Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

Carito iseng-iseng katiko awak maota pakaro PRRI (lo baliak)

SURAT JALAN
 
Sudah tiga bulan perang berlangsung. Perang antara tentara APRI yang datang 
dari ibu kota melawan tentara PRRI. Perang yang ganjil. Perang yang brutal dari 
pihak yang datang menyerang. Tentara PRRI banyak menghindar. Menghindar ke 
hutan, ke kampung-kampung yang jauh di pegunungan terpencil. Tentara APRI yang 
dijuluki rakyat dengan tentara pusat adalah tentara yang bengis dan tega. 
Mereka menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai tentara pemberontak. Kalau 
terjadi peperangan di dekat suatu kampung lalu ada tentara APRI yang terkorban, 
maka beberapa rumah di kampung itu dibakar. Itulah sebabnya tentara PRRI 
menghindar. Karena tidak mau mencelakai dan merugikan rakyat. Ketika PRRI 
menghindar, tentara APRI dengan mudah menguasai kampung dan nagari, membuat pos 
di kota-kota kecamatan. 
 
Syamsu batal ikut bergabung dengan tentara PRRI. Ada sebuah telegram dari 
kakaknya di Padang memberi tahu bahwa maknya yang sejak perang pecah tinggal di 
Padang, sedang sakit dan masuk rumah sakit. Dia diminta segera datang. Padahal 
teman-temannya sudah pada pergi semua. Ikut memanggul senjata. Ada delapan 
orang anak-anak muda yang masih sekolah di SMA, di STM dan SMEA dari kampung 
yang ikut bergabung dengan kompi Udin Pitok. Syamsupun sudah ikut mendaftar. 
Tapi tepat sehari sebelum dia seharusnya melapor di markas tentara itu di Lasi 
Tuo, telegram dari kakaknya itu datang.
 
Tidak mudah untuk bepergian ke Padang. Meski jarak Bukit Tinggi – Padang sejak 
dari perhentian oto di Bukit Tinggi sampai ke perhentiannya pula di Padang 
tidak lebih dari 91 kilometer. Oto bus NPM dapat menempuh jarak itu antara dua 
sampai tiga jam.  Yang lebih sulit adalah untuk mendapatkan surat jalan. Tanpa 
surat jalan yang ditandatangani komandan tentara APRI jangan dicoba-coba untuk 
bepergian antar kota. Apa lagi bagi seorang anak bujang mentah seusia Syamsu. 
Tanpa surat jalan, kalau ada razia di perjalanan, dia akan dituduh tentara 
PRRI. Akan dituduh tentara pemberontak. Kalau sudah dapat cap seperti itu dia 
bisa ditembak mati.
 
Tentara APRI sangat alergi dengan anak-anak muda seusia Syamsu. Di kampungnya 
sudah tiga orang yang mati ditembak tentara APRI. Anak-anak muda malang yang 
lari ketakutan ketika tentara APRI secara diam-diam datang masuk kampung. Dan 
anak-anak muda itu ditembak dari belakang di bagian kepala. Ada yang terkapar 
di batang air, ada yang tertelungkup di sawah bancah, ada yang tersandar di 
rumpun betung. Pada hal mereka tidak bersenjata dan lari benar-benar karena 
takut. Itu pulalah sebabnya kebanyakan anak-anak muda jadi benci kepada tentara 
pusat. Mereka beramai-ramai mendaftar untuk ikut berperang.
 
Syamsu harus pergi ke Padang menengok emaknya. Dia bergegas mengurus surat 
jalan. Yang pertama sekali adalah meminta surat pengantar di kantor wali 
nagari. Tidak sulit mendapatkan surat ini. Wali nagari menyatakan dalam surat 
keterangannya bahwa Syamsu akan meneruskan sekolah di Padang. Sekarang surat 
itu harus dibawa untuk mendapatkan pengesahan dari komandan tentara APRI di 
kecamatan.
 
Syamsu diantarkan wali jorong, yang masih terhitung mamaknya, ke kantor Buter. 
Buter adalah penguasa militer di tingkat kecamatan. Kantor itu menempati sebuah 
rumah tinggal. Di depan rumah ada gardu jaga dimana selalu ada seorang tentara 
bersiaga mengawal. Di teras luar rumah itu ada meja dan dua buah kursi. Dua 
orang tentara duduk disitu. Mereka adalah petugas piket. Siapapun yang ingin 
berurusan ke kantor itu harus melapor terlebih dahulu kepada tentara petugas 
piket ini. Agak terjarak ke samping ada dua buah bangku panjang tempat menunggu 
bagi orang yang ingin bertemu dengan komandan tentara. Ketika Syamsu sampai di 
kantor itu ada tiga orang wanita separuh baya duduk di bangku panjang. Mereka 
sedang menunggu untuk diwawancara. Mereka juga ingin mendapatkan surat jalan. 
Begitu ketentuannya kalau ingin mendapatan surat jalan yang ditandatangani 
komandan Buter.  
 
Wali jorong yang menemani Syamsu mendaftar melalui tentara piket itu, yang 
rupanya seorang OPR. OPR adalah tentara bantuan yang dibuat oleh APRI, berasal 
dari penduduk lokal.
 
‘Siapa yang hendak berurusan?’ tanya tentara OPR itu dalam bahasa Indonesia. 
 
‘Kamanakan wak ko ha,’ jawab wali jorong.
 
‘Di sika harus cara Indonesia!’ kata tentara OPR itu garang.
 
Mendengar kata-kata ‘disika’ satu di antara ibu-ibu yang sedang menunggu itu 
menahan tawa sambil menutup mulut.
 
‘Jangan gelak-gelak. Apa yang digelakkan?’ bentak tentara OPR ke arah ibu-ibu 
itu.
 
Si ibu itu menekur dan terdiam. Ibu yang satunya masih tersenyum.
 
‘Jangan cimees-cimees disika! Kesika mau mintak surat atau mau mencimees?. 
Kalau cimees-cimees nanti kamu tidak diagis surat.’
 
Perut Syamsu juga memilin mendengar kata-kata tentara yang gagah ini. Dia 
berusaha menekur menahan rasa geli.
 
‘Hang yang hendak berurusan?’ bentaknya pula ke arah Syamsu.
 
‘Iya, pak,’ jawab Syamsu.
 
‘Ada surat wali nagari?’ tanyanya pula.
 
‘Ada pak. Ini....’ Syamsu menyerahkan sebuah amplop.
 
Tentara itu membuka amplop dan mengeluarkan surat pengantar dari wali nagari. 
Diperhatikannya surat itu dengan bola matanya menari ke kiri dan ke kanan. 
Syamsu tambah sakit perut melihat tingkah tentara itu. Surat yang ditangan 
tentara itu terbalik.
 
‘Catat nama hang disika!’ katanya menunjuk ke sebuah buku tulis besar di atas 
meja di hadapannya.
 
Syamsu mengisi buku itu.
 
‘Catat apo keperluan hang!’ perintahnya lagi.
 
‘Sudah pak. Sudah awak tulis,’ jawab Syamsu.
 
‘Apa keperluan hang?’
 
‘Sudah awak tulis di dalam buku ini.’
 
‘Apa yang hang tulis? Mau mintak surat apa hang?’
 
‘Surat jalan, pak.’
 
‘Suratkan disika. Bahasa hang mintak surat jalan.’
 
‘Ini sudah awak tulis pak.’
 
‘Kalau sudah nantikan disinan!’ perintahnya pula sambil menunjuk ke bangku 
panjang.
 
Kedua lelaki itu pergi duduk ke bangku yang ditunjukkan. Lamat-lamat Syamsu 
mendengar kedua tentara itu berbicara setengah berbisik.
 
‘Indak ba hang do. Ba kau,’kata kawannya.
 
‘Maa lo jaleh di ang. Kau tu untuak padusi,’jawab tentara itu.
 
Dua orang tentara lain datang. Kedua tentara OPR itu berdiri dan memberi 
hormat. Rupanya yang datang itu komandan di kantor ini. Dia itulah yang biasa 
di sebut orang pak Buter.
 
Satu persatu ibu-ibu yang menunggu itu disuruh masuk menghadap komandan tentara 
tadi di dalam ruangannya. Masing-masing berada di ruangan itu sekitar sepuluh 
menit. Akhirnya sampai pula giliran Syamsu disuruh masuk.
 
‘Inya saja yang masuk. Engku indak berurusan jadi indak boleh masuk,’ tentara 
OPR tadi mengingatkan ketika dilihatnya wali jorong ikut pula berdiri.
 
Syamsu masuk sendirian. Dia mengangguk ke arah komandan itu. 
 
‘Ada perlu apa kau?’ bentak komandan tentara itu.
 
‘Awak mau minta surat jalan, pak,’ jawab Syamsu tenang.
 
‘Surat jalan apa? Kau ndak ikut berontak?’
 
‘Tidak, pak,’ jawab Syamsu.
 
‘Mana surat pengantar?’
 
Syamsu menyerahkan surat dari wali nagari. Tentara itu membacanya.
 
‘Dimana kau sekolah?’
 
‘Di SMA, pak.’
 
‘Dulu di SMA mana? Kenapa sekarang mau pergi ke Padang melanjutkan sekolah?’
 
‘Dulu di Bukit Tinggi, pak. Sekarang orang tua ada di Padang.’
 
‘Ada saudara kau yang ikut memberontak?’
 
‘Tidak, pak.’
 
‘Teman-teman kau?’
 
‘Tidak ada pak.’
 
‘Bohong kau! Banyak anak-anak muda seumur kau ikut-ikut pergi ke hutan. Masak 
di kampung kau tidak ada yang ikut?’
 
‘Awak tidak tahu pak,’ jawab Syamsu.
 
‘Untung kau masih punya otak, mau bersekolah. Kalau kau ikut-ikut memberontak, 
suatu saat kau akan terbunuh. Paham kau?’
 
‘Iya, pak.’
 
‘Kapan kau mau berangkat ke Padang?’
 
‘Segera, pak. Kalau bisa hari ini juga.’
 
‘Ya, sudah. Ini  tak tanda tangan. Jangan sampai hilang surat ini. Kalau ada 
razia di jalan, kau tidak punya surat, habis kau.’
 
Tentara itu menyerahkan surat jalan itu kepada Syamsu. Dia mengangguk kepada 
komandan tentara itu sebelum keluar.
 
‘Sudah selesai urusan hang?’ tanya tentara OPR lagi, begitu Syamsu keluar.
 
‘Sudah pak,’ jawab Syamsu.
 
‘Ndak pandai hang berterima kasih agak sedikit?’
 
‘Terima kasih banyak, pak,’ ujar Syamsu seramah mungkin.
 
‘Indak itu do. Tinggalkan tanda terima kasih agak sedikit,’ tambah tentara itu 
pula.
 
‘Maksudnya bagaimana, pak?’ Syamsu pura-pura tidak mengerti.
 
Tentara OPR itu menggesek-gesekkan tiga buah jari tangannya memberi isyarat. 
Bertepatan dengan itu komandannya keluar.
 
‘Kok belum pergi kau? Apa lagi?’ tanya komandan itu membentak Syamsu dengan 
mata melotot.
 
‘Sudah mau pergi pak,’ jawab Syamsu.
 
‘Kau siapa? Ada urusan apa?’ bentak komandan itu ke wali jorong.
 
‘Ambo wali jorong. Mengawani dia saja,’ jawab wali jorong dengan wajah pucat.
 
Kedua orang itu segera berlalu dari kantor Buter. Tentara OPR menggerutu dalam 
hati karena tidak jadi dapat tanda terima kasih.
 
 
                                                                        *****
 
 Wassalamu'alaikum,

 Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi 


      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke