Ibn
Warraq
Tanggal dimuat:
21/6/2004
Kehadiran Ibn
Warraq bukan hanya meresahkan kalangan Muslim “konservatif,” tapi juga para
intelektual dan kalangan Muslim liberal yang selama ini memiliki pandangan
kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn Warraq dianggap telah merusak
proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh para intelektual Muslim. Apa yang
dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi ketimbang
reformasi.
Oleh:
Luthfi
Assyaukanie
Sejak beberapa tahun belakangan,
studi keislaman dihebohkan oleh hadirnya seorang penulis yang menamakan diri Ibn
Warraq. Ini adalah nama samaran sang penulis yang mengaku berasal dari India,
melewati masa kecilnya sebagai Muslim, dan kemudian belajar Islam di sebuah
universitas ternama di Inggris. Seperti ditulis dalam otobiografinya, Why I
am not a Muslim? (1995), Ibn Warraq mengaku telah keluar dari Islam dan
memilih jalan agnostis, jika bukan ateis. Kekecewaannya terhadap Islam
diekspresikan lewat tulisan-tulisannya yang mengandung semangat kebencian
terhadap agama ini.
Kehadiran Ibn Warraq bukan hanya meresahkan kalangan
Muslim “konservatif,” tapi juga para intelektual dan kalangan Muslim liberal
yang selama ini memiliki pandangan kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn
Warraq dianggap telah merusak proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh
para intelektual Muslim. Apa yang dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi
ketimbang reformasi.
Abdullah Saeed, seorang sarjana Muslim asal
Australia menganggap Ibn Warraq memiliki pandangan yang keliru
(distorted) tentang Islam. Hal inilah yang agaknya membuatnya begitu
antipati terhadap agama ini. Sikapnya yang begitu membenci Islam bahkan tak
mencerminkan dirinya sebagai murid Montgomery Watt, orientalis yang selalu
berusaha bersikap simpatik terhadap Islam.
Ibn Warraq sangat produktif
menulis buku yang sebagian besar merupakan kumpulan tulisan dari beberapa karya
orientalis abad ke-19 dan ke-20. Kendati ada beberapa tulisan orientalis yang
simpatik terhadap Islam, Ibn Warraq lebih memilih tulisan-tulisan mereka yang
antagonis dan antipati terhadap agama ini.
Dalam karyanya tentang Nabi
Muhammad (The Quest for the Historical Muhammad, 2000), Ibn Warraq
misalnya mengumpulkan tulisan-tulisan para orientalis yang dikenal sebagai
“pencemar dan pembunuh karakter” Muhammad, seperti Henri Lammens, C.H. Becker,
Joseph Schacht, dan Lawrence I. Conrad. Pesan yang ingin disampaikan Ibn Warraq
sangat jelas, yakni bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi palsu, penipu,
tukang kawin, dan seorang pemimpin yang haus darah.
Dalam karyanya yang
lain tentang Al-Qur’an (The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam's
Holy Book, 1998; dan What the Koran Really Says: Language, Text, and
Commentary, 2002), Ibn Warraq juga mengumpulkan tulisan-tulisan orientalis
ternama seperti Theodor Noldeke, Leone Caetani, Alphonse Mingana, Arthur
Jeffery, David Margoliouth, and Andrew Rippin. Sayangnya, dia menyeleksi
tulisan-tulisan mereka semaunya sehingga kerap menghilangkan konteks keseluruhan
tulisan-tulisan aslinya. Tujuan dia lagi-lagi untuk menunjukkan sikapnya yang
antipati terhadap Al-Qur’an. Mengutip Gibbon dan Carlyle, Ibn Warraq meyakini
bahwa Al-Qur’an adalah “incoherent rhapsody of fable,” dan
“insupportable stupidity.”
Karya terbarunya, Leaving Islam
(2003), juga merupakan kumpulan artikel dan laporan wawancara dia dengan
beberapa orang (yang sayangnya semuanya anonim) dari Pakistan dan Bangladesh
yang mengklaim telah keluar dari Islam alias murtad. Tujuan Ibn Warraq sangatlah
jelas, yakni ia ingin memperlihatkan kepada pembacanya bahwa banyak orang Islam
yang tidak tahan memeluk agama ini dan menyatakan diri keluar (murtad).
Pokoknya, baginya, menjadi bukan Islam itu lebih baik daripada harus tetap
memeluk Islam.
Bukan Reformis
Membaca dan mengikuti
karya-karya Ibn Warraq, saya semakin yakin bahwa apa yang sedang dia lakukan
sangat berbeda dari apa yang telah dan sedang dilakukan oleh para pembaru Muslim
selama ini yang berusaha melakukan kritik-kritik terhadap (beberapa doktrin)
Islam tapi dengan tujuan memperbaiki agama ini. Para pembaru Muslim seperti
Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan Nurcholish Madjid, jelas
tidak akan menganjurkan kaum Muslim untuk membenci Islam, apalagi mengajak
mereka keluar dari agamanya.
Kekeliruan Ibn Warraq adalah bahwa ia tidak
melihat sedikitpun sisi baik dari Islam dan bahkan berusaha mengabaikan bahwa
agama ini pernah punya peran positif bagi peradaban manusia. Dia juga tampaknya
tidak mengerti bahwa nama “warraq” merupakan salah satu simbol masa
kejayaan peradaban Islam. Di masa silam, “warraq” berarti pedagang atau
distributor buku yang bertugas menyalin karya-karya para ulama. Buku merupakan
ikon peradaban Islam yang sangat penting. Salah seorang warraq ternama
adalah Ibn Nadiem, seorang Muslim yang taat dan pengarang kitab terkenal,
Al-Fihrist.
Ibn Warraq tampaknya juga tak menyadari bahwa semangat
“kritisisme” dalam Islam, seperti yang tampak pada para “pemikir bebas” Muslim
seperti Ibn Rawindi, Abu Bakar al-Razi, Al-Ma’arri, dan Ibn Sina bukanlah para
penulis yang seenaknya mencaci-maki Islam, apalagi menyatakan diri telah keluar
dari Islam. Kritik-kritik mereka adalah kritik membangun sebagai bagian dari
tradisi intelektualisme Islam. Karenanya, tak heran jika mereka sendiri kemudian
menjadi bagian dari mosaik yang memperindah peradaban Islam.
Beberapa
peresensi bukunya, seperti Fred M. Donner, menilai Ibn Warraq “tak jujur.” Saya
kira Ibn Warraq bukan cuma tak jujur, tapi kerap tampak naif. Misalnya dia
sangat berapi-api mengajak seluruh kaum Muslim keluar dari Islam, tapi sayangnya
tak memberikan alternatif apa-apa setelah itu. Buku terbarunya, Leaving
Islam, merupakan ikrarnya yang sangat gamblang yang tak lagi membuat para
pembacanya ragu-ragu bahwa dia memang membenci Islam dan berusaha menghancurkan
citra agama ini dengan segenap kemampuannya.
Bagi saya, jelas ada
perbedaan besar antara orang yang ingin mereformasi sebuah tradisi dengan orang
yang ingin menghancurkan sama sekali tradisi itu (kendati kedua-duanya kerap
memiliki kemiripan dalam hal kekritisan). Reformasi agama hanya mungkin
dilakukan oleh orang yang benar-benar tumbuh dan hidup dalam tradisi agama,
bukan orang yang menjauh dan berusaha keluar dari tradisi itu, apalagi dilakukan
dengan cara-cara yang destruktif.
Luthfi Assyaukanie. Kontributor
Jaringan Islam Liberal (JIL)