Da Iwan...

Disamping terhibur jo tulisan uda ko, banyak pemhetahuan dan pelajaran nan
bisa ambo pelajari.
Tarimokasih caritonyo da, dek uda alun juo mamulai cc kan ka palanta awak,
ambo fwd
Tulisan uda tentang urang nomor sati di Sumatra Utara ko.

Salam...

______________
Dari: Iwan Piliang

SKETSA : Minggu, 14 Desember 2008
Medan Berpengelola, Berkombur Malotup Bung!

TIGA PEKAN lalu,di saat jarum jam lewat dari pukul 00. Bersama kawan-kawan,
kami menikmati jajanan di deretan gerobak kaki lima di sebelah Hotel Formule
1, Jl. HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika penganan macam Bubur
Ayam, Sate Padang, Nasi Goreng, Ayam Panggang telah lelap ke perut,
tersisalah celotehan setelah midnight. 

Saya menyampaikan kepada empat kawan, soal jawaban pertanyaan bercandaan
dari kawan-kawan wartawan di Medan, mengapa mereka memilih Gubernur dengan
penampilan fisik macam Syamsul Arifin, berkulit gelap, berperut tambun,
berhidung besar, berpipi pun legam? 

Ada kawan wartawan di Medan menjawab jenaka. Ketika saya tuturkan kembali
kisah itu, empat teman kongkow yang mendengar terpingkal-pingkal. Salah
seorang sampai berurai airmata, memerut melilit menahan ria-tawa. 

SABTU, 13 Desember 2008, pukul 00.30 itu, di tempat yang sama, sosok yang
kami “gossip”-kan itu, kok bisa-bisanya ada. Syamsul Arifin, Gubernur
Sumatera Utara itu,sedang di depan hidung kami. Skenario ilahiah mengatur
kami “bertuah”. 

Saya berbisik kepada Surya Wijaya - - kawan pengusaha furnitur yang hari itu
baru saja datang lagi ke Jakarta, “Benar, kan, apa saya bilang tempo hari?” 

Surya tertawa. Kami cekikikan. 

Maya Lie, kolega Surya, ikut tersenyum melihat ke sosok Syamsul. Sang
Gubernur, senyam-senyum. Bisa jadi ia paham bahwa kami menertawakan kelucuan
wajahnya. Maka, Maya memberanikan diri mengulurkan tangan. Saya mengikuti,
dilanjutkan Taufik Hidayat, Wina Hendarti, dan Surya.. Kami berkenalan. Meja
pun kemudian menyatu bagaikan kilat. 

Keadaan macam di deratan meja lain. Di pelataran jalan itu, ramai anak muda
kongkow.. 

“Saya sudah berusaha ngumpet, mau cari makanan sendiri,“ ujar Syamsul. 

“Eh, ini, tak sengaja jumpa dua stafnya Pak Aksa Mahmud.” 

Aksa yang dimaksud adalah anggota DPR-RI, kerabat Jusuf Kalla itu. 

“Pak, saya masih ingat ketika Bapak debat calon Gubernur di Metro TV dulu,”
Maya bertanya dan menceritakan, ”Ada penanya, nanti jika Bapak terpilih
Gubernur, lalu apa menjadi berubah?” 

“Bapak jawab, apa yang mau aku ubah tampang aku sudah begini.” 

Syamsul tertawa. Kami gerrr. 

Ada lagi pertanyaan pemirsa teve yang diingat Maya. “Bagaimana konsep Bapak
memajukan Sumut?” 

“Bapak jawab, apa itu konsep, aku nggak punya itu konsep-konsep.” 

“Iya di kantor Gubernur, itu sudah banyak, bertumpuk itu konsep, konsep
apalagi, aku kan tinggal jalankan yang terbaik?” ujar Syamsul. 

Sepiring sate kambing dan sepiring nasi goreng sudah di hadapan sang
Gubernur ini. Sate Padang pun sudah di depan saya. Bubur ayam dan minutan
berdatangan. Ia memesan jus jambu. 

“Pak apa masih kuat makan sate kambing?” tanya Maya. 

“Aku baru saja check up. Semua bagus.” 

“Ada sembilan yang dicek. Kolesterol, normal. Ginjal normal, Jantung normal.
Cuma ada dua saja kesehatanku yang bermasalah.” 

“Iya dua saja yang bermasalah,” katanya meyakinkan sambil menatap kami
satu-satu, “Urusan darah muda, dan kalau sudah datang, maka timbul penyakit
berikutnya, jantung berdebar-debar.” 

