Ambo baru tau, bahwa tradisi gotong royong bagi kaum ibu-ibu di Ranah
namonyo "Bahondoh Bararawai", kalau dikampuang ambo waktu ketek2, kegiatan
coiko namonyo "pugaghi", misalnya arisan ibu2 dalam turun kesawah seperti
bertanam atau basiang.

Dibawah ko adalah tradisi/adat istiadat Bahondoh Bararawai yang didapek dari
http://www.wahana-budaya-indonesia.com

Salam
======

Bahondoh Bararawai adalah tradisi gotong royong padusi minang dalam
melakukan pekerjaan besar didunia pertanian. Bahondoh artinya berbondong
bondong, sedangkan bararawai adalah bersorak sorei dan bergembira ria.
Simaklah artikel dibawah ini yang telah ditulis oleh Sdr. Nelson Alwi yang
berdomisili di Kota Padang pada Harian Nasional Suara Karya, Sabtu, tanggal
23 Agustus 2008. Apa dan bagaimana kegiatan bahondoh - bararawai itu,
kemudian diedit oleh ~padusi~ seperti artikel berikut ini.

Kaum padusi di lingkungan keluarga petani di Ranah Minang, pada umumnya
mempunyai tugas mengantar nasi atau minuman kopi (juadah) ke sawah atau
ladang, untuk melakukan pekerjaan bertanam, bersiang dan sekian banyak
pekerjaan tergolong ringan lainnya yang dilakukan disawah atau diladang.
Keunikannya, secara berkelompok para ibu itu bergotong royong melakukan
pekerjaan yang tergolong berat, dalam rangka mengolah lahan pertanian yang
baru selesai dipanen. melalui bahondoh (sejenis arisan). Kita mengenal
istilah bahondoh pondoh yang bergotong royong dan berbondong bondong menuju
sesuatu yang akan dicapai.

Umumnya kaum ibu yang sudah tidak memiliki suami, atau sejumlah ibu-ibu yang
sebagian besar sudah menjanda banyak terlibat dalam kegiatan
kegotongroyongan ini. Mereka - berkongsi menggarap sawah mereka. Arti Kongsi
yang sebenarnya, ialah perkumpulan. Perkongsian mereka bentuk agar secara
begilir mereka dapat melakukan pekerjaan besar. Hari ini mereka memangkur
(memacul) di sawah si "A", besok di sawah "B", lusa di sawah "C", dan begitu
seterusnya, sehingga sawah semua peserta kongsi mendapat giliran.

Nah. Di areal persawahan di pinggiran Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung
Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, kita dapat menyaksikan dan
sekalian mendengarkan ibu-ibu kelompok bahondoh itu berbararawai alias
melantunkan larik-larik berikut bait-bait pantun (berbalas) yang serba
komplit, mengandung renungan-renungan tentang suka-duka hidup dan kehidupan
yang menariknya dilontarkan secara kocak disertai senda-gurau.

Ujan paneh di Balai Salasa
urang batuduang daun taleh
Kami batanyo usah baa
Sia nan mambalian gigi ameh

(Hujan panas di Balai Selasa, orang bertudung daun talas, Jangan tersinggung
kami bertanya, Siapa yang membelikan gigi emas)

Pantun di atas dikumandangkan sembari mengayun cangkul membalikkan kulit
bumi. Dan lazimnya, kuplet tersebut disambut dengan kuai alias sorak-sorai
"ha-haaai yeh" atau "huuuui yeh". Adapun si "gigi emas" yang memang sedang
berada di tengah kaum ibu yang lagi bahondoh itu, tersipu sejenak untuk
kemudian membalas (pantun) dengan bijak dan tangkas,

Paku baradai ikan taweh
dilapah urang di ateh parau
Inyo nan maagiah gigi ameh
tiado urang nan alun tau

(Pakis digulai ikan tawes, dimakan orang di atas perahu, Dia yang memberi
gigi emas, tiada orang yang belum tahu)

Dan bait jawaban itupun ditimpali beramai-ramai dengan kuai serta koor
nyanyian yang begitu spesifik: "oooo bararawai lah bararawai". Kemudian,
dari bibir peserta bahondoh-bararawai yang nyaris tiada henti memangkur
tanah berair itu bermunculan syair-syair spontan ataupun pantun-pantun
gubahan penyair anonim yang telah diakrabi sejak lama oleh masyarakat
Minangkabau -yang sengaja saya kutip alakadarnya,

Sampuringeh di tapi aia
alah mati mako babuah
Ingek-ingek uda balaia
lauik sati rantau batuah

(Sampuringeh di tepi air, sesudah mati maka berbuah, Hati-hati kanda
balayar, lautan sakti rantau bertuah)

Ooo bawarawai lah bararawai
Tanang-tanang taluak Siboga
pandan bagaluik jo ujuangnyo
Sanangkan ati sanak ka tingga
inyo bajalan jo untuangnyo

(Tenang-tenang teluk Sibolga, pandan bergelut dengan ujungnya, Senangkan
hati saudara ditinggal, kasihmu berjalan serta untungnya)

Ooo bararawai lah bararawai

Memang, pantun dengan konotasi beragam (berbau ironi, sarkastik, dramatik,
romantik, dan melankolik) itu terus berkembang, dipelesetkan,
melenceng-lenceng: nasihat-menasihati, ajuk-mengajuk, goda-menggoda,
sindir-menyindir menguliti kekonyolan tingkah laku (ke)manusia(an) melalui
diksi idiomatikal lokalitas yang mengusung simbol-simbol yang dipetik dari
alam sekitar. Mengenai orang yang tak tahu menaruh sesuatu pada tempatnya,
misalnya:

Sikaduduak di tangah padang
ambiak daunnyo untuak ubek
Galak bakukuak ayam gadang
mancaliak itiak batangkelek

(Sikeduduk di tengah padang, ambil daunnya untuk obat, gelak terbahak ayam
jago, melihat bebek pakai bakiak)

Ha-haaai yeh.

Sementara tentang orang pelagak, cinta kasih serta kesetiaan, begini:

Anak cacak tabang ka Benteng
tibo di Benteng makan padi
Tan Baro rancak kupiah teleng
diresek saku indak barisi

(Anak cicak terbang ke Benteng, sampai di Benteng memakan padi, Tan Baro
gagah berkopiah teleng, dirogoh saku tidak berduit)

Huuuui yeh
Anak urang Sabu Andaleh
andak manjalang ka Kototuo
Bialah bansaik bialah pamaleh
ati den kanai kabaa juo

(Anak orang Sabu Andaleh, hendak pergi ke Kototuo, Biarlah miskin biarlah
pemalas, cintaku mendalam mau apa lagi)

Ha-haaai yeh
Ooo bararawai lah bararawai

Hal yang seyogianya dicatat, setiap bait puntun yang berisi dan disajikan
secara berkelakar, dengan kata lain mengandung kegembiraan seperti pantun
jenaka atau yang bertema cinta terhadap lawan jenis tapi dipelesetkan,
selalu disambut dengan kuai. Dan jika pantun itu ditimpali atau merupakan
pantun-berbalas maka akan diakhiri dengan kuai serta koor "ooo bararawai lah
bararawai".
Sedangkan pantun nasib, pantun nasihat berikut keseluruhan kuplet yang
relatif serius, senantiasa disudahi dengan nyanyian bernada spesifik "ooo
bararawai lah bararawai" saja. Demikianlah para ibu itu berpantun dan
berdendang diiringi kecipak cangkul menerpa tanah berlumpur, ditingkah
"mbuk-mbuk" siamang serta simpai di hutan di tepi kampung.

Tanpa terasa hari pun berangsur petang, namun "grup" bahondoh- bararawai itu
masih kelihatan gembira lagi bergairah. Mungkinkah bararawai berfungsi
sebagai perintang waktu atau untuk membunuh kemonotonan, kejenuhan dan rasa
penat? Entahlah.

Nelson Alwi, pencinta sastra-budaya, tinggal di Padang menyimpulkan. Pada
kesempatan ini saya tidak bermaksud mengajinya. Saya cuma sekadar memaparkan
"potret" salah satu sisi kehidupan kaum wanita di pedesaan, yang nyatanya
cukup akrab dengan (ke)seni(an). Tidak lebih. Menurut hemat saya, biarlah
"bararawai" atau tradisi "bahondoh-bararawai" ini ditangani sebagaimana
mestinya oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten: sosiolog, antropolog,
akademisi para peneliti pantun dan sastra daerah serta lembaga-lembaga
pemerintah seperti BPNST (Balai Pelestarian Nilai-Nilai Sejarah dan Tradisi)
yang tentunya merasa berkewajiban menginventarisasi aneka khazanah budaya
yang bertebaran di persada tercinta ini, yang meski bagaimana, mengandung
nilai-nilai luhur yang layak dikaji dan dilestarikan. Toh, bagi orang
seperti saya, yang penting tradisi bahondoh-bararawai itu masih berpantun
dan tetap survive sampai saat ini, dalam bahasa lain belum tergerus oleh
teknologi modern dan era global yang mengundang rasa gamang.

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.

Kirim email ke