*Etika Politik; Sebuah Keharusan *

(Zubaidah Djohar, Peminat masalah sosial dan politik)



*Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang tuk
menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut,
menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya.. * Demikian catatan Iwan Fals dalam
“sumbang”nya.



Beragam penolakan, kecaman, kritikan pun muncul terhadap realitas politik.
Mulai dari talkshow, film, penelitian, penulisan opini, sajak, opera, hingga
syair bertemakan politik. Semua merupakan bentuk keprihatinan atas sikap
mayoritas pelaku politik yang sudah kehilangan arah dan makna.



Realitas politik yang banyak dipertontonkan sering tak mengenal etika,
keras, jahat, penuh perjudian, pengkhianatan, bahkan lebih tragis lagi,
pembunuhan. Maka tak heran, politik yang dipahami sebagian masyarakat, juga
demikian. Tak jarang dunia politik dijauhi, atau malah didekati untuk satu
tujuan, yaitu kekuasaan semata dengan kualitas moral yang minim sementara
kelompok yang berbeda harus dilawan, bahkan, dimusnahkan. Sesuatu yang juga
dikonotasikan dengan dunianya laki-laki.



Politik sering dilihat sebagai sebuah pertarungan kekuatan dan kepentingan.
Kecenderungannya adalah untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala
cara, sehingga tujuan politik yang menghasilkan kesejahteraan rakyat itu
hanya sebatas mimpi. Dunia politik juga dapat merubah kawan menjadi lawan,
dan sebaliknya, musuh menjadi teman untuk kepentingan individu dan golongan.
Bahkan, rakyat pun bisa menjadi sasaran permainan politik, martabat bangsa
digadaikan, dan harga diri dipertaruhkan.



Lantas, apakah demikian politik pada tataran substantif? Politikkah yang
jahat atau manusia yang tengah mengkambinghitamkan politik itu sendiri?
Mengapa politik jadi tak beretika? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari
kita lihat konteks politik sesungguhnya.



Secara etimologi, politik adalah strategi. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah
penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan daya pikirnya dalam
upaya proses perubahan. Secara terminologi, politik berarti memerdekakan
manusia dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan
kebodohan. Maka, pada tataran substansi, politik tentu tidak kejam, ia juga
tidak berisi permusuhan, apalagi penghancuran manusia. Politik mengenal
etika, justru peduli terhadap kaum minoritas, kaum tertindas, dan berbicara
atas kepentingan kolektif (masyarakat) secara jujur dan sungguh-sungguh.**



Makna politik sesungguhnya tidaklah sempit, tidak hanya sekedar menjadi
anggota dewan, anggota partai politik, dan duduk di jajaran eksekutif. Makna
politik itu lebih luas dari itu, bahkan menyangkut ruang privat sekalipun.
Dalam teori *personal is political*, gegap ruang privat ini makin nyata
menyentak. Ia memperkenalkan bahwa yang privat itu sama pentingnya dengan
yang public. Kehidupan rumah tangga juga politik. Persoalan perempuan jelas
urusan politik, begitu sebaliknya, ketika bicara politik, artinya (juga)
tengah membincangkan persoalan perempuan.



Politik bicara strategi, kepedulian, dan keadilan. Karena itu, sudah
sepatutnya kepedulian terhadap urusan domestic (rumah tangga) menjadi
kepedulian bersama laki-laki dan perempuan. Adapun strategi menyejahterakan
keluarga itu adalah, berkolaborasinya dua jenis manusia tersebut dengan
mengedepankan nilai-nilai penghargaan dan kesempatan, dan memberi hak atas
pilihan pribadi perempuan sebagai manusia yang mandiri. Bahkan, bagaimana
suara anak pun menjadi sesuatu yang penting untuk didengar.



Sedangkan politik dalam urusan public sering dimaknai dengan strategi untuk
mengutamakan dan mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di
dalamnya berisikan orang-orang yang berfikir tentang kondisi masyarakat,
menganalisa permasalahan yang membelenggu masyarakat, serta berupaya mencari
solusi yang terbaik bagi permasalahan tersebut. Ia mengurusi urusan rakyat,
bukan urusan diri dan golongan (partai). Kalau ini tidak dikedepankan,
jelaslah para politikus akan mengatasnamakan rakyat untuk tujuan-tujuan
kekuasaannya.



Eric Weil mendefinisikan politik sebagai suatu gerak yang berangkat dari
moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang Negara. Tentu saja ini
sangat berbeda dengan realitas politik yang tengah dipertontonkan banyak
politikus hari ini, seperti pertengkaran anggota dewan di depan
konstituennya, *money politic* yang telah mendarah daging, pembunuhan
karakter yang merajalela, penghamburan uang Negara yang dilegalkan dalam
undang-undang atau kebijakan, penghambaan terhadap penguasa, pengabaian hak
korban dan kelompok minoritas, intimidasi yang tak terkendali, serta
cara-cara yang tidak sehat lainnya.



Bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik, maka politik
beranjak dari moral. Moral inilah yang kemudian harus mengakar dalam cara
pandang pelaku politik yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan
dalam realitas politik yang santun, adil, setara dan bermartabat, serta
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.



Politik tak beretika, salah satunya adalah karena makna politik tidak lagi
dipahami sebagai sebuah distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya
adalah kesejahteraan rakyat. Berbicara politik lebih berorientasi untuk
mengejar materi yang jembatannya adalah kekuasaan itu sendiri. Politik pun
akhirnya bicara soal mata pencaharian yang instant. Kekuasaan politik
dikejar tak lebih untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan.



Budaya politik yang cendrung antagonis itu, pada akhirnya sering membenarkan
kekerasan sebagai panglima digjaya. Ketamakan dan kehausannya berwujud dalam
sikap korupsi, pengabaian kemiskinan, kesenjangan sosial, keberagaman, *
impunity* dan feodalisme kekuasaan yang mengangkangi hukum, dan pengabaian
pada sejarah kekerasan di masa lalu dengan mengubur ingatan sosial.



Untuk konteks ingatan sosial, mengungkap kebenaran terhadap kejahatan
kemanusiaan di masa lalu menjadi penting dengan tidak menutupnya dengan
kemandulan hukum terhadap kekerasan tersebut. Bila ini terjadi, sama
artinya, masyarakat tengah dihantarkan pada sebuah pemandangan tentang upaya
sistematik yang mencoba mengubur ingatan sosial mereka.



Paul Ricoeur dalam Oneself as Another (1992) berpesan tentang pentingnya
ingatan sosial tersebut dalam mewujudkan etika politik: *We must remember
because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims. And the
tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened,  by
remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the
victims twice; we also prevent their life stories from becoming banal,  and
the events from appearing as necessary.*



Lebih lanjut, ia berhujjah, dalam etika politik ada 3 tuntutan yang harus
dipenuhi, *pertama*, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, yaitu
dengan menghargai keberagaman manusia (suku, usia, dan jenis kelamin). *
Kedua*, upaya memperluas lingkup kebebasan. *Ketiga*, membangun
institusi-institusi yang adil. Insititusi-institusi yang adil bisa melalui
insitusi formal (pemerintahan) dan non-formal, seperti lembaga adat dan
agama.  Institusi ini diharapkan mampu menjembatani persoalan sosial yang
berbasiskan kesetaraan dan keadilan.



Mengingat tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan,
ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan,
maka banyak strategi yang harus dilakukan. *Pertama*, meretas etika politik
itu sedini mungkin melalui lingkungan keluarga: membiasakan pola relasi yang
seimbang antara dua jenis manusia, menghargai keberagaman, dan perbedaan
pendapat, terutama sejak anak-anak masih kecil.



*Kedua*, memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah
hingga dusun, lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan etika
politik di dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai, baik
AD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya. *Ketiga*, memperkuat
komunitas di tingkat akar rumput, terutama perempuan agar melek politik,
serta adanya peraturan yang tegas dan dijamin dalam hukum (berupa sangsi)
yang ketat terhadap proses-proses pengambilan kebijakan yang tidak
menyertakan perempuan di setiap institusi.



*Keempat,* perlu memotivasi perempuan untuk bersedia mengambil peran dalam
kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi kader
politik perempuan, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan keadilan
bersama, perempuan dan laki-laki. *Kelima*, yang lebih signifikan adalah,
membangun proses penyadaran akan pentingnya etika politik dalam setiap
lapisan masyarakat.



Terakhir, ingatan sosial terhadap kekerasan di masa lalu membutuhkan
pertanggungjawaban sebagai wujud dari sebuah etika politik, karena itu,
perlu tindakan kongkrit seluruh instansi, terutama pemerintah dalam
menyikapi situasi ini yang juga melibatkan komponen perempuan di dalamnya.
Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah politik yang beretika! (ZDj)

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Reply via email to