Assalamu'alaikum WW

Salam iko awak masih membanggakan diri dengan tingginyo kualitas intelektual 
urang awak, tetapi mempertahankannyo ? Itulah masalahnyo...

Kanda Oni Yusfian , pls pandapeknyo , alah lamo indak basuo , dan kini info 
dari sumbernyo mungkin bisa maagiah "pencerahan"

wassalam

Z Chaniago - Palai Rinuak

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0111/14/daerah/sisa25.htm

Sisa Suara dari Minangkabau

SEJAK beberapa tahun terakhir, ada semacam kerinduan. Orang dalam, orang 
Minangkabau sendiri, berharap banyak dunia pendidikan (formal dan nonformal) 
melahirkan tokoh intelektual dan cendekiawan yang disegani. Biasanya mereka 
merujuk ke masa silam, menyebut sukses sejumlah nama antara lain Bung Hatta, 
Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Agus Salim, Mohammad Yamin, 
Hamka, Adam Malik, Mr Asa'at, M Syafei, Rasuna Said, Rohana Kudus, Dr Rivai, 
dan Sudjatmoko.
Untuk menuju ke situ, Emil Salim tahun 1980-an menggagas agar Sumatera Barat 
(Sumbar), sebagai Ranah Minangkabau, menjadi "industri otak". Tujuan 
akhirnya bagaimana Sumbar kembali melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan 
cendekiawan yang disegani, serta memberikan kontribusi di tingkat nasional 
dan internasional, mempunyai pemikiran yang militan dan ide-ide yang 
brilian.

Sampai sekarang, "industri otak" masih menjadi lagu pembangunan di bidang 
pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah yang 
penduduknya suka merantau itu.

Kerinduan yang sama juga muncul dari kalangan luar Minangkabau. Abdurrahman 
Wahid, tokoh Nahdhatul Ulama dan mantan presiden, misalnya, ketika 
berkunjung ke Padang, Lebaran tahun 2000, menyatakan keprihatinannya.

"Jika dulu kita sering mendapatkan pemikiran yang kreatif datang dari Minang 
(Sumbar), sekarang sudah tak demikian lagi. Manakah kini ulama-ulama besar 
Sumbar yang mengeluarkan pandangan keagamaan yang segera menarik perhatian? 
Manakah lagi pemikir-pemikir yang bisa menggugah kesadaran bangsa?" katanya.

Kalau berpaling ke Sumbar, persoalannya tidak jauh berbeda. Tidak ada 
kontribusi pemikiran yang mendasar yang ditawarkan tokoh-tokoh Sumbar untuk 
daerah ini, kecuali menyusun program pembangunan Sumbar yang ideal, atau 
Sumbar yang diinginkan.

Ada kesan, Minangkabau sebagai "gudang" kaum intelektual, barangkali hanya 
tinggal mitos. Mitos ini ketika diuji oleh perkembangan sejarah tidak dapat 
lagi membuktikan dinamikanya. Artinya, telah terjadi kemerosotan intelektual 
di Minangkabau. Sehingga secara nasional, Sumbar nyaris tak lagi dianggap.


***
BANYAK kalangan membenarkan, seperti Guru Besar dari Universitas Negeri 
Padang Prof Dr Mursal Esten, kalangan birokrat yang kini Asisten III Pemda 
Provinsi Sumbar Drs Yulrizal Baharin MSi, dan Budayawan AA Navis, bahwa 
telah terjadi degradasi intelektual di Minangkabau.

Akar persoalannya ternyata, karena sistem pendidikan yang dijalankan sejak 
pascakemerdekaan sampai sekarang keliru, tidak mendukung ke arah itu. Bahkan 
dalam bahasa Navis, pendidikan yang dilaksanakan pemerintah kita sampai 
sekarang adalah sumber bencana nasional.

Menurut Mursal Esten, pendidikan di zaman penjajahan jauh lebih 
mengembangkan pemikiran bebas, ada tradisi berdebat dan berpolemik secara 
terbuka, dan jauh sekali dari sifat pemikiran yang mencari kebenaran. 
"Pendidikan di zaman Belanda justru bersifat mempertanyakan, sehingga 
menumbuhkan sikap keintelektualan dan kritis. Karena itu, pendidikan di 
zaman penjajahan jauh lebih berhasil ketimbang pendidikan sekarang, terutama 
dalam hal mengembangkan pemikiran bebas dan maju," katanya.

Mereka mengembangkan potensi intelektualismenya tidak saja di institusi 
lembaga pendidikan Belanda yang dependen, tetapi juga mengembangkannya di 
luar institusi tersebut yang bersifat independen. Cara seperti ini juga 
ditempuh oleh Soekarno dan sejumlah tokoh lain di luar Minangkabau.

Bahkan, menurut Yulrizal Baharin, tidak saja pola pendidikan Belanda yang 
sekuleristik, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual dari 
Minangkabau, pola pendidikan agama (Islam) yang antisekuleristik dan 
parochialistik, juga demikian. Kedua pola pendidikan tersebut saling 
berkompetisi dan memunculkan tokoh-tokoh yang disegani di pentas nasional.

"Pascakemerdekaan RI sampai sekarang, model atau pola pendidikan yang 
demikian tak ditemukan lagi. Akibat sistem pendidikan nasional yang 
berorientasi utiletarian dan teknokratik, inilah yang menjadi suatu penyebab 
tidak berkembangnya dunia pemikiran di Sumbar. Karena orientasinya bukan 
untuk jangka panjang, tapi ingin mendapatkan hasil dalam waktu pendek," 
katanya.


***
ALI Akbar Navis atau lebih dikenal AA Navis mengakui, kebesaran orang Minang 
dulu dan sekarang sudah bergeser. Orang Minang semacam Bung Hatta, Agus 
Salim, M Yamin, Hamka, dan yang lainnya, adalah orang Minang yang berjuang 
dan partikulir (swasta). Ia tak pegawai negeri, berani masuk penjara, 
makanya menjadi orang besar.

Akan tetapi, kini orang Minang menjadi besar karena pegawai negeri. Saat ini 
di masyarakat Minang masih cenderung menjadi pegawai negeri, karenanya tidak 
menjadi orang besar. Sejak selesai PRRI, orang Minang sekolah tidak mencari 
ilmu, tetapi mencari gelar untuk status dan akhirnya menjadi pegawai negeri.

Masyarakat Minangkabau belum mempunyai pandangan terhadap ilmu sebagai ilmu. 
Orang Minangkabau baru melihat ilmu sebagai alat, yang digunakan untuk 
mencapai tujuan yang bersifat sementara. Artinya, orang Minang belum 
mempunyai pandangan keilmuan.

"Mutu pendidikan di zaman Belanda jauh lebih baik dari mutu pendidikan zaman 
sekarang. Salah satu indikasinya, dulu orang setingkat SMU sudah menguasai 
minimal dua bahasa asing; Belanda dan Inggris atau bahasa Perancis dan 
Jerman. Sekarang, jangankan siswa SMU, sarjana lulusan perguruan tinggi tak 
menguasai satu pun bahasa asing, terutama bahasa Inggris," katanya.

Navis menambahkan, salah satu faktor yang membuat pendidikan zaman Belanda 
bermutu adalah penghargaan yang tinggi terhadap guru. Guru sangat dihargai, 
sehingga menjadi profesi yang diinginkan banyak orang pintar dan cerdas. 
Dari guru yang pintar dan cerdaslah, dihasilkan intelektual yang berkualitas 
dan diperhitungkan.

Sekarang, profesi guru kurang dihargai, gaji masih rendah, bahkan terkadang 
dipotong pula, sehingga sepulang mengajar guru terpaksa menjadi tukang ojek. 
"Saya setuju guru-guru mogok, kalau haknya dipermainkan. Rapel kenaikan gaji 
yang belum dibayarkan adalah suatu bentuk pelecehan. Pemerintah yang benar 
adalah pemerintah yang mendahului hak orang banyak," ungkapnya, kepada 
Kompas, baru-baru ini.

Dengan kondisi begini, ditambah sistem pendidikan yang terpusat, sangat 
mustahil kiranya mengharapkan lahirnya kembali tokoh-tokoh intelektual dan 
cendekiawan di Minangkabau. Makanya, wajar orang Minang tak lagi bisa bicara 
atau memberikan kontribusi ke tingkat nasional.



======================================================================
                       Alam Takambang Jadi Guru
======================================================================


_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com/intl.asp


RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke