Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
Senang juga kita membaca masalah kesehatan jiwa para caleg ini dari pakarnya, 
dr Pandu Setiawan,Sp KJ. Rupanya berbagai perangai aneh anggota DPR RI selama 
ini besar kemungkinan berasal dari gangguan kesehatan jiwa.
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca bahan-bahan tentang orang psikopat, 
sejenis gangguan jiwa yang berat, yang hebatnya, mampu menyembunyikan 
kejahatannya di balik sikap yang sopan dan perilaku yang correct. Saya 
benar-benar terkesima membaca literatur tersebut. Kasus yang mengemuka dalam 
hal ini adalah seorang kapten polisi di Jambi, yang berperilaku lembut dan 
santun, namun mampu membunuh korban-korbannya dengan cara yang amat biadab. 
Semacam gejala Dr Jekill and Mr Hyde.
Jika ada peluang nanti, rasanya pada suatu saat kita perlu mengundang beliau 
ini untuk memberikan pencerahan, bukan hanya tentang kesehatan jiwa para caleg, 
tetapi juga untuk kita-kita orang Minang, yang beberapa tahun yang lalu 
ditengarai oleh Dr Moh. Amir `dan Dr Saanin Dt Tan Pahlawan dapat mengidap 
semacam gangguan jiwa 'split personality', yang beliau namakan 'Padangitis' 
atau 'Minangitis'. 
Kita perlu tahu perkembangannya, masih ada, sudah sembuh, atau malah bertambah 
parah?


Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang Dalam, 
Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak" 
Alternate e-mail address: saaf10...@gmail.com;

saafroedin.ba...@rantaunet.org

Jiwa Sehat dan Bangsa yang Maju

Kompas, Minggu, 19 April 2009 | 04:19 WIB 

Maria Hartiningsih & Bre Redana
”Kita kehilangan momentum…, ” kalimat itu diucapkan berulang kali oleh dr Pandu 
Setiawan SpKJ (63). Ia tak habis pikir ketika beberapa koleganya ’meramaikan’ 
berita di media massa, dengan pernyataan akan menyiapkan ruangan khusus bagi 
calon anggota legislatif yang kalah dalam pemilihan umum. 
Beberapa minggu terakhir, media massa melemparkan isu tentang kemungkinan 
bertambahnya penghuni rumah sakit jiwa oleh calon anggota legislatif (caleg) 
yang kalah dalam pemilu. Memang kemudian diungkapkan fakta tentang caleg yang 
depresi dan datang ke rumah sakit jiwa (RSJ), bahkan ada yang bunuh diri. 
Namun, fakta itu tak bisa dipakai untuk mengandaikan seolah-olah caleg yang 
kalah dalam pemilu akan menghuni RSJ.
”Dalilnya bukan satu tambah satu sama dengan dua,” ujar dr Pandu, yang ditemui 
suatu petang, di Jakarta.
Namun, ia merasa tidak punya otoritas untuk menyalahkan media massa, yang 
tampaknya ’melompat’ dalam membuat kesimpulan, setelah terjadinya kasus-kasus 
gangguan jiwa berat dalam pemilihan kepala daerah. Yang ia sesalkan justru 
tanggapan beberapa psikiater, juga birokrat, meskipun seorang kolega yang 
dikonfirmasi mengatakan, pernyataannya ’dipelintir’ wartawan.
Tak hanya patologis
Menurut Pandu, "Seharusnya kita mengoreksinya karena ini momentum untuk 
menjelaskan secara proporsional cara pandang tentang kesehatan jiwa dan 
profesinya.”
Bagaimana cara pandang itu?
Kita, di bidang kesehatan jiwa, sangat yakin, kesehatan jiwa seorang caleg 
adalah faktor yang sungguh-sungguh harus dievaluasi. Artinya, tak hanya 
menghilangkan kemungkinan patologis, tetapi terutama jiwa sehat itu berpotensi 
untuk mengembangkan potensi dirinya dan satu kelompok legislator, baik fisik, 
intelektual, emosional, spiritual, dapat berkomunikasi dengan baik dan menjadi 
legislator yang baik. Kalau jiwanya terganggu, ia tak bisa mengembangkan 
potensi-potensi itu.
Basis dalam masyarakat bukan badan fisik yang sehat, melainkan kesehatan jiwa 
yang kuat. Kenapa? Karena semua hal yang diupayakan untuk meningkatkan 
pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, mengurangi pengangguran, dan mengejar 
ketertinggalan tak mungkin terjadi di suatu basis populasi yang ringkih 
kesehatan jiwanya. Basis ketahanan kita adalah kesehatan jiwa kita kuat. Dengan 
itu, kita bisa bergerak maju.
Adakah yang pernah coba dilakukan?
Kita pernah mencoba membuat instrumen untuk menggali potensi positif caleg. 
Kalau potensi itu bisa dikembangkan, diharapkan, dengan kekuasaannya, dia tidak 
memerintah, tetapi mengurus dengan benar dalam kapasitasnya sebagai wakil 
rakyat. Sayangnya, masukan kita tak direspons.
Jadi mungkin saja kita mendapatkan legislator yang tidak sehat jiwanya…
Yang sudah jadi kemarin kan banyak yang aneh-aneh, yang memperlihatkan 
ciri-ciri, bukan dalam konsep psikopatik murni, tetapi semacam ’soft 
psikopatik’, seperti pelecehan seksual, narkoba, judi, dan lain-lain. Mereka 
yang tertangkap melakukan tindakan tidak terhormat itu berarti kehormatan 
dirinya rendah. Kehormatan diri itu adalah salah satu ciri keadaban. Orang yang 
sehat jiwanya akan menghormati dirinya dengan berpikir baik, bertingkah laku 
baik dan sincere.
’Jambu mete’
Kesehatan jiwa seharusnya merupakan bagian integral dari konsep kesehatan. 
”Tetapi integralitas ini tak pernah diakui,” sergah Pandu, ”Kita sering 
mendengar pernyataan ’integrasi kesehatan jiwa ke puskesmas’. Artinya, 
kesehatan jiwa dianggap berada di luar, lalu diintegrasikan ke mainstream 
kesehatan.”
Pandu menyebutnya ’fenomena jambu mete’. ”Kesehatan jiwa itu seperti biji jambu 
mete yang berada di luar buahnya,” kata Pandu. ”Pandangan itu belum terkoreksi 
meski sudah dilakukan advokasi dan lobi ke berbagai pihak.”
Selama ini kesehatan jiwa memang kurang mendapat perhatian ya?
Kesehatan jiwa adalah basis untuk melihat seseorang akan jadi baik atau tidak. 
Kita melihat banyak orang pintar bicara, tetapi integritas personality-nya 
memble. Kekuasaan tak dimaknai untuk mengurusi rakyat, tetapi untuk menguasai, 
mengatur.
Ada fenomena menarik belakangan ini. Para elite politik, entah sengaja, entah 
di bawah sadar, memakai bahasa yang kabur, untuk menyembunyikan, mendistorsi, 
dan menghapus hal-hal yang seharusnya dikemukakan lengkap. Kalau manipulasi 
bahasa yang terus-menerus itu dianggap benar dan kemudian diterima sebagai 
kebenaran, ini mengerikan karena sebenarnya memperlihatkan jiwa yang tidak 
sehat dari orang itu.
Bisakah itu dilihat sebatas bahasa politik untuk konsumsi publik? Artinya, 
secara pribadi mungkin tidak demikian...
Ada dua kemungkinan. Kalau dia terus-menerus memakai cara itu, maka kemudian 
terinternalisasi, itu bahasa yang benar. Kedua, kalau ia punya idealisme 
mengurus rakyat, ada komponen yang mestinya tersirat, yaitu mencerdaskan 
rakyat. Maka, seharusnya ia berbicara apa adanya. Tidak membohongi.
Kita boleh optimistis karena rakyat sebenarnya jauh lebih cerdas. Mereka bisa 
menertawakan para elite itu. Tetapi, optimisme itu bisa luntur. Dalam konteks 
kesehatan jiwa, kalau hal tidak benar dilakukan terus-menerus, tanpa koreksi, 
dan prosesnya sistematis, berpotensi memengaruhi derajat kesehatan jiwa 
masyarakat.
Kira-kira situasi macam apa yang menyebabkannya?
Saya pakai analogi. Kita punya lembaga administrasi yang diharapkan menjadi 
ujung tombak reformasi birokrasi. Tahun 1989 saya sudah ikut sekolah 
penjenjangan tertinggi di situ. Tahun lalu, saya duduk mendengarkan lagi. 
Surprise karena tema yang diberikan sama saja, dan justru tidak mengungkit 
kinerja birokrasi.
Masalah lain, orang-orang muda yang masuk ke dalam suatu sistem yang didominasi 
kultur lama tak semuanya secara sadar bisa menjadi critical mass yang memberi 
warna lebih baik kepada DPR, misalnya. Kultur yang baik mesti ada rambu-rambu 
jelas, ada reward dan punishment, yang asumsinya bisa dijalankan Badan 
Kehormatan DPR, bukan malah melindungi tindakan-tindakan yang tidak baik.
’De-institusionalisasi’
Meski mencoba mencari formulasi lain, menurut Pandu, tema ’Nation at Risk’ 
dalam Konvensi Kesehatan Jiwa Nasional II tahun 2003 tetap relevan.
Pertanyaan apakah fenomena belakangan ini dan berbagai peristiwa sosial 
merupakan situs-situs penekan dan pengganggu yang berpotensi menggerogoti 
kesehatan jiwa masyarakat secara sistemik, memperlihatkan, masalah derita 
kejiwaan melampaui batas tradisi keilmuan dan profesi psikologi dan psikiatri. 
Sumber pemicu lainnya adalah meluasnya wilayah distress.
Menurut Pandu, kesehatan jiwa harus dipahami secara lebih utuh. Sekat-sekat 
yang mengurung masalah itu dalam pemahaman sempit, klinis-medis, harus 
diterobos. Pada saat bersamaan sebenarnya tengah berlangsung gerakan global 
yang mendorong de-institusionalisasi dalam psikiatri.
De-institusionalisasi berangkat dari kritik terhadap pemecahan masalah dalam 
paradigma psikiatri, kemudian mengembangkan suatu proses yang melibatkan 
seluruh subyek kesehatan jiwa, termasuk pasien dan keluarganya sebagai peserta 
aktif.
”Kita melawan stigma terhadap orang dengan gangguan kejiwaan, termasuk 
menggugat eksistensi RSJ yang sering tidak merespons HAM pasien. Di tingkat 
global, hal ini sudah berlangsung lebih dari 15 tahun,” ujar Pandu, seraya 
menjelaskan tentang Perhimpunan Jiwa Sehat.
Pengurus perhimpunan itu adalah pasien dan keluarganya. Profesional seperti 
dirinya hanya menjadi pendamping. ”Ketika bertemu Ketua Komisi IX, mereka 
bicara bagaimana diperlakukan di rumah sakit, bagaimana susahnya keluarganya. 
Hal seperti ini sudah berlangsung lama di forum-forum global,” lanjutnya.
Bagaimana seharusnya peran RSJ?
Anggaran kesehatan jiwa hanya sekitar 1 persen dari anggaran kesehatan. Sekitar 
96 persen dari 1 persen itu untuk RSJ, suatu institusi yang cost-nya tinggi, 
need-nya rendah. Hanya 8100 ’orang terpilih’ bisa masuk RSJ karena tempat tidur 
di seluruh RSJ hanya 8.100. Menurut studi di salah satu RSJ, dari 8.100 itu, 
sekitar 30-40 persennya diisi pasien kronis yang layak pulang, tetapi tak bisa 
karena keluarga dan masyarakat tak siap.
Apa maksudnya terpilih? Kembali ke soal caleg tadi. Kalau dia guncang karena 
kalah, ada lapis-lapis yang berfungsi, mulai dari keluarga, keluarga besar dan 
lingkungan sekitar, tokoh agama, dan lain-lain. Kalau tak berhasil, baru ke 
profesional. Itu pun tak harus rawat inap dan tak harus ke RSJ. Sekarang ini 
seperti nggampangke, ’saya siapkan ruang khusus untuk caleg.’ Ruangan di RSJ 
tak hanya untuk caleg gagal.
RSJ sekarang seharusnya menjadi institusi pembelajar baru. Tetapi, hanya dua 
dari empat RSJ besar milik Depkes yang tampaknya berjalan cepat. Dua lainnya 
sulit karena tak mudah mengubah mindset kepengurusan lama yang tak pernah 
terpapar dengan konsep-konsep pembelajaran.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke