Tulisan bagus yg ditulis oleh seorang jurnalis, hanya cocok dibaca oleh 
orang-orang yang baik hatinya. 

====

Sumber:
http://andreasharsono.blogspot.com/2010/02/ahmadiyah-rechtstaat-dan-hak-asasi_18\.html

Desa Gegerung, di daerah Ketapang, Pulau Lombok, adalah sebuah kampung etnik 
Sasak. Ia sebuah perkampungan padat dikelilingi sawah. Masjid Qurratul Ain 
terletak di perempatan jalan desa. Di sepanjang jalan ada beberapa tambang 
pasir. Di ujung desa, ada sederet rumah bekas terbakar, sebagian besar rusak, 
instalasi listrik mereka dicabut. Rumah-rumah itu terbengkalai walau sawah 
sekitarnya dipenuhi dengan padi menguning.

Gegerung adalah saksi penganiayaan umat Ahmadiyah di Indonesia. "Penganiayaan 
paling menonjol, yang paling keras di Indonesia, terjadi di Pulau Lombok," kata 
Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram.

Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan 
pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang 
meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. 
Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul 
Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah 
demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor. Ironisnya, pemerintah 
Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi 
keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua 
warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di 
Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, 
sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam 
setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, ada yang 
terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan 
BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota 
yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.

Syahidin, seorang Sasak asal Praya, yang diusir dari desa Sambi Elen, Bayan, 
ketika tahu ada perumahan di Gegerung, mengatakan, "Saya pikir, `Apa yang mau 
saya jual?' Saya ada tanah di Sambi Elen tapi orang-orang tak ada yang mau 
beli. Kebetulan ada rumah warisan kakek di Praya. Saya jual Rp14,5 juta. Ini 
untuk beli rumah BTN di Ketapang, total Rp17.5 juta. Akhirnya terbeli." 
Keluarga muda ini praktis tak punya apa-apa di Ketapang, sesudah lari dari 
Sambi Elen dan hidup mengungsi di Mataram. "Sholat sama isteri, gantian itu 
bajunya. Hanya ada satu sarung," kata Syahidin.

Zulkhair asal Pancor mengatakan dia juga beli rumah di Gegerung. "Saya bernaung 
di rumah milik paman. Mula-mula delapan rumah dibeli organisasi. Akhirnya, ada 
17 rumah yang dibangun oleh eks pengungsi Pancor, ada juga yang dari Bayan 
serta Praya."

Tahun 2005, mulai banyak warga Ahmadiyah tinggal di Ketapang. Kerja mereka tani 
dan dagang. Hubungan mereka baik dengan warga Ketapang. "Kita orang baru, mau 
bergaul dengan baik," kata Zulkhair.

Khairuddin asal Selong, Lombok Timur, mengatakan, "Kita juga ikut ngiket besi 
sebelum pengecoran untuk masjid Qurratul Ain. Kami juga keluarkan biaya untuk 
bangun masjid. Saat pengecoran, tiga hari, kita ikut sampai akhir. Sebagian 
besar kami –tukang, petani, pedagang—ikut bangun masjid."

Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, 
Ahmadiyah ditegaskan "... berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan ...." MUI 
minta pemerintah Indonesia "… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh 
Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya." 
Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar 
Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang 
menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi 
sesudah Nabi Muhammad, dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari 
Allah.

Fatwa MUI itu memicu penyerangan terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah 
di Parung, dekat Bogor; Manis Lor, Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan 
Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka 
punya jumlah cukup besar di beberapa desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan 
Garut.

Di Gegerung, Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, 
mengatakan, "Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar 
istilah Nabi Mirza."

Suatu petang, ada dua murid Zulkhair, bertanya, "Apa benar Pak Zul ini 
Ahmadiyah dan mengaku kenabian Mirza Guhlam Ahmad?"

"Saya benar orang Ahmadiyah. Masalah kenabian saya tidak jelaskan karena bukan 
kelas kita untuk menjelaskan itu," jawab Zulkhair.

Jawaban dari ujung desa itu cukup untuk mengguncang seluruh kampung Gegerung. 
"Kalau mereka punya agama lain, jangan libatkan nama Islam," kata H. Ahmad 
Chusairi, seorang petani dan imam masjid Qurratul Ain.

Pulau Lombok sebenarnya hanya punya beberapa ratus orang Ahmadiyah. Pengusiran 
dari Bayan, Selong, Praya dan Pancor membuat Ketapang menjadi satu-satunya desa 
dimana ada sejumlah warga Ahmadiyah. Kota Mataram, ibukota provinsi Nusa 
Tenggara Barat, juga ada orang Ahmadiyah namun mereka tinggal menyebar. Warga 
kota Mataram relatif lebih heterogen. Di Mataram ada banyak orang Hindu Bali 
maupun orang-orang Kristen Minahasa, Batak, Tionghoa dan lainnya. Pulau Lombok 
sebelah barat juga ada industri turisme, dengan Pantai Senggigi, hingga daerah 
ini relatif lebih terbuka daripada desa Sasak yang homogen macam Ketapang.

Di Ketapang, sesudah fatwa MUI, mulai muncul pengajian-pengajian kritis 
terhadap Ahmadiyah. Pertengahan Ramadhan, Oktober 2005, pengajian makin 
kencang. Menurut beberapa warga Ahmadiyah, dari loudspeaker masjid Qurratul Ain 
terdengar ceramah tuan guru Muhammad Izzi, seorang 
ulama-cum-politikus-cum-pengusaha pompa bensin dari Praya.

Lewat loudspeaker terdengar, "Usir orang Ahmadiyah BTN. Kalau masyarakat 
Ketapang tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat 
lain untuk mengusir mereka …. Darah Ahmadiyah itu halal!"

Khairuddin mengatakan ceramah itu membuat warga Gegerung berubah. Izzi tegas 
mengatakan, "Harus usir dari Ketapang. Kalau tidak sanggup, saya yang akan 
datangkan dari Praya," tiru Khairuddin.

Rabu malam 18 Oktober 2005. Warga Ahmadiyah sedang mengaji. Ada dua pemuda naik 
sepeda BMW menemui Zulkhair, `Pak Zul, katanya rumah-rumah sudah dihancurkan!'"

Sekitar pukul 21:00 ada pelemparan batu. "Lalu Imah Abidin datang menemui. Juga 
Ahmad Sofianti untuk tanya saya soal info dua anak itu," kata Zulkhair.

"Saya suruh KWh dipadamkan. Kami menghadapi mereka, melihat lemparan batu." 
Rumah Imah Abidin, Ahmad Sofianti dan Zulkhair termasuk paling dekat jalan, 
front terdepan penyerangan.

Agak mendalam, di rumah Syahidin, "Kami lagi tadarusan, tahu-tahu, `Ndang, 
ndang …' Batu di atas," kata Syahidin. "Saya lari, cari isteri saya. Dia lari 
ke tengah sawah, sembunyi di padi, gendong anak satu-satunya."

Isteri Komaruddin, Rochiyah, juga melarikan diri ke sawah. Rochiyah hamil 
besar. Dia jatuh di pematang sawah dalam kegelapan malam.

"Teman-teman lain saya minta melindungi ibu-ibu dan anak-anak. Kami tiga orang 
saja hadapi 50 orang. Mereka sempat saling melukai, salah sasaran," kata 
Zulkhair.

"Sekitar 20-30 menit, kami hadapi 50 orang, dilempari batu. Penyerangan 
berhenti ketika ada lampu mobil mendatangi perumahan. Mereka kira mobil polisi. 
Mereka (lari) menyebar. Ternyata tamu-tamu kami dari Sembalun, Lombok Timur. 
Sekitar 10-15 menit kemudian polisi datang."

"Anehnya, polisi tidak menangkap pelaku penyerangan itu?" kata Zulkhair.

Keesokan hari, perut Rochiyah sakit. Ternyata dia keguguran. Janinnya, bayi 
lelaki.

"Anak saya trauma dengan teriak-teriakan," kata Syahidin.

Sejak Oktober itu perumahan BTN Ahmadiyah di Gegerung dijaga polisi.

Namun intimidasi dan teror jalan terus. "Kita katanya akan diserang 
besar-besaran sesudah Lebaran. Seminggu terus tegang. Selalu ada isyu akan 
diserang. Tiap malam ada teriakan, `Jihad! Serang! Bunuh!'" kata Zulkhair.

"Lebaran jatuh Rabu. Kita diundang ikut sholat Ied di masjid Qurratul Ain. Ada 
11 orang ikut sholat di sana."

Sesudah Lebaran, ada lagi pengajian Muhammad Izzi. Dari loudspeaker, beberapa 
warga Ahmadiyah mendengar Izzi mengancam, "Kalau orang-orang Ketapang tidak 
berani usir orang-orang dari BTN, saya akan bawakan dari Praya." Izzi 
dilaporkan membuat deadline "tiga bulan" sesudah dia pulang dari ibadah haji.

Pada 31 Desember 2005, lebih ramai lagi. Tengah malam ada orang-orang melewati 
perumahan BTN. "Paman saya dengan isterinya menabrak tembok dengar mau 
diserang. Sampai benjol kepalanya," kata Zulkhair. Pendek kata, selama tiga 
bulan mereka tidak bisa tenang tidur malam.

Sabtu, 4 Februari 2006, akhirnya terjadi penyerangan besar sekitar pukul 11:00. 
Beberapa polisi sedang jaga, tidur-tiduran di rumah Zulkhair. Warga Ahmadiyah 
sedang gotong-royong, menimbun lubang-lubang bekas truk pasir di jalan desa. 
"Kami bergurau, `Kita ini membikin jalan mulus untuk orang mulus menyerang 
kita,'" kata Zulkhair.

Tiba-tiba datang rombongan besar. Ada lebih dari seribu orang datang menyerang. 
Mereka lempar batu. Mereka teriak-teriak, "Serbu! Bakar!" Para polisi lari 
tanpa sepatu ketika serangan datang.

Warga Ahmadiyah bertahan. Beberapa rumah yang dekat jalan dibakar, termasuk 
milik Imah Abidin. Truk-truk polisi datang untuk evakuasi. Namun warga 
Ahmadiyah menolak. Mereka kuatir sekali evakuasi, mereka akan terusir 
selamanya. Para lelaki bertahan dengan pentungan kayu. Kaca-kaca pecah. Maret 
lalu, dua tahun sesudah serbuan, saya masih melihat bekas penyerangan ini. 
Pintu didobrak atau jendela dipukul hingga hancur.

Pukul 13:30 serangan berhenti sebentar. Zulkhair sempat masuk rumah dan ambil 
Al Quran. "Saya anggap ilmu saya disana."

Polisi mendesak Ahmadiyah evakuasi. Polisi jamin rumah-rumah mereka dijaga. 
Tapi rumah-rumah dibakar dan polisi membiarkan. "Adoh, apa kerjanya polisi?" 
pikir Zulkhair.

Polisi lantas menaruh ibu-ibu dan anak-anak dekat truk.

"Saya minta tak usah ikut polisi," kata Zulkhair.

"Sudah beberapa kali kami dijarah, dibakar, diusir. Saya bawa tongkat untuk 
menepis tapi direbut polisi. Tapi orang-orang itu, bawa parang, tongkat, 
dibiarkan saja. Ini kan rumah saya? Kayu ini untuk jaga rumah saya. Polisi 
malah marah."

"Ada haji pakai kayu memimpin gerakan, dibiarkan oleh polisi."

"Pak itu kok dibiarkan?" tanya Zulkhair.

"Ndak, itu nonton," kata polisi.

Ada lebih dari 1.000 orang menyerang. Polisi tak mencegah. Polisi justru 
mencegah Zulkhair dan kawan-kawan membela diri, membela barang dan rumah 
mereka. "Rumah bikinan saya sendiri dibakar sampai ludes," kata Zulkhair.

Pukul 16:00, sesudah lima jam saling lempar, ibu-ibu dan anak-anak menangis. 
Mereka kelaparan. Orang-orang Ahmadiyah menyerah. Mereka naik dua truk polisi, 
dibawa ke gedung Transito di Mataram. Di sana mereka didata oleh Dinas Sosial. 
Mereka hanya bawa anak dan pakaian di badan. Anak-anak tidak bisa sekolah 
karena pakaian mereka dibakar habis.

Saya sempat keliling Gegerung namun tak ada satu pun mau terbuka bicara dengan 
saya. H. Ahmad Chusairi mengatakan pada saya bahwa dia tak tahu penyerangan 
itu. "Pas saya sedang sakit." Dia bilang para pelaku orang-orang dari luar 
Gegerung. "Yang luka orang dusun Buwuh, desa Gunung Sari. Namanya Ilah. Parah 
lukanya. Karena orang Buwuh melihat orangnya luka parah, maka dibakarlah rumah 
Ahmadiyah."

Saat penyerangan, Muhammad Izzi tidak terlihat. Saya menelepon Izzi, juga 
mendatangi Praya, namun dia menolak komentar. Seorang kenalan saya di Praya, 
Esti Wahyuni, satu wartawan yang tetua nikahnya dilakukan Izzi, mengatakan, 
"Abah Izzi orang baik." Esti tak tahu Izzi ceramah di Ketapang. Maskum, kepala 
desa Ketapang, mengatakan Muhammad Izzi tak persis bilang usir. "Dia bilang 
beri waktu tiga, empat bulan. Saya juga dengar begitu, tapi tidak bilang usir."

Maret lalu hanya ada rumah-rumah rusak ada di ujung desa. Warga Ahmadiyah 
mengirim surat kepada Gubernur Zainul Majdi. Mereka memberitahu hendak kembali 
ke tanah dan rumah mereka. Majdi melarang. Lewat telepon, Majdi bilang kepada 
saya sebaiknya orang-orang Ahmadiyah itu minta suaka ke Australia.

Pada 2008, Zainul Majdi, cucu KH Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nadhatul Wathan 
dari Pancor, Lombok Timur, menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara 
Barat. Majdi usul agar warga Ahmadiyah cari suaka dan pindah ke Australia.

II

Suatu sore saya pergi mengunjungi rumah tuan guru KH Muhammad Anwar di desa 
Duman, daerah Langsar, Lombok Barat. Tuan guru adalah sebutan untuk ulama 
Sasak. Anwar memimpin pesantren Darul Najah. Dia juga ketua Nahdlatul Ulama 
wilayah Nusa Tenggara Barat. Rumahnya terletak dalam area Darul Najah. Ada tiga 
set sofa di ruang tamu. Tembok warna hijau-biru tua. Ada buku Risalah Gerakan 
Ikhwanul Muslimin karya Hasan al Banna terletak di meja.

Anwar termasuk salah satu tuan guru yang dianggap bisa bicara dengan Ahmadiyah. 
Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram, beberapa kali datang ke Duman. 
Anwar juga pernah datang ke Transito, tempat pengungsi Ahmadiyah, di Mataram. 
Saya tanya bagaimana Anwar melihat pengusiran Ahmadiyah di Pulau Lombok.

Saat serangan Februari 2006, Anwar bilang dia sedang berada di Jakarta. "Banyak 
yang luka, cacat seumur hidup. Mereka hanya 140an orang melawan ribuan orang … 
ya habis. Saya lihat di TV. Mereka janji mengubah penampilan dan berbaur dengan 
masyarakat," kata Anwar.

Bagaimana melihat sikap pemerintah dan polisi? "Polisi kan juga menghitung. 
Bagaimana menghadapi suatu keributan? Lebih mudah mengevakuasi seratusan 
daripada menangkap ribuan."

Anwar berpendapat Ahmadiyah "tidak nyambung" dengan masyarakat Sasak. "Mereka 
eksklusif, sering memisahkan diri, terutama dalam ibadah sholat Jumat. Kenapa 
tidak mau bersama?"

Ini makin peka karena Ahmadiyah ternyata punya pengikut di Pancor, jantung 
basis Nahdlatul Wathan.

Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang didirikan oleh KH Zainuddin Abdul Majid 
atau "Tuan Guru Pancor" pada 1935. Salah satu cucunya, Zainul Majdi, 
menggantikan Majid menjadi ketua Nahdlatul Wathan pada 1997. Zainul Majdi 
seorang doktor ushuluddin dari Universitas Al Azhar, Kairo. Pada 2008, Zainul 
Majdi menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat dengan 
dukungan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang. Ibaratnya, 
Nadhatul Wathan kini sedang menikmati kebesaran pengaruh mereka. Kehadiran 
Ahmadiyah di Pancor ibarat duri dalam daging Nahdlatul Wathan.

Sejarah Ahmadiyah tak terlepas dari Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 1835 
dari sebuah keluarga elite di Qadian, Punjab, British India. Ketika kecil, dia 
belajar bahasa Arab dan Persia, serta mempelajari macam-macam keberatan 
theologi Kristen terhadap Islam. Dia mendirikan satu komunitas Muslim pada 
1889. Sepuluh tahun kemudian komunitas ini dinamai Jemaah Ahmadiyah. Dia juga 
dianggap sebagai Imam Mahdi.

Pada 1902-1903, Mirza Ghulam Ahmad terlibat perdebatan, lewat surat, dengan 
Pendeta John Alexander Dowie dari Zion, Illinois. Mulanya, Dowie mengatakan dia 
adalah pembuka jalan untuk kedatangan kedua Kristus. Dia menjadi seorang 
penyembuh spiritual. Kiprah Dowie banyak diberitakan suratkabar di Amerika 
Serikat, Australia, Kanada bahkan India. Ini menarik perhatian Ghulam Ahmad. 
Dia mendebat Dowie dari Qadian. Ahmad menuduh Dowie sebagai "nabi palsu." Makin 
hari debat makin sengit. Banyak suratkabar meliput debat mereka. Pada 1903, 
akhirnya, Ghulam Ahmad kesal, menantang Dowie "duel doa." Siapa yang mati 
duluan berarti kalah.

Waktu itu, Dowie berumur 56 tahun dan Ghulam Ahmad 68 tahun. Para pembaca 
perdebatan mereka menduga secara natural Ghulam Ahmad, yang lebih tua 12 tahun, 
akan mati duluan. Ternyata pada 1907, Dowie meninggal dunia lebih dulu. Ahmad 
meninggal pada 1908 dalam usia 72 tahun. Cerita ini sering dimasukkan dalam 
literatur Ahmadiyah.

Menurut Ghulam Ahmad, Ahmadiyah merupakan bagian dari Islam. Anggota Ahmadiyah 
mengamalkan kelima Rukun Islam: syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Ahmadiyah 
juga berkeinginan mendorong dialog antar iman dan berusaha memperbaiki 
kesalahpahaman mengenai Islam di dunia Barat. Mirza Ghulam Ahmad menulis lebih 
dari 80 buku serta mengedepankan pendekatan non-violence. Mereka banyak 
berkiprah di negara-negara Barat, termasuk menterjemahkan Al Quran ke berbagai 
bahasa Inggris dan sebagainya.

Pada 1925, Ahmadiyah mengutus mubaligh Rahmat Ali dari Qadian ke Hindia 
Belanda. Rahmat Ali seorang alumnus Universitas Punjab. Dia berangkat ke 
Sumatra atas undangan tiga mahasiswa Minangkabau, yang belajar di Lahore, 
British India. Rahmat Ali mulanya tiba di Tapaktuan, Aceh, lantas berangkat 
menuju Padang. Pada tahun 1926, Jemaah Ahmadiyah resmi berdiri sebagai 
organisasi di Padang, dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal Andries 
Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931). Rahmat Ali pun pindah ke Batavia, ibukota 
Hindia Belanda. Langkah ini membuat perkembangan Ahmadiyah makin cepat. Rahmat 
Ali banyak membaiat orang Sunda masuk Ahmadiyah. Ahmadiyah melewati masa-masa 
pemerintahan pemerintahan tiga gubernur jenderal lagi maupun zaman Jepang.

Sesudah Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Jemaah Ahmadiyah Indonesia 
diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953. Pada 1965-1966, ketika terjadi 
demonstrasi melawan kediktatoran Presiden Soekarno, satu mahasiswa kedokteran 
Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, ditembak tentara hingga mati dekat 
Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 Februari 1966. Dia seorang warga Ahmadiyah. 
Kini namanya sering jadi nama-nama jalan di Pulau Jawa. Ada yang bilang dia 
ditembak anggota Tjakrabirawa, ada yang bilang dia ditembak Garnisun di 
Lapangan Banteng.

Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika Jenderal Soeharto berkuasa. MUI 
mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980. Soeharto tak terlalu menggubris. 
Pada tahun 2000, sesudah kejatuhan Soeharto, Presiden Abdurahman Wahid 
menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad, cucu Mirza Ghulam Ahmad, di 
Jakarta. Mirza Tahir Ahmad juga bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais. Amien Rais 
menyatakan kekaguman terhadap pekerjaan Ahmadiyah di masyarakat Barat. Pada 
akhir 2000, Wahid diganti oleh Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi 
Indonesia Perjuangan. Bapaknya, Presiden Soekarno, tak melarang Ahmadiyah, 
Megawati juga tak melarang Ahmadiyah.

Keadaan berubah ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengalahkan Megawati dan menang 
pemilihan presiden pada 2004. Pengaruh MUI berkembang cepat bersama SBY. Tembok 
batas antara negara dan agama menjadi makin rendah. Pada Oktober 2005, MUI 
mengeluarkan fatwa pelarangan Ahmadiyah dan minta SBY melarang Ahmadiyah.

Ada juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi Islam, yang membangun 
koalisi dengan Forum Umat Islam, Front Pembela Islam serta Majelis Mujahidin 
Indonesia. Koalisi ini secara sistematis melakukan lobby terhadap Badan 
Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, alias Bakor Pakem, agar 
melarang Ahmadiyah. Bakor Pakem adalah sebuah forum berbagai instansi 
pemerintah di bawah supervisi Kejaksaan Agung. Tujuan Hizbut Tahrir, induk dari 
HTI dengan kantor pusat London, adalah mendirikan sebuah khilafah Islamiyah, 
macam Kesultanan Ottoman, dengan anggota semua negara-negara Islam di seluruh 
dunia.

Di Jakarta, Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan kepada saya 
bahwa Indonesia memang memberikan kebebasan orang beragama tapi bukan bebas 
menodai Islam. Yusanto mengatakan Ahmadiyah ajaran yang menyimpang dari Islam. 
Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad dan Al Quran. Warga Ahmadiyah punya dua 
pilihan: (1) Kembali ke Islam yang real; (2) atau menyebut agama mereka sebagai 
Ahmadiyah. Bukan Islam. "Mazhab dalam Islam banyak tapi Ahmadiyah bukan mazhab. 
Pemerintah punya otoritas untuk ambil keputusan soal politik, ekonomi dan 
sebagainya. termasuk soal agama," kata Yusanto. Soal kekerasan, Yusanto 
mengatakan, "Saya mengerti kemarahan mereka tapi tidak setuju dengan kekerasan."

Sikap Front Pembela Islam terhadap Ahmadiyah, disampaikan oleh KH Tubagus 
Abdurrahman Anwar, dalam sebuah ceramah di Universitas Islam Negeri Jakarta 
Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 10 Agustus 2005. Pidato ini dimuat dalam 
sebuah pamflet FPI berjudul, "Ayo Ganyang Ahmadiyah dan JIL." Abdurrahman Anwar 
menerangkan mengapa kekerasan boleh dilakukan terhadap Ahmadiyah maupun 
Jaringan Islam Liberal, sebuah organisasi anak-anak muda Muslim, yang berpusat 
di Komunitas Utan Kayu, Jakarta.

Menurut Abdurrahman Anwar, "Apabila harta benda dan jiwa raga seseorang 
terancam, maka ia berhak melakukan bela-paksa (overmacht/noodweer). Apalagi 
jika yang terancam aqidah dan keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada 
harta benda dan jiwa raga."

Dia memberikan bukti kesesatan Ahmadiyah:

    * Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul serta 
sebagai Imam Mahdi dan Al Masihul Mau'ud.
    * Kitab Tadzkirah berisikan pernyataan bahwa ia adalah "wahyu yang suci."

Pamflet itu juga memuat tanya jawab. Misalnya, "Kenapa umat Islam tak boleh 
bertoleransi kepada Ahmadiyah tapi bisa bertoleransi kepada Kristen, Budha dan 
Hindu?" Jawabnya, "Karena Kristen, Budha dan Hindu adalah kafir asli sedang 
Ahmadiyah adalah kafir jejadian, yang mengatasnamakan Islam untuk menyesatkan 
umat Islam."

Ada juga pertanyaan soal hak asasi manusia, "Bukankah melarang Ahmadiyah 
merupakan pelanggaran hak asasi manusia?" Jawabnya, "Ahmadiyah tidak berhak 
menodai dan menistai ajaran Islam. Pelanggaran mana yang lebih berat daripada 
penodaan dan penistaan agama?"

Di Mataram, H. Saiful Muslim, ketua umum MUI Nusa Tenggara Barat mengatakan 
kepada saya, MUI tak setuju tindakan mengusir dan membakar. "Kami berharap 
penyelesaian-penyelesaian tidak dengan cara seperti itu. Tapi dikarenakan 
Ahmadiyah itu sangat ekslusif hingga umat merasa risih. Kalau saja dakwahnya 
internal mereka dan lewat ke masjid seperti umat Islam yang lain, itu saya kira 
tidak ada masalah." Saiful Muslim juga menyesal soal tindakan Muhammad Izzi di 
Ketapang. "Kami tidak setuju dengan cara-cara seperti itu. Polisi bisa 
menyelidiki Muhammad Izzi." Saya kira polisi Mataram takkan berani memeriksa 
Izzi.

Rumah kontrakan mubaligh Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi Gubernur 
Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis surat 
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang lebar 
Uyun membantah kesimpulan MUI.

Uyun mengatakan fatwa MUI terlalu didramatisir, seolah-olah Ahmadiyah tak 
mengakui Rasulullah sebagai nabi yang terakhir. "Tapi saya tahu kenapa mereka 
melakukannya. Soalnya, isu itu adalah isu yang sensitif. Untuk berdebat mereka 
tidak sanggup sehingga mereka pakai drama. Kalau mereka menelaah Ahmadiyah 
secara jujur, Ahmadiyah adalah Islam."

Menurut Uyun, kalau ada perbedaan, itu hanya tafsir beberapa nats Al Quran. 
Kaum Ahmadiyah, misalnya, mewajibkan perempuan ikut shalat Jumat. Warga 
Ahmadiyah juga tak dianjurkan ikut shalat bila imamnya bukan orang Ahmadiyah.

Dalam suratnya kepada Presiden Yudhoyono, tertanggal 5 Mei 2008, Uyun 
menerangkan dua macam kategori nabi dalam khasanah Ahmadiyah. Pertama, tasyri 
adalah nabi yang membawa syariah. Mereka termasuk Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi 
Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Pintu kenabian tasyri sudah tertutup dan 
tak pernah terbuka lagi. Muhammad adalah nabi tasyri terakhir.

Kedua, ghairi tasyri adalah golongan nabi yang tidak membawa syariah. Golongan 
ini terbagi dua: mustaqil, artinya nabi yang berdiri sendiri, menjadi nabi 
bukan karena mengikut nabi lain, menjadi nabi semata-mata karena kesucian 
dirinya; serta nabi ghairi mustaqil, artinya tidak berdiri sendiri, menjadi 
nabi karena mengikut nabi lain, karena ketaatannya kepada seorang nabi. 
Kategori ghairi mustaqil ini masih terbuka.

Dalam istilah Nahdlatul Ulama, ghairi mustaqil diistilahkan sebagai nabi yang 
melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Statusnya, hanya pelayan Islam dan Nabi 
Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, mereka termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, 
Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.

Uyun mengutip sebuah ucapan Mirza Ghulam Ahmad dalam Tajalliyat-i-Ilahiyah, 
"Sesudah Nabi Muhammad SAW tidak boleh lagi mengenal istilah Nabi kepada 
seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut 
dari Nabi Muhammad SAW."

"Kita sudah usaha pendekatan pribadi, penyelaman literatur, diskusi, seminar. 
Itu terus kita usahakan. Tapi opini publik bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi 
Muhammad dan Quran bukan kitab suci satu-satunya, itu begitu kuat," kata Uyun.

Menurut Uyun, Tadzkirah bukan kitab suci. Ia hanya sebuah buku karya seorang 
pengarang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Sumber pokok Islam ada pada Quran dan 
Sunnah Nabi. Dia berpendapat kampanye bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci lain 
membuat orang-orang Ahmadiyah diusir dari kampung-kampung. "Lombok yang paling 
parah karena disini masyarakat tidak bisa bedakan paham dan manusia."

Dalam catatan Ahmadiyah, penganiayaan paling menonjol terjadi di Jawa Barat, 
Nusa Tenggara Barat, Medan, Palembang, Kendari, Riau dan Jakarta. Di Jawa Timur 
juga ada tapi tidak sehebat daerah lain. Di daerah-daerah mayoritas Kristen 
--Manado, Nusa Tenggara Timur, Ambon dan Papua-- tidak terdengar ada 
penganiayaan. Cuma di basis Muslim di daerah Kristen, misalnya, Kotamobagu dan 
Pulau Buru, terdengar ada gejolak. Jogjakarta juga tak ada cerita penganiayaan 
Ahmadiyah. "Aceh dari dulu anti-Ahmadiyah cuma di Aceh memang Ahmadiyah tidak 
menonjol," katanya.

Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, 
"Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah 
Nabi Mirza."

III

Adnan Buyung Nasution tampil rapi, kemeja lengan panjang, pantalon hitam, 
sepatu boot, rambut keperakan disisir rapi. Saya jadi moderator acara "Bang 
Buyung" dalam sebuah diskusi Juli lalu di Jakarta. Dia baru saja merayakan 
ulang tahun ke-75 bersama keluarga dan sahabat. Mereka memberi Buyung hadiah 
berupa sebuah buku. Judulnya, 75 Tahun Adnan Buyung Nasution: Inspirator. 
Isinya, 48 esai karya kawan dan keluarga. Mereka termasuk Presiden B.J. 
Habibie, pastor Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim, penerbit 
Jakob Oetama dan Aristides Katoppo, Jenderal Wiranto dan A.M. Hendropriyono, 
ulama Ma'ruf Amin serta beberapa alumni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum 
Indonesia. Mereka menulis macam-macam penilaian mereka terhadap Buyung.

Dalam diskusi, saya tanya soal bagaimana proses pelarangan kegiatan Ahmadiyah 
di Indonesia. Saat itu, Buyung adalah ketua Dewan Pertimbangan Presiden 
Yudhoyono. Dia termasuk orang yang ikut melawan proses pelarangan Ahmadiyah. 
Buyung juga seorang pengacara hak asasi manusia. Dia mendirikan YLBHI pada 
1970an. Pada 1980an, dia studi doktoral di Universitas Utrecht dan menulis 
thesis soal Konstituante 1956-1959. Ini sebuah thesis menarik, berjudul, 
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas 
Konstituante 1956-1959. Dalam bahasa Belanda, "pemerintahan konstitusional" 
disebut rechtstaad atau "negara hukum" dalam terminologi Indonesia.

Menurut Buyung, dia terlambat mendengar rencana larangan Ahmadiyah. Ada dua 
orang Ahmadiyah, Agus Mubarik dan Lamardi, lapor kepada Buyung. Mereka bilang 
pemerintah Yudhoyono sudah siap dengan satu SK untuk membubarkan Ahmadiyah. 
Dilarang sama sekali di Indonesia.

Ia dimulai pada April 2008 ketika Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi agar 
tiga menteri teken surat keputusan bersama. Tujuannya, memberi peringatan 
kepada warga Ahmadiyah untuk berhenti menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai 
nabi dan mengacu pada Tadzkirah. Tiga menteri itu adalah Menteri Dalam Negeri 
Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji.

"Saya kaget. Saya sama teman-teman, aktivis semua, bilang, `Ini mesti distop, 
tidak boleh terjadi larangan Ahmadiyah. Jika ini terjadi kita telah ikut 
cara-cara seperti di Pakistan: melarang satu keyakinan agama.' Karena kita kan 
negara berbhineka, semua agama harus dihormati," kata Buyung.

Buyung mendekati beberapa kenalannya -- Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Asmara 
Nababan, Djohan Effendi, Goenawan Mohamad, Nong Darol Mahmada, Budiman 
Sujatmiko, Nono Anwar Makarim, Syafii Maarif dan banyak tokoh masyarakat lain-- 
untuk menghentikan kampanye anti-Ahmadiyah. Mereka lantas menerbitkan sebuah 
iklan satu halaman, pada 30 Mei 2008, di beberapa suratkabar Jakarta. Judulnya, 
"Mari Pertahankan Indonesia Kita." Ia juga berupa undangan apel akbar pada 1 
Juni 2008 di Monumen Nasional. Mereka menamakan persekutuan itu Aliansi 
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang 
dijamin oleh Konstitusi.

Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-indonesia-an 
kita.

Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu 
dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga mengatasnamakan umat Islam untuk 
menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat.
Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut 
Ahmadiyah yang sudah sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai 
dengan umat lain.

Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara 
Indonesia, Pancasila, mengabaikan Konstitusi, dan menghancurkan sendi 
kebersamaan kita.

Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas 
hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an itu.

Marilah kita jaga Republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.

Ternyata apel 1 Juni 2008 berubah menjadi peristiwa berdarah. Puluhan milisi 
berbendera Islam –termasuk Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan 
Reformasi Islam—menggunakan kekerasan untuk membubarkan apel tersebut. Mereka 
kelihatannya dipimpin Munarman, seorang pengacara, aktivis Hizbut Tahrir serta 
mantan murid Buyung di YLBHI. Munarman disebut "panglima" para laskar itu. 
Mereka menyerang dan memukul puluhan warga Ahmadiyah dan aktivis AKKBB di 
Monumen Nasional. Peristiwa ini diliput besar-besaran oleh televisi. Saya 
melihat Ahmad Suaedy, direktur Wahid Institute, dipukul mukanya dengan sebilah 
bambu. Tahir Ahmad, seorang warga Ahmadiyah, menderita gegar otak. Puluhan ibu 
Ahmadiyah lari dari sergapan laskar.

Belakangan Munarman ditangkap polisi. Polisi juga menangkap Habib Rizieq Syihab 
dari Front Pembela Islam dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan kebencian. 
Oktober 2008, pengadilan Jakarta Pusat menghukum Munarman 1.5 tahun penjara 
karena tindakan kekerasan. Rizieq Syihab juga dihukum 1.5 tahun dan mengajukan 
banding. Pengacaranya, Mirza Zulkarnaen, mengatakan Rizieq Shihab tak pernah 
menganjurkan kepada anak buahnya untuk melakukan tindakan rusuh di Monumen 
Nasional.

Sebagai penasihat presiden, Buyung bertemu langsung dengan Presiden Yudhoyono. 
Buyung menjelaskan bahaya kalau Ahmadiyah dibubarkan. "Ahmadiyah ini satu 
keyakinan orang, walaupun mereka berbeda akidah dengan Islam lainnya, tapi itu 
urusan internal teologi Islam. Bukan bidang pemerintah. Tiap agama secara 
teologis di dalamnya ada perbedaan. Lihat di Katolik berapa banyak sekte di 
Katolik? Lihat di Protestan, berapa banyak sekte-sekte? Jadi tidak bisa kita 
mengadili, mengatakan ini yang paling benar. Karena itu saya bilang tidak boleh 
ini terjadi."

"Alhamdulillah Presiden memahami. Jika satu ini diizinkan, besok mereka 
menuntut lebih hebat lagi. Habis semua dibabat."

Yudhoyono sepakat, "Oke, Bang Buyung, saya setuju tidak boleh keluar larangan."

Namun Yudhoyono minta Buyung bicara dengan ketiga menteri itu. Pertemuan pun 
diselenggarakan oleh Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, sebagai 
moderator. Maka berdebatlah Buyung dengan tiga menteri, selama tiga atau empat 
jam.

"Kita kan mendirikan satu negara, satu tanah air, satu bahasa, tidak negara 
Islam. Dan itu mesti baca di Konstituante, perdebatan yang paling lengkap. Tapi 
periode 1956-1959 itu oleh Soekarno dianggap jelek kan? Periode zaman demokrasi 
liberal. Jadi nggak ada yang bagus, semua buruk, termasuk Konstituante. Saya 
memberi perhatian Konstituante sebagai topik perdebatan. Jadi kalau baca di 
situ penolakan terhadap negara Islam itu kuat sekali. Pada waktu voting, partai 
Islam yang mendukung itu kalah terhadap yang lain-lainnya: Islam, Kristen, 
nasionalis, apapun semua menolak. Dan penolakan itu terjadi juga kemarin pada 
waktu amandemen UUD 1945. Ada lagi usaha yang mau masukkan Piagam Jakarta, 
ditolak lagi."

Buyung mengacu pada perdebatan dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha 
Kemerdekaan Republik Indonesia, atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada 
Mei-Agustus 1945 dimana ada diskusi soal pilihan dasar negara Indonesia: Islam 
atau sekulerisme atau Pancasila. Pada 18 Agustus 1945, dicapai kompromi dengan 
menghilangkan tujuh kata soal syariah Islam pada pembukaan UUD 1945. 
Komprominya, Pancasila. Kompromi sementara karena diskusi tak bisa tuntas 
berhubung sedang masa gawat, pasca Perang Dunia II, kerajaan Belanda ingin 
mengambil alih Hindia Belanda dari tangan Jepang. Padahal Soekarno dan Moh. 
Hatta sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada 1949, Belanda menyerahkan 
kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Debat ini 
dilanjutkan pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ia juga tak tuntas 
karena Presiden Soekarno membubarkan Konstituante. Buyung menulis soal 
perdebatan ini pada thesis di Universitas Uthrect. Pada 1999, saat sidang umum 
MPR, sekali lagi isu syariah Islam ini muncul.

Singkatnya, ketiga menteri itu menerima pendirian Buyung. Persoalannya, 
keputusan kabinet sudah terlanjur keluar. Surat keputusan tetap harus keluar. 
Maka mereka sepakat bikin surat keputusan tapi tidak membubarkan Ahmadiyah. 
Namun Ahmadiyah tak boleh menyebarkan siar ajaran mereka di luar masyarakat 
Ahmadiyah.

Saya ingat apa yang dikatakan Syaeful Uyun. Menurut Uyun, Nahdlatul Ulama dan 
Muhammadiyah sebenarnya toleran terhadap Ahmadiyah. "Amien Rais sangat toleran 
terhadap Ahmadiyah. Syafii Maarif juga begitu," katanya. "Nahdlatul Ulama, 
secara kelembagaan juga begitu, tapi ada person-person NU, termasuk Ma'ruf 
Amin, yang anti-Ahmadiyah. Sahal Mahfudz, ketua MUI, tidak begitu. NU sangat 
toleran. Gus Dur bahkan membela Ahmadiyah."

Menurut analisis Uyun, organisasi yang paling anti Ahmadiyah adalah Hizbut 
Tahrir. Uyun berpendapat Hizbut Tahrir ingin menggiring warga Muslim di 
Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Isu Ahmadiyah hanya dijadikan 
kendaraan Hizbut Tahrir untuk membuat "umat Islam" di Pulau Jawa dan sekitarnya 
lebih radikal. "Kalau pemerintah Yudhoyono tak waspada, sekarang eksistensi 
Indonesia sebagai negara-bangsa riskan. Konsep khilafah HTI sama dengan yang di 
Turki."

"Indonesia sejak awal berdiri telah sepakat didirikan sebagai negara-bangsa dan 
didirikan di atas segala macam perbedaan –suku, agama, kepercayaan, adat 
istiadat. Oleh karena itu Indonesia punya filsafah, Bhinneka Tunggal Ika."

"Orang Turki sendiri tidak mengharapkan khilafah. Kok orang Indonesia yang 
gegap gempita!"

SK Ahmadiyah muncul pada 9 Juni 2008, seminggu sesudah penyerangan di Monumen 
Nasional. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan 
Jaksa Agung Hendarman Supanji mengumumkan SK No. 3 Tahun 2008 tentang 
"Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaah 
Ahmadiyah Indonesia." Isinya, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga 
Ahmadiyah untuk menghentikan "penyebaran penafsiran dan kegiatan yang 
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam." Hukuman penjara maksimal lima 
tahun diberikan kepada orang yang melanggar SK tersebut.

Human Rights Watch dari New York protes. Mereka mengingatkan bahwa Indonesia 
sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights pada 
Februari 2006. Artinya, Indonesia setuju dengan semua isi traktat internasional 
itu. Pasal 18 dari traktat itu menyebut, "No one shall be subject to coercion 
which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his 
choice." Pasal 27 menyebut, "… persons belonging to ... minorities shall not be 
denied the right, in community with the other members of their group, to enjoy 
their own culture, to profess and practice their own religion."

SK No. 3 Tahun 2008 secara tersurat melanggar International Covenant on Civil 
and Political Rights. Ia juga melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E. 
Bunyinya, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya .... 
Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan ... sesuai hati 
nuraninya."

Sidney Jones dari International Crisis Group menyatakan, "The Yudhoyono 
government made a serious error in 2005 by inviting MUI to help shape policy. 
It opened the door for hardline groups to press for greater state intervention 
to define orthodoxy and legislate morality."

Adnan Buyung Nasution mengatakan dia sudah berusaha maksimal dari dalam sistem 
pemerintahan Yudhoyono guna mencegah makin merendahnya tembok antara agama dan 
negara. Dia berpendapat bila SK Ahmadiyah dianggap melanggar traktat 
internasional dan UUD 1945, dia melihat ada dua jalan hukum: warga sendiri bisa 
bertindak, melakukan class-action, citizen lawsuit, menggugat Menteri Dalam 
Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.

"Mudah-mudahan pemerintah yang baru lebih tegas," katanya.

Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. 
Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar 
ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak 
tersebut .

IV

Pada Maret 2009, selama dua minggu, saya mengunjungi para pengungsi Ahmadiyah 
di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ia terletak di sebuah jalanan 
sepi. Depan Transito ada warung kecil, jualan kopi, teh, soda, biskuit, sabun, 
minyak kayu putih, pisau cukur, kacang goreng. Cidomo terlihat hilir mudik. 
Namanya, Jalan Transmigrasi. Di depan Transito ada perusahaan percetakan Agil 
Akbar Grafindo merangkap kantor harian umum Warta NTB. Juga ada papan nama PT 
Windu Sarana Development: mengirim TKI ke Hong Kong, Singapura, Malaysia.

Nama daerah ini adalah Majeluk. Asalnya, dari kata Sasak "jeluk" atau "jemur." 
Zaman Jepang, Majeluk adalah tempat tahanan-tahanan mati disiksa dan dijemur. 
Ada pohon waru, pohon akasia, pohon ketapang yang mekar, tempat berteduh. 
Asrama Transito dibangun pada 1974 untuk calon transmigran Sasak, guna dikirim 
ke Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Sumbawa.

"Daerah Majeluk ini aman. Dulu ada yang mau bikin kisruh tapi kita itu 
sama-sama manusia. Apapun tingkah laku, itu urusan dia. Kampung Majeluk ini 
tidak mau rusuh apapun," kata Mohammad Achir, warga Majeluk, seorang sopir 
truk. "Orang-orang Ahmadiyah paling aman disini. Tidak ada yang mau mengusir," 
katanya. Di Majeluk juga ada beberapa rumah orang Hindu.

Di dalam, saya bertemu Nur Hidayati. Dia menunjukkan saya tempat tinggalnya. 
Kamar hanya untuk orang dewasa, anak-anak dan gadis. Kamar mereka masing-masing 
hanya seukuran dua bangku. Sekat kamar dari kain sarung, yang dibuka 
jahitannya. Anak lelaki yang sudah besar, tidur di musholla. Dapur terletak di 
luar bangunan. Ada sebuah ruang dipakai sebagai musholla.

Nur Hidayati sendiri seorang perempuan muda, umur 20 tahun. Dia baru menikah 
tujuh bulan, dengan Abdullah, sesama pengungsi dan tukang cukur rambut. Ketika 
remaja, rumah Nur di Selong, Lombok Timur, dibakar. Mereka diusir. Pengurus 
Ahmadiyah memutuskan memindahkan semua anak-anak Ahmadiyah ke tanah Priangan di 
Pulau Jawa.

Pertimbangannya, sekolah mereka tetap jalan sementara orang tua mereka mengatur 
kehidupan yang porak-poranda. Nur mengatakan sebuah bus Safari Dharma Raya, 
penuh dengan anak, membawa mereka ke Priangan. "Kami ditempatkan di 
keluarga-keluarga Ahmadiyah di Tasikmalaya," katanya.

Namun, banyak anak yang tak kerasan. Ada yang tidak naik kelas. Jauh dari orang 
tua dan perbedaan budaya, bahasa Sunda dan bahasa Sasak, membuat mereka perlu 
waktu guna adaptasi. Nur dijemput orang tua dan kembali ke Mataram. Dia 
melanjutkan sekolah di SMP dan SMA Muhammadiyah, Mataram.

"Kami tidak eksklusif. Buktinya? Saya sekolah di Muhammadiyah. Dibilang selalu 
menyendiri, itu karena mereka tidak lihat kesini. Kami selalu terbuka. Tuan 
Guru Anwar … Maulud Nabi kemarin beliau kesini," katanya.

Khairuddin, pengungsi asal Selong, cerita bahwa dua dari tiga anaknya lahir di 
pengungsian. Isterinya hamil muda saat mereka diusir dari Selong. Anak pertama, 
Hafiz Qudratullah, mengalami trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak 
naik kelas. Dia sering melamun, kadang teriak, "Orang jahat. Orang jahat. 
Mengapa rumah dibakar?"

Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering bermimpi, "Orang jahat dobrak pintu dan 
teriak, `Serbu, serbu.' Kalau tidak cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah 
cerita, dia jadi tenang," kata Khairuddin.

Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah yang sudah 5-10 tahun hidup dalam 
pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan ada 10 bayi lahir di Transito sejak 
pengusiran dari Gegerung, "Anak bungsu saya diberi nama Muhammad Khatamann 
Nabiyin … juga lahir di Transito." Syahidin menerangkan bahwa dalam bahasa 
Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya nabi. Muhammad Khatamann 
Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini menegaskan bahwa kaum 
Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas.

Ketika hendak meninggalkan Transito, saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana 
rasanya hidup delapan tahun di pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia 
terdiam. Kami melihat anak-anak lelaki riuh main sepak bola di halaman 
Transito. Nur lantas menjawab lirih, "Apa yang dirintis orang tua memang 
hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami."

"Iman kami tidak goyah."

***



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke