AssWrWb Pak Jacky Mardono Tjokrodiredjo,


Karena dikirimkannya artikel tersebut kepada saya, serta dimintakan
pendapatnya, maka berikut ulasan singkat pendapat saya untuk itu.



Sebenarnya “inti masalah” pada artikel tersebut bukanlah langsung pada “
demokrasi”nya, namun pada *bagaimana peraturan-perundang undangan tersebut
diterapkan/dilaksanakan*, atau kemudian Bapak singgung tentang bagaimana
peraturan perundangan tersebut dibuat, diperbaiki atau diubah. Namun,
karena Ismail kemudian mengkaitkannya dengan tambahan keterangan “*negara
demokrasi” *sebagai alasan pembenaran dari kebijaksanaan Menkominfo, maka
memang tidak salah jika kemudian diskusi jadi lebih terfokus pada istilah
“demokrasi” atau “negara demokrasi” tersebut.



Ismail tampaknya tidak menerangkan dengan rinci beda esensi hukum atau cara
pelaksanaan hukum antara “negara yang demokrasi” dan ““bukan negara
demokrasi” tersebut, kecuali dengan sekedar contoh “kebijaksanaan open sky
policy” dan “kebebasan pers” untuk Indonesia serta “menyaring konten-konten
di internet secara masif sebelum disajikan ke rakyatnya” untuk
Tiongkok. Contoh-contoh
yang sangat sedikit ini tentulah tidak selalu dapat dijadikan dasar dari
karakter atau esensi hukum keseluruhan atau karakter suatu negara. Atau
memang statement tersebut secara tidak langsung dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa *“demokrasi itu *adalah* bebas dan terbuka”, *dan yang*
“bukan demokrasi itu *adalah* tertutup, dibatasi atau tersaring”, *atau
dengan kata lain dimaksudkan untuk menyatakan bahwa *esensi hukum
Indonesia* itu
adalah “*bebas dan terbuka*”, serta *Tiongkok* adalah “*tertutup, dibatasi
atau tersaring*” dan *kita tidak bisa keluar dari itu* ? *Wallahu a'lam
bissawab* …! Namun Ismail tidak secara tegas menyatakannya demikian.



Dari contoh yang dikemukakan oleh Ismail sendiri, yakni pelaksanaan di
Tiongkok dan Indonesia, *kedua-duanya diterangkan merujuk pada “Peraturan
Perundangan-an” yang berlaku di negara* masing-masingnya, meski dikatakan
bahwa Tiongkok “bukan negara demokrasi” sedang Indonesia disebutkan
sebagai “negara
yang demokrasi”. Dalam konteks ini, sebenarnya alasan pembenarannya
terhadap kebijaksanaan Menkominfo tersebut, *tidak ada hubungannya secara
langsung *dengan* “status demokrasi *atau* tidaknya suatu negara”*, tapi
pada *“Peraturan Perundangan-an yang berlaku” *pada negara tersebut,
kecuali jika memang bermaksud hendak memberikan ciri atau status hukum
Indonesia dan menghubungkan seperti demikian.



Disini memang jadi timbul permasalahan terhadap kebijakan penolakan
tersebut, dimana di satu sisi disebutkan adanya “open sky policy” dan
“kebebasan
pers” sebagai landasan alasan pembenarannya, namun di sisi lain juga
terdapat cukup banyak peraturan perundang-undangan lain yang *menjaga*
“kemashlahatan rakyat banyak” serta *memproteksi* “ketahanan, pertahanan
dan keamanan negara serta masa depan bangsa” yang sebenarnya juga terkait
dengan bahasan masalah diatas. Disinilah salah satu sumber masalahnya jika
mengadopsi suatu sistem hukum dan kenegaraan yang “ambigu”  atau “KURANG
KONSISTEN” nilai-nilai KEADILAN, KEBAIKAN dan pelaksanaan “untuk *SEBESAR*-
*BESAR* KEMAKMURAN RAKYAT”nya, atau jika disempurnakan dalam “bahasa” Islam
(Al Qur’an) sebagai “KEADILAN, KEBAIKAN (Amar Makruf Nahi Mungkar) untuk
tujuan “Rahmatan Lil A’lamin”.



Dalam konteks diatas, setahu saya, tidak ada suatu aturan mainpun dalam
peraturan perundangan-an yang berlaku yang menyatakan secara tegas dan
definitive bahwa bentuk atau status negara, sistem hukum atau esensi hukum
Indonesia adalah “demokratis” atau kemudian disamakan dengan “kerakyatan”.
Di dalam peraturan perundangan-an yang berlaku (khususnya Pancasila dan
UUD’45) tidak kita temui adanya istilah “negara demokratis”, “negara
kerakyatan”, “hukum demokratis” atau “hukum kerakyaran”.



Kalau saya tidak salah, dalam kedua landasan hukum RI (Pancasila dan
UUD’45), istilah “KERAKYARAN” sendiri hanya ditemui SATU KALI, yakni pada *sila
ke 4 Pancasila:*



“*KERAKYATAN* yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”



Sedang istilah “DEMOKRASI” sendiri, juga hanya ditemui SATU KALI pada
Perubahan Keempat UUD 45, yakni pada *BAB XIV - “PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL, Pasal 33, ayat 4 :*



(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas *DEMOKRASI* ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi *berkeadilan*, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ****)



Catatan:

****): Perubahan Keempat UUD 45



Dengan rujukan pada sila ke 4 Pancasila diatas, bisa saja kemudian menyebut
Indonesia sebagai “Negara Kerakyatan”. Namun agaknya juga perlu terlebih
dahulu menegaskan dan menetapkan hal yang demikian, dengan sebelumnya
mendefinisikan kata “kerakyatan” serta “Hikmah Kebijaksanaan” tersebut
dengan tegas, definitive dan tidak ambigu sehingga juga dapat dimengerti
dengan “jelas dan tidak ambigu”.



Repotnya, kata “kerakyatan” pada sila 4 Pancasila ini lalu hilang ditelan
“angina” pada Perubahan Keempat UUD’45 tersebut. Namun, lalu muncul kata
baru “DEMOKRASI” (yang dianggap bermakna sama dengan “lerakyatan”?). Kata
baru ini bukanlah berasal dari bahasa Indonesia atau atau bahasa-bahasa
asli daerah di Indonesia yang dapat dipahami oleh rakyat Indonesia dengan
lebih mudah. Kata “DEMOKRASI” pun hanya ditemui SATU KALI di dalam Perubahan
Keempat UUD’45 tersebut, sehingga tidak mungkin menemukan makna “umum” atau
“generik”nya selain makna “khusus” untuk pemakaiannya pada “*DEMOKRASI*
ekonomi” diatas. Juga tidak disebutkan atau ditetapkan adanya keterkaitan
antara kata “kerakyatan” dan “demokrasi” tersebut.



Bisa-bisa saja kemudian kata “DEMOKRASI” yang hanya dipakai untuk
menerangkan “perekonomian” sebagai suatu sub-sistem kenegaraan ini diangkat
statusnya sehingga jadi melekat sebagai karakter pada sistem yang lebih
besar (negara) sehingga menjadi, NEGARA DEMOKRASI. Namun agaknya juga perlu
terlebih dahulu menegaskan dan menetapkan hal yang demikian, dengan
sebelumnya mendefinisikan kata-kata “DEMOKRASI” atau “DEMOKRATIS”
tersebut dengan
tegas, definitive dan tidak ambigu, sehingga juga dapat dimengerti dengan
“jelas dan tidak ambigu”.



Jika seandainya kata “DEMOKRASI” atau “DEMOKRATIS” bermakna sama dengan
kata “KERAKYATAN”, kenapa hampir tidak pernah terdengar atau terlihat
dipakainya istilah NEGARA KERAKYATAN ? Kecuali oleh orang-orang atau
aktivis yang menginginkan diterapkannya SISTEM EKONOMI yang ADIL, kenapa
banyak para “pakar” atau pihak lainnya lebih sering menggunakan
istilah “DEMOKRASI”
atau “DEMOKRATIS” dibanding kata “KERAKYATAN”, jika maknanya sama ? Apa
karena yang satu dianggap lebih “up to date” dan yang lainnya sudah
ketinggalan zaman, atau yang satu lebih keren, dan yang lainnya lebih
kampungan ? *(saya berandai-andai dan bertanya karena saya memang tidak
tahu persis makna definitive dari kedua kata ini).*



Juga, kenapa istilah-istilah lainnya yang sebenarnya juga mencirikan
Pancasila seperti misalnya “Negara (ber) Kemanusiaan”, “Negara ADIL atau
Negara Berkeadilan, “Negara Beradab”, “Negara Bijak” atau “Hukum Yang ADIL
atau Hukum Berkeadilan, “Hukum Yang Beradab”, “Hukum Yang Bijak”, hampir
tidak pernah dipakai untuk mencirikan atau menerangkan negara atau hukum di
Indonesia ?



Mengingat dibutuhkannya intelektual dengan tingkat yang cukup tinggi serta
kemungkinan timbulnya potensi pengertian yang “ambigu” dari kebanyakan
istilah-istilah lainnya, serta menimbang bahwa kata sifat aktif yang paling
banyak dipergunakan serta lebih mudah dimengerti oleh semua lapisan
masyarakat pada sila-sila Pancasila adalah kata “ADIL”, demikian juga
karena alam semesta diciptakan dengan sifat “ADIL” (atau “seimbang”), maka
saya menyarankan agar kata “ADIL” ini hendaknya dapat menjadi prioritas
utama untuk dipergunakan dalam sistem dan sub-sistem kenegaraan dan hukum
serta segala macam keterangannya.



Jika kata-kata lain dengan pengertian di luar KEADILAN, KEBAIKAN (Amar
Makruf Nahi Mungkar), “untuk *SEBESAR*-*BESAR* KEMAKMURAN RAKYAT” atau Rahmatan
Lil A’lamin dipakai sebagai ciri atau kharakter suatu sistem atau
sub-sistem hukum atau kenegaraan, maka pengertian dan pelaksanaannya akan
berpotensi keluar dari keluhuran nilai-nilai ini. Dan, ujungnya adalah
CHAOS/HURU-HARA atau PENGRUSAKAN/PENGHANCURAN.



Jika bukan “Hukum/Negara Yang Adil” atau dengan nilai-nilai serupa yang
dipergunakan, tentulah bisa menjelma menjadi ““Hukum/Negara Yang Tidak
Adil”. Dan, nampaknya inilah yang sedang berjalan di negara tempat kita
hidup bersama dan sama-sama kita cintai ini.



Sesungguhnya, ketiga kata inilah yang sebenarnya membedakan
komponen-komponen antara satu ideology dengan ideology lainnya, satu sistem
hukum dengan sistem hukum lainnya, satu satu sistem adat dengan sistem adat
lainnya, sistem kehidupan dengan sistem kehidupan lainnya dan satu agama
dengan agama lainnya.



Suara seorang rakyat, apalagi suara rakyat banyak yang sinergi dan
mendukung nilai-nilai pertumbuhan kebaikan diatas tentu saja harus
didengarkan atau bahkan dilaksanakan oleh pemimpin (dalam konteks
bernegara, pemimpin resmi adalah pemerintah beserta segenap aparatnya)
sesuai dengan tingkat prioritas pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Namun
demikian, sebagaimana diperlihatkan oleh realitas sepanjang sejarah
dimanapun dimuka bumi bahwa “kebanyakan orang atau masyarakat banyak itu
pengetahuannya jauh lebih sedikit daripada sedikit para ahli”. Dengan
demikian tidak bisa tidak hal ini selanjutnya juga akan berarti,
“menyerahkan pengambilan keputusan untuk kemashlahatan bersama kepada orang
banyak” atau juga “mengikuti kemauan orang banyak” dapat berarti
“menyerahkan pengambilan keputusan untuk kemashlahatan bersama kepada
orang-orang yang kurang pengetahuannya” atau juga “mengikuti kemauan
orang-orang yang kurang pengetahuannya”.



Jika aturan main seperti ini diterapkan di dalam kelompok atau organisasi
apapun, ujungnya adalah kehancuran untuk semua.anggota kelompok ybs. Aturan
main dalam pengambilan keputusan seperti “suara terbanyak adalah pemenang
dan harus diikuti” tersebut tidak bisa diterapkan dalam keluarga, ormas,
perusahaan, korps, pemerintahan dll.nya jika diinginkan suatu suatu
kelompok yang tumbuh dan berkembang. Jika aturan main seperti ini dianggap
benar,apalagi terbaik, kenapa hamper tidak ada keluarga atau perusahaan
yang menerapkannya ? Kenapa organisasi pemerintahan, termasuk POLRI, AD, AL
atau AU tidak menerapkannya di dalam sistem pengambilan keputusan internal
mereka ?



Namun, kenapa kemudian, aturan main yang memiliki dampak “destruktif” ini
lalu jadi dirasa baik atau terbaik untuk diterapkan dalam konteks
kemasyarakatan atau kehidupan social yang lebih besar ?



Dengan demikian, “suara orang banyak bukanlah suara Tuhan, bahkan adalah
sebaliknya”. Suatu keputusan, apalagi menyangkut kemashlahatan orang banyak
atau bersama, haruslah diambil oleh para ahlinya. Namun, memang bisa
manjadi masalah jika “para ahli” ini tidak memegang nilai-nilai KEADILAN
dan KEBAIKAN untuk tujuan RAHMATAN LIL ALAMIN tersebut. Namun, tentu saja
solusinya bukanlah dengan kembali ke zaman jahiliyah yang memberikan hak
pengambilan keputusan kepada kebanyak orang yang kurang mengetahui itu.



Semoga tanggapan ini bermanfaat kiranya untuk membantu meluruskan yang
bengkok, membuat terang bagi yang selama ini kabur atau menjadi lebih jelas
mana yang jantan atau betinanya.



Seandainya ada diantara butir-butir bahasan diatas yang salah ketik, kurang
sempurna atau memang kurang atau tidak benar adanya, mohon bantuannya untuk
memperbaiki dan menyempurnakannya serta memaafkan ketidak-sempurnaan itu.
Terima kasih !





Salam Z

2016-06-08 9:20 GMT+07:00 Jacky Mardono Tjokrodiredjo <
jackymard...@yahoo.com>:

>
>
>
> ----- Forwarded Message -----
> *From:* "Jacky Mardono Tjokrodiredjo jackymard...@yahoo.com
> [theAtjehofficer]" <theatjehoffi...@yahoogroups.com>
> *To:*
> *Sent:* Wednesday, 8 June 2016, 8:59
> *Subject:* [atjeh.officer] Kebebasan Individu dan demokrasi
>
>
>
> Nampaknya perlu di jelas kan, antara demokrasi dan *kebebasan individu*.
> Demokrasi artinya adalah *pemerintahan yang mengakomodasi kepentingan
> demos atau rakyat.*
>
> Jadi *kebijaksanaan pemerintahan ada di tangan rakyat.*
>
> Hal ini sesuai dengan undang-undang dasar kita.
>
> Kalau rakyat dalam arti “mayoritas” rakyat menghendaki agar situs google
> dan youtube dibatasi, pemerintah harus memenuhinya.
>
> Demokrasi bukanlah  berarti adanya kebebasan mutlak bagi individu, jadi
> penjelasan pemerintah dalam hal ini tidaklah tepat.
>
> Pembatasan terhadap google dan youtube sama dengan pelarangan peredaran
> narkoba!
>
> Masalah ini bukanlah masalah untuk pemerintah saja, tetapi sudah masalah 
> *undang-undang
> yang harus dibahas oleh legislative.*
>
> Kalau memang rakyat menghendaki adanya pembatasan terhadap google dan
> youtube, para wakil rakyat wajib merumuskan dalam bentuk undang-undang.
>
> Sependapatkah anda dengan artikel di bawah ini?
>
>
>
> Wassalam,
>
>
>
> Jacky Mardono
>
>
> http://news.detik.com/berita/3227854/kemenkominfo-tak-mungkin-kabulkan-permintaan-icmi-blokir-google-dan-youtube
>
> Kemenkominfo: Tak Mungkin Kabulkan Permintaan ICMI Blokir Google dan
> YouTube
>
>
>
> Jakarta - Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendesak agar
> pemerintah memblokir situs Google dan YouTube. Kementerian Komunikasi dan
> Informasi tegas menolak desakan itu.
>
> "Indonesia adalah negara demokrasi dengan kebijakan open sky policy,
> terbuka. Kita tidak mungkin melakukan itu (memblokir Google dan YouTube),
> karena itu menyangkut kebebasan pers juga," kata Kepala Pusat Informasi
> dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu kepada detikcom, Rabu
> (8/6/2016).
>
>
>
> Indonesia, dijelaskannya, bukanlah seperti Republik Rakyat Tiongkok yang
> bisa menyaring konten-konten di internet secara masif sebelum disajikan
> ke rakyatnya. Undang-undang di Indonesia tak bisa melegitimasi
> pemblokiran sebagaimana yang diusulkan ICMI.
>
>
>
> "Kita negara yang demokratis, tidak bisa menyaring semua konten baru bisa
> dilepas. Kalau di Tiongkok, dia *negara punya kewajiban* yang dibenarkan
> Undang-undang*, dia bukan negara demokrasi* (dalam artian demokrasi
> seperti di Indonesia -red)," kata Ismail.
>
>
>
> Terlebih lagi, Google dan YouTube juga bukanlah situs yang sengaja dibikin
> untuk menyuguhkan konten negatif, misalnya kekerasan dan pornografi. Lewat
> situs itu, masyarakat bahkan bisa belajar, menunjang aktivitas pendidikan,
> mendukung geliat ekonomi, dan kegiatan berguna lainnya.
>
>
>
> Tidak dipungkiri, masyarakat juga banyak menemukan informasi yang
> bermanfaat," kata Ismail.
>
> (Baca juga: ICMI Minta Pemerintah Blokir YouTube dan Google)
>
> ICMI mendesak pemerintah agar menutup YouTube dan Google karena situs ini
> disorotinya memuat konten pornografi dan kekerasan. Lewat Sekjen ICMI Jafat
> Hafsah, *situs itu dinilai telah bebas dan tanpa kontrol memaparkan
> dampak negatif bagi Negara*. Pemblokiran video radikalisme di Google dan
> YouTube diprotesnya hanya sementara, dan saat ini Google dan YouTube
> dinilai sudah enggan menghapus konten negatif semacam itu.
>
> "Kita belum melihat rekomendasinya," tanggap Ismail.
> __._,_.___
> ------------------------------
> Posted by: Jacky Mardono Tjokrodiredjo <jackymard...@yahoo.com>
> ------------------------------
> Reply via web post
> <https://groups.yahoo.com/neo/groups/theAtjehofficer/conversations/messages/26896;_ylc=X3oDMTJyajNucGg5BF9TAzk3MzU5NzE0BGdycElkAzI0MDg1Mzc2BGdycHNwSWQDMTcwNTA1OTM1NARtc2dJZAMyNjg5NgRzZWMDZnRyBHNsawNycGx5BHN0aW1lAzE0NjUzNTExNzk-?act=reply&messageNum=26896&soc_src=mail&soc_trk=ma>
> • Reply to sender
> <jackymard...@yahoo.com?subject=Re%3A%20Kebebasan%20Individu%20dan%20demokrasi>
> • Reply to group
> <theatjehoffi...@yahoogroups.com?subject=Re%3A%20Kebebasan%20Individu%20dan%20demokrasi>
> • Start a New Topic
> <https://groups.yahoo.com/neo/groups/theAtjehofficer/conversations/newtopic;_ylc=X3oDMTJmcDRxYmttBF9TAzk3MzU5NzE0BGdycElkAzI0MDg1Mzc2BGdycHNwSWQDMTcwNTA1OTM1NARzZWMDZnRyBHNsawNudHBjBHN0aW1lAzE0NjUzNTExNzk-?soc_src=mail&soc_trk=ma>
> • Messages in this topic
> <https://groups.yahoo.com/neo/groups/theAtjehofficer/conversations/topics/26896;_ylc=X3oDMTM3YWNnZ3A1BF9TAzk3MzU5NzE0BGdycElkAzI0MDg1Mzc2BGdycHNwSWQDMTcwNTA1OTM1NARtc2dJZAMyNjg5NgRzZWMDZnRyBHNsawN2dHBjBHN0aW1lAzE0NjUzNTExNzkEdHBjSWQDMjY4OTY-?soc_src=mail&soc_trk=ma>
> (1)
> ------------------------------
> Have you tried the highest rated email app? <https://yho.com/1wwmgg>
> With 4.5 stars in iTunes, the Yahoo Mail app is the highest rated email
> app on the market. What are you waiting for? Now you can access all your
> inboxes (Gmail, Outlook, AOL and more) in one place. Never delete an email
> again with 1000GB of free cloud storage.
> ------------------------------
> Visit Your Group
> <https://groups.yahoo.com/neo/groups/theAtjehofficer/info;_ylc=X3oDMTJmODRsNWExBF9TAzk3MzU5NzE0BGdycElkAzI0MDg1Mzc2BGdycHNwSWQDMTcwNTA1OTM1NARzZWMDdnRsBHNsawN2Z2hwBHN0aW1lAzE0NjUzNTExNzk-?soc_src=mail&soc_trk=ma>
>
>
> [image: Yahoo! Groups]
> <https://groups.yahoo.com/neo;_ylc=X3oDMTJlNWNuMGQwBF9TAzk3MzU5NzE0BGdycElkAzI0MDg1Mzc2BGdycHNwSWQDMTcwNTA1OTM1NARzZWMDZnRyBHNsawNnZnAEc3RpbWUDMTQ2NTM1MTE3OQ--?soc_src=mail&soc_trk=ma>
> • Privacy
> <https://info.yahoo.com/privacy/us/yahoo/groups/details.html?soc_src=mail&soc_trk=ma>
> • Unsubscribe
> <theatjehofficer-unsubscr...@yahoogroups.com?subject=Unsubscribe> • Terms
> of Use
> <https://info.yahoo.com/legal/us/yahoo/utos/terms/?soc_src=mail&soc_trk=ma>
>
> .
>
> __,_._,___
>
>
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke