Sekedar buat refreshing....

Pantun Tentang Seekor Kerbau
http://hiburan.kompasiana.com/2010/02/04/pantun-tentang-seekor-kerbau/

Seekor kerbau jadi buah bibir. Presiden SBY `Si Pucuk Negeri` merasa
terganggu dengan binatang yang diajak berdemo 28 januari lalu. Entah
bermimpi buruk ditanduk kerbau malam harinya, presiden lalu berkeluh-
kesah. Ia tersinggung  seolah-olah dirinya diumpamakan seekor kerbau,
gemuk, bodoh dan lamban. Seperti menepuk air di dulang, curhat si
Pucuk memercik muka sendiri. Presiden kok sensitif ya. Ah kawan, tak
tahan aku ingin menulis pantun.

Emas segenggam dibawa berlari
bekal hidup merantau ke pulau
cemas kepalang Si Pucuk Negeri
semalam bermimpi ditanduk kerbau

Kerbau gemuk hitam warnanya
Kekar badan tanduk menjulang
Risau Si Pucuk bertanya-tanya
Firasat mimpi apa gerangan

Ketika seribu janji diucapkan dan rakyat belum merasakan perubahan,
hak rakyat menagih janji itu. Tak usah terusik hanya karena seekor
kerbau.  Jauh lebih arif dan bijak jika peduli pada pesan yang
dibawa.   Kenapa ribut menyoal etika, sementara sangat telanjang
hipokrasi berdemokrasi yang dipraktekkan para elit.  Mestinya
berterima kasihlah pada demonstran yang telah mengingatkan pentingnya
sebuah janji. Karena janji para pemegang tampuk kekuasaan adalah
hutang pada ratusan juta rakyat.  Hutang yang kelak dibawa mati jika
tak dilunasi.   Ah kawan, izinkan aku sekali lagi berpantun.

Makan nasi tidak berkuah
enak dicampur sambal terasi
seratus hari berbilang sudah
rakyat menagih seribu janji

Jangan mencela si pandai besi
bila tak ingin ditebas mati
Jangan suka mengumbar janji
hutang janji dibawa mati

Kawan. Persolan negeri ini meruah. Korupsi meraja-lela justru di
sarang-sarang penegak hukum. Para birokrat berkolusi dengan pengusaha-
pengusaha hitam dan antek-antek asing mengeruk harta pusaka negeri.
Perut bumi, hutan, laut mereka jarah sampai kerak-keraknya.  Mereka
buas seperti serigala lapar. Rakyat tidak kebagian apa-apa.  Mati
kelaparan di lumbung padi.  Gemah ripah loh jinawi bagi mereka
hanyalah mitos.  Sudilah mendengarkan pantunku, kawan.

Pohon kenari berbuah muda
daunnya lebat menjulang rupa
tempat kelana beteduh raga
merebah sejenak tawar dahaga

ibu pertiwi disandera durjana
laku sebuas induk serigala
mengaruk pusaka tiada bersisa
tinggallah rakyat miskin papa

Sudah jatuh tertimpa tangga.  Sudahlah melarat, rakyat miskin kerap
menjadi bulan-bulanan aparat. Hukum tidak berpihak pada si lemah.
Nenek Minah yang sudah renta harus meringkuk di jeruji besi hanya
karena mencuri sebonggol kakao. Bukan untuk dimakan.  Tapi ditanam
buat dipetik anak cucunya kelak. Sementara tidak terbilang jumlahnya
koruptor kakap bebas melenggang.  Ada yang meyulap penjara menjadi
istana.  Sementara narapidana tak berduit tidur berhimpitan di bui-bui
pengap.  Betapa mewah keadilan bagi si miskin papa.  Dan betapa murah
hukum dibeli para cukong.

anak rusa si belang pipi
patah kakinya terantuk besi
rebah meringis disemak tinggi
tertusuk duri sakit menjadi

rakyat papa meratap diri
tergusur rumah dipinggir kali
ulah korupsi semakin menjadi
koruptor bebas melenggang lari

Kawan. Aku kurang happy dengan gaya bertitah sang presiden. Bukan
tidak suka pribadinya. Sama sekali bukan.  Konon dia seorang yang
santun.  Elok bertutur kata.  Ramah bersikap.  Dari jauh ingin
kumemuji dengan sebuah pantun, kawan.

Titik tepi rerupa warna
laksana pelangi hiasan mega
baik budi elok bahasa
kemana dicari tuan serupa

Tapi kawan.  Ini soal karakter memimpin. Rakyat lapar tidak bisa
menunggu. Ribuan bayi-bayi kurang gizi memekik dipelosok-pelosok
negeri. Penganguran menganak sungai. Penegakan hukum centang-
perenang.  Birokrasi kusut-masai. Bangsa ini butuh pemimpin yang cepat
dan tepat dalam bertindak. Kita butuh terobosan-terobosan besar untuk
segera keluar dari lingkaran setan tak berujung. Jangan jadi peragu
yang terlalu banyak menimbang namun gamang memutus. Beruntung dulu
berduet dengan seorang Jusuf Kalla yang gesit lagi cemerlang.
Sementara  sekarang wakilnya, setali tiga uang. Ah, aku ingin
berpantun.

Pohon kenari menjulang tinggi
buahnya lebat berbilang seratus
gamang menitah si Pucuk Negeri
banyak menimbang ragu memutus

Kata orang bijak,pemimpin sejati adalah yang mampu menebarkan
optimisme.  Pemimpin harus pandai membesarkan hati rakyat, tidak hanya
dengan retorika.  Ia mesti tegar, tidak boleh berkeluh-kesah.
Tersinggung sedikit lalu mengadu ke rakyat.  Justru rakyat yang harus
didengar rintihannya.  Pemimpin harus rajin menyemai harapan bahwa
bangsa ini mampu keluar dari keterpurukan.  Bahwa hari esok pasti akan
lebih baik.  Tidak selamanya bangsa ini menjadi pecundang.  Dengan
kerja keras kita mampu kembali berjaya dan terpandang seperti dulu
kala. Tegak sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa
dunia.  Inginku mengenang masa lalu, kawan.   Seperti yang kubaca di
buku-buku pelajaran SD dulu.

Ke Taman Sari memetik bunga
teruntuk dinda pujaan kanda
pengobat hati penyejuk mata
muara rindu senandung jiwa

Terkenang masa bangsa berjaya
Gadjah Mada satukan nusa
terpandang negeri di mata dunia
tegak kepala terbusung dada

Muhareva Raekiansyah

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke