Sebatang Lisong Untuk Mas Willy<http://esito.web.id/2009/08/sebatang-lisong-untuk-mas-willy/>by e.s. ito ~ August 7th, 2009
Menghisap sebatang lisong, tetapi kita tidak lagi bisa melihat Indonesia Raya dan tiada mampu lagi mendengar suara dari 250 juta rakyat; sementara para cukong, dan bukan 2-3 orang lagi, terus mengangkang berak di atas kepala mereka. Mas Willy, ini Lisong yang berbeda tetapi dalam kemuraman yang sama. Anak-anak SLA masih terus mengobel klentit ibu gurunya. Lulusan SLA semakin banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara ilmu yang mereka dapatkan tidak kunjung mampu memecahkan persoalan kehidupan. Kita masih terus membeli rumus-rumus asing tanpa pernah bisa merumuskan keadaan dengan cara kita sendiri. Inilah gambaran nyata dari persoalan serupa. Atas nama demokrasi, hak azasi bisa dikurangi. Yang penting sekarang bukanlah, apatah pembangunan berjalan sebagaimana rencananya tetapi apatah demokrasi sudah bisa meniru tingkah polah Paman Sam sana. Maksud baik semakin dicurigai, Mas Willy. Dan bila maksud baik itu terlaksana, orang akan bertanya; saudara bekerja untuk siapa dan keuntungan macam apa yang saudara terima. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Tentara-tentara berwajah jelek telah digantikan polisi-polisi berperut gendut. Tarifnya sama hanya penagihnya yang berbeda. Opsus telah berganti pengacara haus kasus. Kerjanya sama, menisbikan kebenaran sehingga tanda tanya berubah menjadi nominal angka. Cukong-cukong tidak lagi dari Amerika, Cina dan Jepang tetapi seluruh dunia dan manusia Indonesia yang mampu mengeruk apa saja dengan cara-cara buas. Dan tentu saja Mas Willy, semua itu tidak menjadi persoalan sebab para penyair semakin sibuk dengan anggur dan rembulan. Kesenian sudah pasti terlepas dari derita lingkungan. Televisi sudah membeli semuanya. Donor asing, tentu atas nama penghargaan seni, telah membeli setiap kata yang keluar dari mulut bisu. Kata-kata telah menjadi transaksi buta; perdagangan sampah yang menjadi lazim karena setiap pengucap kata butuh nasi bungkus di onggokan sampah kata-kata yang semakin meninggi. Ah Mas Willy, sekarang kau tidak lagi bisa menyumpah. Tiada lagi jeri bagi pengkhianat kata yang bisa kau maki. Tiba-tiba saja kehidupan jadi membosankan. Jenis pekerjaan semakin luas beraneka rupa tetapi tujuannya menyempit. Yang terhormat di bumi Indonesia ini, hanyalah bila kau bisa mengumpulkan uang banyak dengan cara apa saja sepanjang tidak merugikan dirimu sendiri. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Tidak akan ada lagi pamplet masa darurat. Sebab semuanya akan baik-baik saja, bila kau bisa makan enak, berak lancar dan bila itu tidak cukup; beratus kelab malam menunggumu, cukup pesan 2-3 pil ekstasi yang bebas dijual bandar, sisakan satu pil untuk perempuan yang putus harapan dan jeri mu selesai sudah; kau bebas bergoyang hingga bercinta di kamar mandi. Esok hari, makanmu mungkin kurang enak tetapi yang pasti berak mu semakin lancar. Mas Willy, di masa darurat ini pamplet-pamplet bebas beredar tetapi sayang tiada minat untuk memasangnya. Ini bukan masa darurat, jelas, ini bukan masa darurat; kami baik-baik saja, jauh lebih baik pada saat “meneken” pil ekstasi. Kami pemuda, jelas kami harapan bangsa. Dan bangsa ini akan lebih berharap kepada para pemuda yang bisa ngineks, ngiprit, nyimeng, nyabu dan jago nge*** sambil merekamnya dalam format 3gp. Ah, bukankah kami ini terlihat hebat mas Willy? Ayo di alam sana katakan, “Kalian adalah generasi yang hebat, oke punya. Kalian adalah pewaris Sukarno-Hatta. Kalian bukan lagi tiga, tetapi berjuta menguak takdir. Nasib kalian tidak akan seperti Paman Doblang!”. Tetapi tidak Mas Willy, aku tahu, jauh di alam sana yang jaraknya berlapis ajal, kau akan menangis untuk kami, “Kalian adalah generasi yang sakau akan teladan. Tanpa bimbingan menghadapi ujian kehidupan. Kalian menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan; tanpa ada bayangan ujungnya”. Inilah kami mas Willy, berjujur kata ku berungkap, generasi yang hilang ditelan oleh angan tidak berkesudahan. Kami telah mengganti Lisong dengan Bong. Pagi harinya kami masih berkata, ayo serahkan masa depan bangsa pada kami. Sungguh kurang ajar! Ada yang datang, ada yang pergi. Tetapi di negeri ini, yang datang tidak kunjung mampu menggantikan mereka yang pergi. Masa orang-orang besar telah lewat, Mas Willy mungkin jadi penutupnya. Kehilangan itu pasti, tetapi meneruskan semangat dan jiwamu itu yang semakin tidak pasti. Pada hari-hari dimana hujan merontokkan tekad besar dalam jiwa yang kering berlapis kulit legam; kami menari dalam sepi. Kesenian memang mulai terlepas dari derita lingkungan. Sebab kata tidak lagi berharga bila dia tidak bisa dijual menjadi nada yang enak di telinga. Pemikiran pun semakin terpisah dari masalah kehidupan. Sebab pikiran hebat adalah pikiran yang bisa menciptakan transaksi, mengedepankan angka-angka, menjadikan politik ilmu statistik dan tentu saja memelihara penderitaan si melarat supaya sistem bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bila kini engkau telah pergi Mas Willy, kepada siapakah kami mengadu; siapakah lagi yang bisa menghardik meja kekuasaan dan papan tulis yang macet? Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Dan inilah Lisong terakhir! Mas Willy, dalam hari-hari berkabung yang semakin memanjang ini, ijinkan aku mem-bakar-kan lisong terakhir ini untukmu. Dalam aroma tembakau yang merekah ini aku bersumpah untuk terus memelihara amarah, bersekutu dengan yang lemah, terus mencurigai kekuasaan dan memajang kembali “kata-kata” dalam pigura kemanusiaan. Sebab kata-kata akan kembali memperoleh kehormatannya bila kita semua percaya bahwa; kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Selamat jalan Mas Willy. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---