Di Ladang Kekalahan,
Kekalahan Itu Ditambatkan
Oleh : Damhuri Muhammad 

Sabtu, 13 Juni 2009

"IA MALU karena sudah menjadi orang ladang," begitu dalil yang saya
dengar setelah saya bersusah-payah mencari musabab dari tabiat ganjil
sahabat saya semasa bersekolah di kampung dulu. Ia selalu beralibi untuk
menghindar dari saya. Padahal, setelah sekian lama kami tak berjumpa,
setelah saya beranak-pinak di tanah rantau, saya sangat merindukan
pertemuan itu.

 

Pada sebuah kesempatan pulang kampung itu, gelegak rindu saya padanya
hampir-hampir menyamai gairah rindu pada seorang kekasih yang telah lama
ditinggalkan. Maka, saya mulai bertanya-tanya: Apa yang salah dengan
"orang ladang"? Kenapa kawan saya itu harus menanggung malu hanya karena
ia "orang ladang"? Apakah "orang ladang" dan "orang rantau" (seperti
saya) sudah sedemikian terbelah bagai pinang dibelah dua? Apakah istilah
"orang ladang" telah tegak sebagai "kasta" rendah yang merepresentasikan
nasib yang kurang beruntung? Sementara "orang rantau" hendak
memperlihatkan sebentuk cita-cita, bahkan puncak pencapaian yang hendak
digapai oleh sebagian besar laki-laki Minang? Meski sesungguhnya, tidak
semua "orang rantau" terbilang mujur, banyak yang jadi orang, banyak
pula yang terpelanting sebagai pecundang. 

 

Saya tak pernah lupa, sahabat dekat yang kini malu bertemu saya itu,
dulu murid paling menonjol di kelas kami. Kecerdasannya melebihi
rata-rata kami. Cepat menangkap penjelasan guru, kuat daya ingatnya,
jago berhitung. Bila belum bisa disebut jenius, ia murid paling tanggap,
cepat dan tepat dalam setiap mata pelajaran. Itu sebabnya tidak ada yang
sanggup menumbangkan rekornya sebagai pemegang rangking satu di kelas
kami. Dari kelas 1 sampai kelas 6, ia pemegang tampuk juara abadi di
sekolah kami yang sederhana itu. Dengan potensi kecerdasan itu, saya
memperkirakan, kelak ia bakal jadi orang, tak mustahil bakal jadi orang
besar. 

 

Tapi, ia memilih menjadi "orang ladang", hidup di kampung, tidak seperti
saya yang memilih hengkang dari tanah kelahiran. Lalu, kenapa ia harus
malu bertemu saya? Saya mulai curiga, jangan-jangan "orang ladang" telah
menjadi metafora bagi ketidakmujuran nasib sejawat saya itu. Menjadi
"orang ladang" seolah-olah bukan lagi cita-cita luhur yang tertanam
sejak mula, tapi telah menjadi ranah pelarian bagi laki-laki Minang
untuk bersunyi-diri, "merayakan" kekalahan. "Akhirnya di ladang juga
mereka menambatkan kekalahan," begitu kira-kira ungkapannya. 

 

Ladang, sebagai "kampung halaman" orang-orang kalah inilah yang sedang
diteruka oleh penyair muda, Esha Tegar Putra lewat kumpulan sajaknya
Pinangan Orang Ladang (2009). Dari formulasi judulnya saja sudah tercium
aroma kekalahannya. Pinangan "orang ladang" dalam realitas keminangan
yang makin modern boleh jadi memang tidak lagi menggiurkan. Sebab, yang
lebih menjanjikan adalah pinangan "orang dagang", orang rantau yang
bahkan karena sedemikian menggiurkan, mereka tidak lagi meminang
sebagaimana lazimnya, melainkan dipinang, agar tidak keburu disambar
orang. 

Maka, kepenyairan Esha yang menyelami realitas ladang dapat ditimbang
sebagai bentuk "estetika keberpihakan" pada orang-orang ladang yang
dalam tradisi kepenyairan di Minangkabau hampir-hampir belum terjamah,
bila tak bisa disebut masih perawan. Tujuh petang adalah ia yang ingin
berladang/pada sebuah tanah yang bernama puisi/ yang berlari, yang
terhenti, ia tetap orang ladang. 

 

Bagi laki-laki Minang, merantau hampir-hampir menjadi keniscayaan,
keharusan yang sukar ditolak, atau semacam sisi lain dari "takdir"
malang laki-laki Minang, risiko yang mesti ditanggung akibat dalamnya
tikaman 'garis ibu' yang tak lekang dimakan waktu. Selepas akil baligh,
anak laki-laki dihalau ke surau. Mengaji, sekaligus tidur di surau. 

 

Di rumah-rumah yang halamannya lapang itu tidak tersedia kamar bagi anak
laki-laki, sebab kamar hanya diperuntukkan bagi anak perempuan. Maka,
berhimpitan-himpitanlah mereka tidur di surau, seperti ikan pindang
dalam wajan. Itu tak lama, hanya sampai mereka terbiasa jauh dari ketiak
emak, tak lama kemudian bakal tiba saatnya; merantau. Merantau bujang
dahulu, (sebab) di kampung perguna belum. Wejangan ini sudah menjadi
"lagu wajib" yang selalu didendangkan ibu-ibu di ranah Minang, hingga
anak-anak mereka berani merantau, terbang-hambur dari kampung. Tiada
tempat di rumah, lantas menggelandang ke surau-surau, setelah itu
merantau ke negeri orang, bukankah ini siasat pengusiran yang paling
santun? Meski ada yang tidak merantau-seperti sejawat saya, orang ladang
itu-kelak bila saatnya tiba, tetap saja (seolah-olah) merantau. Meski
tidak berlayar ke negeri seberang, mereka tetap bakal meninggalkan
rumah, hidup di rumah anak-bini. 

 

Tapi, itu tidak lama, hanya selagi tangan kuat mengayun cangkul,
menggarap sawah-ladang guna menghidupi keluarga. Bila tenaga mulai
berkurang, tulang-tulang mulai ringkih, mereka tiada berguna lagi.
Tengoklah betapa banyaknya peruntungan laki-laki Minang yang berakhir
menjadi duda-duda tua, tercampak dari rumah bini. Jalan satu-satunya
adalah kembali ke surau. Kecil di surau, setelah beranjak tua, kembali
ke surau, menunggu mati di surau. Mereka seperti merantau di kampung
sendiri. 

 

Lantaran surau sudah penuh-sesak, tentunya bukan oleh anak-anak mengaji,
maka sehimpun sajak dalam Pinangan Orang Ladang seperti sedang merambah
jalan baru, semacam ranah pelarian alternatif, yakni ladang. Lelaki tua
di surau lama/yang pandai mengaji nahu/pintar membuat syair melayu (ia
juga senang membuat lukah penangkap belut) adalah keturunan kavaleri
paderi/yang sigap melepas peluru dari dua bedil langsanya. (Sajak Surau
Lama). 

Mungkin surau-surau memang sudah usang dan lapuk, atau barangkali karena
terlalu dekat dari kampung, hingga orang-orang yang telah kehilangan
tempat berpulang itu tidak nyaman lagi terus-menerus dipergunjingkan.
Maka, akan lebih leluasa mereka bersunyi-sunyi di ladang. Kalaupun akan
membangun surau, tempatnya mungkin tidak lagi di tengah kampung, tapi
jauh tersuruk di tengah ladang, jauh dari keriuhan kampung, dari
pantauan orang-orang rantau yang di musim-musim tentu berkesempatan
pulang. 

 

Lelaki tua di surau lama/ia amat menyukai penyendiriannya di gubuk
betung pinggir lembah/ setiap kali bermenung ia selalu membayangkan
dirinya seorang yang juga seperti moyangnya, membuat benteng batu di
atas bukit kapur/sambil memanggul dua bedil langsa di punggung/agar
kampung tak disinggahi para penyamun dan perompak gila. Diksi-diksi
nostalgik dalam sajak "Suaru Lama" ini sebentuk watak apologetik "orang
ladang" dalam menyikapi realitas kekalahan yang harus diterimannya
dengan lapang dada. Sebagaimana lelaku orang-orang sepuh, yang gandrung
mengunyah-ngunyah kembali kehebatan dan sepak-terjang di masa muda.
Maka, di ladang Esha mengenyambahkan kesadaran puitik, menangguk luka
dan nestapa orang-orang yang tercerabut dari tanah-pangkal, di sela-sela
derik kayu yang bergeser, rerimbun aur, dan tiupan angin lembah.
Barangkali memang tak selamanya puisi merayakan kemenangan sebagaimana
sajak-sajak "madh" di jaman kabilah-kabilah Quraisy abad ke-5 M, tapi
juga perlu merayakan kekalahan, sebagaimana kekalahan orang-orang ladang
itu. 

* Damhuri Muhammad Cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta 
Buku terbarunya; JURU MASAK (2009)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Budaya

 


The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you.

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke