Angku Suryadi dan Sanak sa Palanta yth: Untuk *para calon* dokter, *agar tak malu untuk menjadi dokter Indonesia*maka sebaiknyo 2 x empat tuah dokter di bawah iko bisa dijadikan pertimbangan. Atau kalau indak, mako disabuik urang pulo *Dokter nan indak Tahu di nan Ampek* Delapan tuah dokter*Dua kali empat "tuah" dokter ***
*1. Saat bekerja seperti Wali 2. Pintar laksana ahli filsafat 3. Berani bersikap ibarat Singa 4. Tangan terampil seperti seniman 5. Punya kaki pemain bola 6. Tajam penglihatan laksana Rajawali 7. Penciuman sensitif anjing pelacak 8. Pendengarannya peka, sangat prima *** Untuk orang yang digelari dokter Ilmu dan fisiknya harus sesuai Meski bukan makhluk super Dua kali empat tuah harus dipakai Dalam kehidupan sehari-hari Jiwa raganya, pertama sehat Disebut dokter tahu di diri Hukum dan etika dia taat Profesi dokter sangat baik Pekerjaan dagang juga bagus Dokter pedagang, namanya pencekik Atau memiliki sifat bulus Bukan seperti menjual palawija Yang dilakukan para cukong Honor dokter sesudah bekerja Tidak dipanjar sebelum menolong Kalau mengobati keluhan kecil Ambil contoh membunuh lalat Jangan ditembak dengan bedil Begitulah tamsil memberi obat Usaha kesehatan cara moderen Orang membayar premi asuransi Dokter berharap mengurangi pasien Dengan penyuluhan bersifat promosi Walau tidak menolak upah Tugas dokter mulia sekali Menolong orang yang sedang susah Ibarat pekerjaan seorang Wali Ketika menyampaikan hasil pemeriksaan Berbicara seperti ahli filsafat Kemungkinan penyakit dapat puluhan Tindakan terapi haruslah tepat Meskipun dihati ikut terharu Dokter dituntut tegar berani Keberanian Singa perlu ditiru Mengerjakan pendapat yang diyakini Pekerjaan dokter sepanjang jaman Membedah-menjahit yang halus-halus Tangan terampil laksana seniman Agar hasilnya menjadi bagus Seperti kaki pemain bola Harus kuat untuk berdiri Saat operasi dalam kepala Lamanya tegak sampai sehari Terkadang penyakit sebesar biji bayam Sangat susah untuk dikenali Penglihatan dokter haruslah tajam Seperti mata, elang Rajawali Wajah pasien, cermin kesehatan Orang sehat mukanya cerah Kurang gizi, kurang makan Tampak pucat lesu darah Ibarat hidung anjing pelacak Penciuman dokter haruslah tajam Mampu mendeteksi baunya tuak Walaupun pasien bisu terdiam Sering tenggorokan bunyi berdengik Tandanya napas akan berhenti Kuping dokter harus baik Mendengar suara dengan teliti Kembali ke daftar judul <judul.php> Silakan klik selengkapnya di : http://www.nanampek.nagari.or.id/2x4tuahdokter.html Wassalam Abraham Ilyas (63 th) admin/webmaster www.nagari.org 2009/4/25 Lies Suryadi <niadil...@yahoo.co.id> > > > Home Malu Aku Jadi Dokter Indonesia > > Sabtu, 25 April 2009 | 03:26 WIB > > Lewat tulisan rumah (yang) sakit (Kompas, 14/3/09) Radhar Panca Dahana > mengeluh buruknya layanan medik kita. Tulisan itu mewakili nasib banyak > pasien. Yang diungkapnya fakta keresahan tak sedikit pasien kita. Betul > harus diakui banyak pasien kita terpojok sebagai pihak yang dirugikan. > Handrawan Nadesul > > Resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya > uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak > manusiawi. Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan > orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik. > > Membangun di hulu > > Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan > kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat. > > Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga > dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena > itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan. > > Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita > bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab > anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan > karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan. > > Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak > dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit > meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal > ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu. > > Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, > puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 > program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih > menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan > pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang > dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak > profesional. > > Konsekuensi sistem > > Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda > kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, > apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji > spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama > dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak > punya rumah dan mobil pribadi. > > Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh > faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter > pergi praktik naik ojek. > > Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi > cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan > konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat > lain. > > Lebih berat > > Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara > maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. > Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus > meningkat. > > Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam > kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau > masyarakat. > > Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. > Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu > bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja > dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita. > > Kekuasaan dokter > > Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta > dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat > pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari > untung dari ketidaktahuan pasien. > > Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat > lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak > perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah > dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab > pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan > dilakukan. > > Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena > memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang > sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa > diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan > jumlah pasien sehari. Kita tidak. > > Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, > kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). > Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, > tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan > struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat > masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih > memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan. > > Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, > karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba > salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun ”praktik bersama” agar > berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter > tidak tanpa batas. > > Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita > mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi > setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil. > > Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin > berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. > Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya > ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah > pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di > atas tak terjadi, malu aku jadi dokter Indonesia. > > HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku > > > > Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari > Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! > http://id.messenger.yahoo.com/invite/ > > > > > --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned: - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama - DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner =========================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---