Belum selesai dengan urusan penjelasannya, Syamsul menekan hidungnya yang
besar, sehingga kulit hidung bagian atas hingga menyentuh kelopak mata.
Sebuah lubang menganga, kebiasaan dan pemandangan langka. 

Semua kami terpingkal-pingkal. Syamsul ikut pula tertawa. 

Kami sangat tak menduga. 

Seorang pejabat. 

Baru pula kenal. 

Seakan tak percaya sosok di depan kami itu, benar-benar pejabat. Dua staf
Aksa Mahmud menimpali, bahwa Syamsul memang senang guyon dan gampang akrab.
Ia jika berkunjung ke kediaman SBY, juga JK selalu masuk lewat jalur khusus,
lewat belakang rumah. Ia mengenal pembantu, akrab dengan kalangan biasa di
kediaman pejabat. 

Penampilannya pun tak ubah orang biasa kebanyakan. 

Seakan belum puas mengocok perut kami, jurus Syamsul berikutnya mengajukan
teka-teki. “Banyakan mana bulu kucing dibanding kera?” 

Melihat kami belum satu jua pun menjawab, ia melanjutkan, “Jelas banyakan
bulu kucing. Kera di bagian pantatnya licin, bulunya nol.” 

Jawaban yang disampaikan tanpa dosa itu membuat perut kami kian sakit
menahan tawa.. 

Seakan belum puas, ia menimpali, “ Jangan kan kalian, pantat SBY pun
‘basah’ku bikin terpingkal-pingkal.” 

“Aku satu-satunya yang menyapa SBY; Bos! Bukan presiden” 

“Soalnya aku sudah lama kenal. Ibaratnya stock lama kemasannya aja baru.” 

Syamsul pun ngakak. 

Dua kalimat di atas itu disampaikannya tentu bukan bentuk merendahkan
presiden. Ia semata tulus menunjukkan keakraban dan kejenakaannya kepada
siapapun termasuk kepada kepala negara sekalipun. 

Syamsul memang “barang” langka. 

Dua bulan lalu saya pernah melihat penampilannya di airport Soekarno-Hatta,
Jakarta, ketika dia hendak pulang ke Medan. Ia bersandal kulit,, berpantolan
hitam berbaju batik coklat tua. Jika diperhatikan batiknya pun biasa, bukan
dari bahan berkelas. Yang membuat saya terganggu, di luar batik ia pun
mengenakan blazer hitam yang ber-resleting, dibiarkan terbuka. Jatuhan
blazer bagian luar, ujungnya tampak miring, karena selempangan sebuah tas
hitam biasa, macam yang suka diberikan gratis di event seminar itu. Cuek
sekali. 

Saya ingin menyapanya kala itu. Tetapi ia keburu ke gate lain, sementara
saya hendak menuju Jogyakarta. Kala itu dari jauh saja sudah membuat saya
tersenyum. Tetapi senyum yang tersembul kala itu, karena teringat akan joke
orang melayu Medan soal sosok keturunan India, Benggali, yang banyak mukim
di Medan. Umumnya mereka berkulit gelap macam Syamsul. 

Sebagian Benggali itu beternak sapi. Setiap hari pria Benggali itu memerah
susu. Ia mengantar kepada pelanggan. Satu hari di sebuah Lapo Tuak
langganan, seorang “jagoan” seakan tersinggung, karena sang Banggali,
melempar saja sepeda onta batangannya dengan sekenanya, di depan Lapo. 

Jagoan yang tidak senang menantang sang Benggali berbadan besar, berkumis
melingkar, bermata besar, adu jotos. 

Benggali bilang, “Oke, tapi jangan hari ini, Besok jam 10, karena susu
pelangganku belum seluruhnya terantar ke pelanggan, besok aku siap.” 

Mereka sepakat. Keesokannya, tepat waktu, sang jagoan yang bermarga
Situmorang sudah menunggu dengan lengan terkepal, muka geram. Setelah ke
dalam lapo tuak menuangkan susu, Benggali itu maju berhadapan ke muka
Situmorang. Pengunjung mengerubung. 

“Jadi macam mana? Mentang-mentang mataku besar, kalau aku sipitkan kau mau
apa?” 

“Lalu bila kumis melingkar ke atas lebat begini, kalau aku turunkan ke bawah
kau mau apa?” 

Kedua tangan Benggali itu menarik kumisnya sambil memicingkan mata. 

Sekilas wajahnya menjadi semacam Engkoh keturunan Cina. Orang-orang yang di
Lapo Tuak yang melihat adegan Benggali mirip Cina itu pun akhirnya
terpingkal-pingkal. Hitam kok encek-encek! Tak terkecuali Situmorang yang
mengajak duel menjadi terpingkal. Singkat kisah, perkelahian batal. 

Bayangan akan kisah Benggali itu, setelah bertemu Syamsul memang tidak
meleset. Orangnya doyan humor. Dan biasa pula mereka yang jenaka, bisa
melihat penyelesaian kerumitan dengan ringan sekaligus mampu menghibahkan
keceriaan. 

“Yah begitulah aku. Apalagi yang mauku gayakan.” 

“Sebelum orang-orang pada kaya, aku sudah jadi kolega Ibnu Soetowo dulu di
Pangkalan Berandan.” 

Pangkalan Berandan, wilayah operasi PERTAMINA, sejak lama di Sumatera Utara.


Sebelum menjabat Gubernur Sumut, Syamsul dua kali menjadi Bupati Langkat. 

“Apalagi kini sudah pula Gubernur,” katanya. 

Dan gaya, penampilan, kejenakaannya tetap sama, termasuk kegemarannya
nongkrong di kaki lima. 

Agaknya inilah “barang” langka yang harus dicontoh oleh seluruh pejabat
Indonesia kini, khususnya mereka yang berada di pusat Jakarta. Jika pun
tidak bisa berbuat terhadap rakyatnya, bahkan cuma bisa memerintah melalui
jargon sumbang di billboard di jalan-jalan protokol, lebih mending
menghibahkan kocokan melilit perut, manjadi amalan tersendiri. Rakyat
kebanyakan seakan dapat dibawa larut melupakan kesulitan dan beban hidup
kian berat, diawal resesi ini. 

Saya lalu membayangkan para pemimpin Indonesia dulu, macam era Alm. Sutan
Sjahrir, yang menurut wartawan senior, bisa ngobrol macam Syamsul Arifin
itu. Mereka juga manusia biasa, peduli kepada siapapun, terutama kepada
rakyat kebanyakan. Selalu berusaha berdiri sejajar dengan rakyatnya, bahkan
menempatkan rakyat di atas segalanya, macam tabiat yang ditampilkan Alm.
Jenderal Soedirman. 

KETIKA bangun pagi di Sabtu pagi yang cerah, tawa saya belum hilang. Kepada
isteri,saya ceritakan tentang pertemuan dengan Syamsul sang Gubernur itu,
biar dia tidak berpikir bahwa suaminya stress, karena hidup belakangan kian
sulit, lalu tertawa-tawa geli sendiri. 

Penasaran akan langgam sang Gubernur, saya menghubungi Wartawan Yulhasni,
Mantan Ketua Korda PWI-Reformasi Sumut. Saya konfirmasi tentang perilaku
Gubernur yang bersahaja sekaligus kocak itu. 

“Ha ha ha , aku pikir Abang mau bicara apa? Tumben pagi-pagi sudah telepon.”


“Kalau itu betul. Di kantor Gubernur saja, rapat serius bisa cuma setengah
jam saja. Sejam sisanya untuk mendengar kombur malotup,” ujar Yul di
telepon. 

Kombur malotup kalau diterjemahkan kira-kira sama dengan meledaknya dagelan.
Nah menunggu kombur malotup, salah satu “agenda” kantor gubernuran Sumut
kini. 

“Tapi Abang jangan salah, Gubernur kami itu jenius.” tutur Yulhasni. 

Saya amini Yul, umumnya mereka yang memilki sens of humor tinggi, memiliki
kejeniusan di atas rata-rata. 

SOSOK Syamsul bersama Gatot Pujo Nugroho, memenangkan secara telak pemilihan
Gubernur Sumut pada 16 Maret 2008 lalu. Salah satu rivalnya dalam Pilkada
Gubernur, adalah Mayjen (Purn) Tritamtomo, yang didukung pengusaha Olo
Pannggabean, antara lain. 

Melalui penelusuran di internet, saya menemukan deretan panjang prestasi dan
kedekatan Syamsul ke masyarakatnya. Ia tidak mengubah hidupnya kendati telah
menjadi orang. 

“Aku ini tukang jual kue yang menjadi Gubernur,” ujarnya kepada media di
Medan. Itu ucapan pertamanya ketika mengetahui menang dalam Pilkada. 

Ia kelahiran 25 September 1952. Ayahnya, almarhum Hasan Basri, pejuang dan
veteran dari Pangkalan Brandan, akrab disapa Haji Hasan Perak. Ibundanya Hj
Fadlah. 

Kehidupan ekonomi orang tuanya di masa kecil sulit. Sebagai anak tertua ia
harus berjuang dengan berjualan kue. Hasil penjualan kue itu dipakai untuk
membeli sejumput beras, yang dimasak bercampur ubi dan keladi. Adonan
rebusan bahan makanan macam itu, kemudian dikepal-kepal. “Satu kepalan untuk
satu anak sekali makan,” kenang Syamsul. 

Di tengah kesulitan hidup, ia pernah mengeluhkan tentang adiknya yang kurang
berkenan bekerja keras kepada ayahnya. Ayahnya bijak meminta Syamsul melihat
sebuah pohon kelapa milik ayahnya. 

“Ayah berpetuah, kau lihat pohon kelapa itu, tidak seluruh buahnya bagus,
ada yang kecil, besar, ada pula yang busuk. Kau harus menjadi buah yang
bagus.” 

Terkesan sekali akan petuah ayahnya itu, pohon kelapa yang dijadikan contoh
sang ayah itu, hingga kini masih tumbuh dirawatnya. 

KATA AYAH, itu menjadi bahan diskusi lanjutan saya dengan Surya. “Kini rumah
tangga Indonesia banyak kehilangan figur ayah. Akibatnya kenakalan remaja
meningkat, anak kurang mendapatkan kehangatan sang ayah, garría prestasi
sekolah mengendur” ujar Surya Wijaya seakan berpetuah. 

Saya pun sepakat. “Dan perhatian ke anak oleh sang ayah itu, bukan hanya
terhadap dirinya, tetapi juga terhadap hal kecil, memberikan perhatian dan
kasih sayang kepada ibunya anak-anak, di lain sisi” tutur Surya. 

Memang menjadi suatu tanda tanya bila di suatu rumah tangga, sang ayah tidak
lagi dapat menjadi panutan. Ayah dalam pengertian lebih luas, adalah
pengelola utama negara, presiden misalnya.. Bila yang bersangkutan tidak
mencerminkan ayah bangsa, maka kita memang seakan merasa kehilangan
tauladan, sekaligus kehilangan motivator. 

Indonesia saat ini membutuhkan seorang ayah yang tidak malu berkendaraan
dinas macam Daihatsu Ceria, macam Syamsul yang tidak kuatir cuma naik Kijang
tua di Jakarta. Sudah saatnya kita lupakan seorang ayah yang berkata ke
media, “Saya kan harus mengikuti protokoler yang sudah diatur negara.” 

Apalagi bila seorang ayah bangsa, tega-teganya berkata, bahwa kepemimpinan
seorang presiden tidak menjamin seluruh masalah bangsa dapat selesai,
menjadi ungkapan amat basi. Maka yang berpenampilan dan berpandangan begitu,
bukan lagi sebagai pengelola negara, tetapi sebaliknya, macam menak feodal,
membangun singgasana dari uang rakyat. 

Langgam itu pun mengental sejak otonomi daerah kini. Jika disimak
pembangunan fisik kantor Bupati, Wali Kota lengkap dengan perumahannya,
menomorduakan sarana kesehatan, Gizi balita dan bangunan sarana sekolahan
berikut kontennnya. 

Saatnya kita butuh seorang ayah, berani mengatakan, karena saya pemimpin,
maka saya mau ini, itu, dan lainnya yang memang pro dan berpihak kepada
kesulitan kehidupan rakyat, karena memang seharusnya kedaulatan di tangan
rakyat. 

Ketika berkampanye di Pilkada Sumut yang lalu, Syamsul membuat tag line
mewujudkan: Rakyat Sumut tidak lapar, tidak bodoh, tidak sakit dan rakyat
punya masa depan. Ia memberikan sebuah harapan, apalagi jika memang
disampaikan dengan ketulusan mendasar. 

Akhirnya, kini, memang masih sulit menilai keberhasilan Syamsul yang baru
menjabat dalam satu smester bekerja di Medan. Paling tidak, kepada siapapun
agaknya kini, dia menghibahkan keceriaan di mana pun dia ada secara masif,
sehingga gigi kami yang sekejap saja di sekitarnya kering kerontang kelamaan
katawa. 

Mengingat kini di pusat, di Jakarta, banyak hal disampaikan pejabat dengan
serius berjargon tidak lagi menarik, kebanyakan bernada perintah ke rakyat,
maka saatnya, agaknya, berlajarlah ke rakyat Sumut memilih pemimpin, memilih
sosok sang ayah. Bukan berkombur untuk sia-sia*** 

Iwan Piliang, presstalk.info 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke