REPUBLIKA
Selasa, 30 Mei 2006

Tragedi Pancasila 

Oleh : Ahmad Syafii Maarif 


Salah satu prinsip moral yang dapat diambil dari al-Muqaddimah Ibn Khaldun 
(1332-1406) adalah bahwa seorang peneliti atau pengamat tidak boleh 
membesar-besarkan tokoh yang disukainya atau sebaliknya mengecilkan tokoh yang 
tidak disukai. 

Dalam kaitannya dengan Pancasila pernah dikemukakan pendapat bahwa penggali 
Pancasila bukan Bung Karno, tetapi Yamin. Ini berdasarkan buku Yamin yang 
mengatakan bahwa Lima Prinsip Dasar itu telah dikemukakannya sebelum 1 Juni 
1945 mendahului Bung Karno yang menyampaikan pidatonya tentang Pancasila pada 1 
Juni 1945 di depan BUPKI, sebuah pidato tanpa teks yang kemudian diberi nama 
Lahirnya Pancasila.

Hasil penelitian saya menemukan bahwa adalah sebuah kebohongan historis bila 
ada pendapat yang mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang pertama kali 
mengemukakan Lima Dasar itu, tetapi orang lain. Memang, Bung Karno tidak 
menempatkan Sila Ketuhanan sebagai yang teratas, tetapi sebagai prinsip 
pengunci. Pancasila yang ada sekarang adalah hasil rumusan 22 Juni 1945 yang 
dikenal dengan Piagam Jakarta minus tujuh kata yang semula mengiringi Sila 
Ketuhanan, dalam format ''dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi 
pemeluk-pemeluknya.'' Tujuh kata ini kemudian diganti dengan atribut Yang Maha 
Esa, yang kabarnya diusulkan Ki Bagus Hadikusomo, tokoh puncak Muhammadiyah 
ketika itu.

Resonansi kali ini tidak ingin berpanjang-panjang berbicara tentang proses 
historis Pancasila ini, sebab seluruh UUD yang pernah dikenal dalam sejarah 
Indonesia sebelum dan pasca-Proklamasi, tidak ada yang tidak menempatkan 
Pancasila pada posisi teratas. Tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa 
Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang dahsyat itu telah mengalami tragedi 
demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi justru dalam laku, sebagaimana yang 
sering saya kemukakan di berbagai forum. Dalam ungkapan lain, jika kita 
memperkatakan Pancasila, implementasi nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya 
menjadi titik perhatian utama, bukan memperdebatkannya secara teoretikal.

Bagi saya semua nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas, tidak 
perlu orang terlalu berbelit-belit menyikapinya. Sila pertama, ''Ketuhanan Yang 
Maha Esa,'' jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus 
dan otentik. Sila kedua, ''Kemanusiaan yang adil dan beradab,'' tidak bisa 
ditafsirkan selain bahwa bangsa ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban 
dalam berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam 
politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penyimpangan dari perilaku adil dan 
beradab adalah pengkhianatan terhadap sila ini. 

Dan inilah yang sering berlaku selama hampir 61 tahun kita merdeka. 
Pengkhianatan ini tidak semata-mata dalam bentuk upaya sementara orang yang 
ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain. Tetapi laku yang beringas, tindak 
kekerasan, pelanggaran HAM, menggarong harta bangsa, main hakim sendiri, 
merusak milik negara sekalipun itu dengan meneriakkan Allahu Akbar, semuanya 
adalah perbuatan khianat dalam perspektif sila kedua.

Kemudian, sila ketiga berupa ''Persatuan Indonesia,'' bukan ''Kesatuan 
Indonesia,'' semestinya membimbing bangsa ini dalam kebhinnekaan (pluralisme) 
yang kaya dalam mosaik budaya yang beragam. Tetapi, yang terjadi selama sekian 
dasawarsa adalah politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistem 
sosial budaya lokal secara paksa melalui undang-undang. Ini adalah bentuk 
pengkhianatan konstitusional yang telah menimbulkan keresahan dan perlawanan 
diam-diam dari berbagai subkultur Indonesia yang kaya itu.

Sila keempat, ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam 
permusyawaratan/perwakilan'', tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus 
ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang betanggung jawab dan dengan 
lapang dada. Di luar cara-cara ini, sila kerakyatan yang memuat prinsip 
demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah 
menjadikan rakyat banyak sebagai kelinci percobaan politik yang amoral. 

Perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi tampaknya semakin jauh dari 
roh Pancasila dalam pengertiannya yang utuh dan padu. Ini adalah bentuk tragedi 
yang selalu saja ditimpakan orang pada Pancasila. Terakhir, sila kelima, 
''Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,'' telah menjadi yatim piatu sejak kita 
merdeka. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah dan DPR yang benar-benar 
dibimbing oleh sila ini. 

Rakyat dari masa ke masa tidak semakin merasakan keadilan, tetapi penindasan 
berencana via undang-undang, apakah undang-undang itu berupa darurat militer, 
undang-undang hubungan pusat dan daerah, undang-undang penanaman modal asing, 
dan lain-lain. Oleh sebab itu, matahari sudah condong ke barat bagi kita semua 
untuk berhenti menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang kosong dan 
menipu. Pancasila di bawah sinar wahyu harus menuntun seluruh laku kita dalam 
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekarang dan untuk selama-lamanya, 
jika Indonesia memang masih mau dipertahankan. 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke