Tetapi kembali kepada
kenyataan dasar tentang Indonesia sebagai gabungan --yang pertama dengan penuh
niat dan kesadaran-- antara unsur-unsur masyarakat pola budaya Pesisir
Nusantara dan pola budaya hirarkis bertingkat Pedalaman, maka jaminan
keberhasilan lebih lanjut dalam pembinaan dan pengembangan kebangsaan Indonesia
mutlak memerlukan pertalian konstruktif antara kedua pola budaya itu. Ibarat
mesin komputer, perangkat keras Indonesia adalah budaya Jawa yang tersusun kuat,
sehingga dapat mendukung efisiensi dan efektifitas kerjanya, dan perangkat
lunaknya adalah budaya Pesisir Nusantara, yang melengkapinya dengan
konsep-konsep dan program-program kerja sosial-politik demokratis, bebas,
terbuka, adil, egaliter dan kosmopolitan. Ancaman kegagalan
perkembangan Indonesia lebih lanjut akan timbul jika kita tidak mampu terus
memupuk pertalian produktif kedua pola budaya itu, dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Hampir-hampir dapat dibuat generalisasi bahwa
krisis-krisis yang dialami bangsa kita selama ini adalah akibat dinamika
tarik-menarik yang tegang antara kedua pola budaya itu, yang luput dari
penanganan yang tepat. Hal serupa telah pernah terjadi pada kerajaan besar
Majapahit dengan akibat fatal, yaitu runtuhnya kerajaan itu pada tahun 1478
(1400 saka, Sirna ilang kertaning bumi).
Majapahit
tidak berhasil memberi respon yang tepat kepada perkembangan kegiatan ekonomi
perdagangan regional Nusantara, yang pada hakikatnya merupakan ekstensi pola
global perdagangan Islam sejak berabad-abad sebelumnya. Dalam bahasa Melayu
klasik, "orang dagang" adalah "orang pengembara", jadi dalam dirinya sudah
terkandung semangat kebebasan, keterbukaan, mobilitas tinggi dan
kosmopolitanisme. Majapahit yang sangat kuat terpaku pada masyarakat pertalian
tanah-tanah amat subur kawasan topografi vulkanis jawa menimbulkan suasana
kejiwaan masyarakat yang serba berkecukupan, swasembada dan sikap tidak terlalu
tergantung kepada masyarakat-masyarakat luar. Suasana kejiwaan isolasionis,
natifistik dan atafistik Majapahit itu membuatnya tidak siap menghadapi
gelombang dinamika globalisme perdagangan kota-kota pesisir, dan show down yang tidak terelakkan antara
keduanya itu harus dibayar amat mahal oleh Majapahit dengan keruntuhan
dirinya. Jika ada optimisme bahwa
malapetaka Majapahit tidak akan terulang, alasannya ialah justru pertumbuhan
keindonesiaan itu sendiri yang semakin mantap. Dampak positif teknologi modern
yang sejak semula telah diduga bakal terjadi, khususnya teknologi komunikasi dan
transportasi, telah secara mantap membuat "Indonesia" semakin "Indonesia", dalam
arti semakin mendekat agregat keseluruhan jati diri kebangsaan Indonesia seperti
dicita-citakan para tokoh pendiri negara. Lagi-lagi peranan Bahasa
Indonesia harus disebutkan di sini. Penyebaran penggunaan bahasa nasional itu
sampai ke pelosok pedesaan kita --berkat antara lain satelit komunikasi--
mungkin mengakibatkan munculnya gejala kematian bahasa-bahasa daerah tertentu,
suatu hal yang amat merugikan. Tetapi penyebaran itu sendiri secara positif
jelas sekali semakin mengukuhkan pertalian kebangsaan yang meliputi seluruh
warga dan wilayah Indonesia. Kerugian akibat kematian suatu bahasa daerah harus
diatasi dengan politik kebudayaan yang lebih tepat, yang secara positif mengakui
peranan bahasa-bahasa daerah itu sebagai khazanah kekayaan budaya nasional,
lebih daripada khazanah fauna dan flora tropis kita, yang harus dilindungi dan dicegah
dari kemusnahan. Seperti halnya fungsi suatu kebon botanik sebagai reservoir
kekayaan flora yang sewaktu-waktu diperlukan untuk memperkaya budi daya
pangan, agrobisnis dan industri, pelestarian budaya lokal dan bahasanya
merupakan cadangan yang kaya untuk mengembangkan budaya nasional Indonesia
sebagai keseluruhan. Karena itu diperlukan otonomisasi daerah yang lebih besar
dan longgar daripada yang pernah ada selama ini, guna memberi peluang yang cukup
leluasa untuk tumbuhnya inisiatif-inisiatif dari bawah. Berdasarkan pandangan itu,
pembicaraan kita tentang pola budaya Pesisir dan Pedalaman, yang par
excellence berturut-turut tercermin dalarn masyarakat Minangkabau dan
masyarakat Jawa, mungkin harus kita cukupkan sampai di sini, dan kita sebaiknya
kembali kepada ketokohan Bung Hatta sebagai representasi manusia berkebangsaan
modern Indonesia yang utuh dan integral. Sedikit menelaah lagi
pandangan metafisis-religius Bung Hatta dalam mengembangkan wawasannya tentang
negara kebangsaan modern: Bung Hatta menjadi mirip dengan tokoh-tokoh pendiri
Amerika, khususnya Thomas Jefferson. Sebagai seorang penganut Deisme,
Unitarianisme dan Universalisme, Jefferson meletakkan dasar nilai-nilai
kebangsaan Amerika yang berwatak humanis universal dan serba inklusif.
Keengganannya untuk secara formal bergabung dengan suatu agama konvensional saat
itu merupakan pilihan pribadi, guna membebaskan diri dari berbagai pertentangan
keagamaan yang tidak masuk akal, kemudian mengkaji substansi asasi
ajaran-ajaran agama itu dan
diangkatnya
kepada tingkat generalisasi yang tinggi sehingga bebas dari eksklusifisme dan
parokialisme. Pandangan dasar yang serba universal dan inklusif itu ia maksudkan
untuk memenuhi tuntutan akan adanya pegangan bersama bagi bangsa Amerika dalam
wadah suatu modern nation state, yang kemudian ia tuangkan dalam dokumen
primer Amerika, Deklarasi Kemerdekaan. Amerika memang dinyatakan sebagai negara
sekular demokratis, yang acapkali memberi kesan salah seolah-olah tidak ada
suatu peran apapun bagi agama dalam kehidupan kenegaraan. Tetapi Alexis de
Tocqleville pada tahun 1830 menulis bahwa agama adalah lembaga pertama dalam
demokrasi Amerika. Ia melihat makna penting interaksi demokrasi dan agama, dan
mengantisipasi maraknya lembaga-iembaga keagamaan yang menjadi ciri
kehidupan
Amerika, suatu ramalan yang sedikit banyak menjadi
kenyataan.8 Jefferson telah menduga
bahwa untuk sebuah negara yang demikian luas dan aneka ragam barangkali tidak
mungkin dibangun suatu konsensus moral, namun masyarakat dapat menyertai wacana
moral umum yang ia sebut "the great civil conversation ". Dengan wacana
itu setidaknya diharapkan dapat dipahami hakikat perbedaan pandangan yang ada,
dan disadari pentingnya memelihara pranata-pranata bebas, tempat
perbedaan-perbedaan dapat diungkapkan tanpa menimbulkan polarisasi yang
mengancam. Sejajar dengan itu, Bung
Hatta memandang ke depan bahwa Bangsa Indonesia memerlukan wawasan asasi
kebangsaan dengan akar-akarnya yang menghunjam dalam keyakinan berdimensi
metafisis nilai-nilai keagamaan universal-inklusif. Dimensi metafisis itu mutlak
diperlukan untuk menumbuhkan dan menguatkan komitmen kepada wawasan asasi
kebangsaan tersebut, sehingga memiliki kedalaman dan kesejatian dalam
pelaksanaannya. Dengan dimensi metafisis itu
suatu wawasan diharapkan mengundang ikatan batin yang total, yang menyiapkan
kesediaan berkorban dalam memelihara dan melaksanakannya. Sebaliknya, tanpa
dimensi metafisis itu suatu wawasan mungkin berkembang hanya sebagai
perangkat-perangkat prosedural hampa, dan tidak mampu mengisi dambaan warga
masyarakat akan makna yang lebih mendalam bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Inilah yang dalam pandangan beberapa kalangan merupakan masalah bagi
sekularisme dan liberalisme, yaitu bahwa faham-faham itu hanya menyediakan suatu
bentuk kebaikan negatif (a negative good), dalam arti bahwa yang
dibuatnya hanyalah menyingkirkan fanatisme. Mereka katakan, bahwa
capaian menyingkirkan fanatisme itu sendiri adalah sesuatu yang sangat baik.
(The fanatic is always a pest. The one-track mind is always a dangerous
guide).9 Tetapi hal serupa itu hanya mampu sekedar
menyediakan kerangka formal kemajemukan dan toleransi, namun tidak mampu
menyediakan makna-makna dan nilai-nilai yang diperlukan masyarakat untuk
berpegang dan melaksanakan faham kemajemukan dan toleransi itu secara mendalam
dan sejati. Maka mereka katakan bahwa tantangan terbaru demokrasi Amerika ialah
bagaimana menemukan jalan untuk menjawab pertanyaan Aristoteles tentang
bagaimana menyusun kehidupan sosial dalam kerangka tatanan konstitusional
berdasarkan kebenaran-kebenaran dasar umum yang diakui
bersama.10 |