejat moralnya, perusak tatanan sosial, pengganggu ketenteraman masyarakat
dan keamanan negara.

Martono, sebagai eks-tapol PKI dan juga seorang Muslim telah dilarang untuk
menyatakan kegembiraannya pada waktu Lebaran dan menyampaikan Selamat Idul
Fitri kepada sesama pemeluk agamanya, dengan alasan bahwa dalam spanduk yang
dipasangnya terdapat gambar palu arit. Polisi telah mengambil tindakan
terhadapnya atas dasar bahwa menurut ketetapan MPRS no 25/1966 PKI
dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Oleh karenanya, walaupun di atas
spanduk yang dibuat Martono tidak tercantum nama PKI dan hanya ada tanda
gambar palu arit, maka spanduk disita oleh polisi dan Martono ditindak.

Tindakan polisi yang demikian ini,  sekali lagi -  dan untuk kesekian ribu
kalinya ! -, menunjukkan bahwa ketetapan MPRS no 25/1966 yang telah
dikeluarkan 40 tahun yang lalu itu (!!!, tanda seru tiga kali) masih
terus-menerus dijadikan alat untuk merampas kebebasan banyak orang. Selama
puluhan tahun, rejim militer Orde Barunya Suharto dkk telah menjadikan
TAP¨MPRS No 25/1966 sebagai alat terror yang ampuh sekali terhadap golongan
kiri anggota dan simpatisan PKI,  terhadap semua orang yang berani menentang
Orde Baru. dan terhadap para pendukung politik Presiden Sukarno.



TAP MPRS no 25/1966 PRODUK PERANG DINGIN

TAP MPRS no 25/1966 ini telah dipaksakan oleh golongan militer (terutama
pimpinan TNI-AD waktu itu) untuk menjadi ketetapan “majlis permusyawaratan
rakyat” palsu  atau gadungan, yang sudah dikebiri, atau dipreteli, dengan
menangkapi atau membunuhi anggota-anggotanya yang mewakili PKI dan
ormas-ormasnya. TAP MPRS ini telah dipakai oleh pimpinan militer waktu itu
bukan hanya untuk melumpuhkan secara mutlak kekuatan PKI saja, tetapi
melalui kelumpuhan PKI ini kemudian mereka terus meningkatkan
operasi-operasi mereka untuk  membidik sasaran utama  mereka, yaitu :
menggulingkan Presiden Sukarno.

Jadi, dari fakta-fakta sejarah dapat kita lihat bahwa TAP MPRS 25/1966
adalah,  pada dasarnya, pencerminan atau manifestasi dari bersatunya
kepentingan kaum reaksioner dalamnegeri (antara lain : pimpinan TNI-AD, yang
disokong oleh unsur-unsur anti-PKI dan anti-Bung Karno, termasuk sebagian
golongan Islam) dengan kepentingan kekuatan imperialis di luarnegeri
(terutama AS, Inggris, Belanda waktu itu). Kalau dilihat dari sudut politik
internasional waktu itu, maka bisa dikatakan juga bahwa TAP MPRS no 25/1966
tidak terlepas dari situasi Perang Dingin. Dan, nyatalah dengan jelas,
bahwa dalam suasana Perang Dingin waktu itu  TAP MPRS 25/1966 berada di kubu
imperialis.

Sekarang ini, situasi internasional sudah banyak berobah dibandingkan dengan
situasi tahun 1960-an. Perang Dingin (dalam bentuknya yang lama) sudah
selesai, Soviet Uni sudah bubar, blok Soviet juga sudah tidak ada lagi, dan
Tiongkok komunis sudah menjalankan ekonomi kapitalis. Vietnampun sudah
tiru-tiru Tiongkok. Sekarang ini, di seluruh dunia, komunisme sudah bukan
merupakan “bahaya’ seperti dulu lagi. Dan gambar palu arit juga banyak
sekali terdapat di negara-negara di dunia, tetapi toh tidak menimbulkan
persoalan apa-apa. Sementara itu, perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk
perbaikan nasib dan kemajuan sosial  ekonomi dan melawan neo-imperialsime
dan neo-liberalisme (yang kekuatan utamanya ialah imperrialisme AS).
berlangsung terus dengan intensitas yang makin lama makin besar dan skala
yang lama makin luas.



SITUASI DUNIA SUDAH BANYAK BERUBAH

Di samping itu, sekarang ini imperialisme AS mendapat perlawanan dari makin
banyak penjuru dunia. Bukan hanya di Irak dan Palestina suara anti-AS
terdengar lantang, tetapi juga di Venezuelanya Hugo Chavez, Brasilia, dan
negara-negara Amerika Latin lainnya (terutama di Kuba, sejak lama).. Suara
berbagai rakyat dunia yang mengecam neo-liberalisme, Bank Dunia, IMF, WTO,
juga sudah dikumandangkan di World Social Forum di Porto Allegre (Brasilia),
di Bombay (India) dan dalam pertemuan-pertemuan besar skala internasional
lainnya (Seatle, Genoa, Firenze, Paris-St Denis, Afrika Selatan dll dll).

Situasi di dunia sudah banyak berubah, dan akan berubah terus! Tetapi, di
Indonesia, Martono eks-tapol PKI  telah ditindak oleh kepolisian Solo hanya
karena menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri, sebagai orang Muslim
kepada sesamanya pemeluk agama Islam,  dengan spanduk yang bertanda gambar
palu arit (!). Ia ditindak karena dianggap telah melanggar TAP MPRS no
25/1966, yang nota bene adalah produk busuk masa Perang Dingin yang sejak 40
tahun telah dipakai oleh golongan militer (dan para pendukungnya) untuk
mencekik kebebasan dan menterror banyak orang.

Jadi, jelaslah kiranya sudah,  bahwa TAP MPRS no 25/1966 sama sekali
bukanlah suatu hal yang mendatangkan kebaikan bagi  bangsa. Apakah kedunguan
yang begini besar ini akan diikuti atau dipakai terus-menerus? Dan, sampai
kapan ?

 Paris, 14 November 2005









--
No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.1.362 / Virus Database: 267.13.0/167 - Release Date: 11/11/2005


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke