Assalamualaikum w.w. para sanak sapalanta,
Artikel Prof Dr Eko Prasojo di bawah ini rasanya layak untuk kita perhatikan. 
Intinya adalah bahwa ideologi partai-partai di Indonesia masa kini 
sungguh tidak jelas. Hal itu terbayang pada otak-atik koalisi yang sedang 
dikerjakan para elite partai. Tidak terdengar dan tidak terlihat wacana tentang 
program untuk kepentingan rakyat, yang ada hanya wacana tentang imbangan 
kekuatan dan pembagian kursi belaka.
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang Dalam, 
Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak" 
When wealth is lost nothing is lost, when health is lost something is lost, 
when character is lost everything is lost.
Alternate e-mail addresses: 
saaf10...@gmail.com;
Koalisi dan Kinerja Pemerintah
Kompas, Senin, 27 April 2009 | 05:03 WIB 
Eko Prasojo
Meski hasil pemilihan umum legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi 
Pemilihan Umum, partai politik sudah disibukkan berbagai manuver untuk 
membangun koalisi.
Hasil penghitungan cepat oleh sejumlah lembaga memang cenderung memberikan 
hasil yang sama sehingga hasil akhir pemilu dipercaya tidak terlalu berbeda. 
Manuver koalisi berbagai partai politik menjelang pemilu presiden patut 
dicermati, terutama dalam kaitan membangun pemerintahan yang kuat dan 
berkinerja.
Platform koalisi
Koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden 
tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. 
Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi. 
Tetapi, seperti diketahui, sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi 
karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal 
ini pun terlihat dari corak koalisi dalam pemilihan langsung kepala daerah, di 
mana koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan. Tidak 
bisa dihindarkan, koalisi semacam itu hanya merupakan strategi berbagi 
kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Berbagai manuver koalisi parpol menjelang pilpres menunjukkan kebutuhan 
membentuk sistem politik yang lebih baik di masa datang melalui penguatan 
ideologi partai dan pembentukan sistem merit politik. Pada sisi lain, hal ini 
membuktikan masih belum terbentuknya budaya oposisi di kalangan elite dan 
pengurus parpol. Menjadi oposisi belum dianggap bagian terpenting penguatan 
sistem demokrasi. Ketidaksiapan elite dan parpol untuk berada di luar ring 
kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk 
koalisi pemerintahan.
Jika kelak koalisi yang terbentuk hanya didasarkan kepentingan mempertahankan 
kekuasaan di pemerintahan, dapat dipastikan hal itu tidak akan menciptakan 
kinerja pemerintahan yang baik. Hal ini tidak saja akan mengaburkan kontrol DPR 
terhadap pemerintah, tetapi juga akan menyebabkan terlalu bervariasinya 
kepentingan politik di pemerintahan. Tidak jelas siapa yang menjadi partai yang 
memerintah dan siapa yang menjadi partai oposisi. Tidak heran jika Presiden SBY 
beberapa waktu lalu mengeluh, sejumlah menteri justru ikut menyikapi secara 
kritis kebijakan pemerintah. Selain bertentangan dengan etika berpolitik, hal 
itu juga sangat kontraproduktif dengan soliditas pemerintahan.
Karena itu, perlu dikembangkan diskursus tentang apa yang harus menjadi tujuan 
akhir sebuah koalisi. Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar 
koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan 
dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya 
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan 
kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan 
masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada 
peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat merupakan nilai dasar yang harus 
dijadikan syarat koalisi. Tampaknya hal ini sulit diwujudkan jika para elite 
politik hanya menganggap koalisi sebagai cara mempertahankan kekuasaan.
Karena itu, amat penting mengembangkan kontrak politik sebagai dasar koalisi 
seperti dilontarkan Presiden SBY. Kontrak politik tidak hanya berisi kewajiban 
dan hak parpol dalam koalisi, tetapi yang lebih penting adalah tujuan yang akan 
dicapai koalisi dalam pemerintahan. Misalnya disetujui beberapa kesepakatan 
koalisi: pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan profesional; terjadinya 
reformasi birokrasi; peningkatan kualitas pelayanan publik; dan terpenuhinya 
hak ekonomi, sosial, dan politik masyarakat sebagai hak-hak asasi warga. 
Kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan jauh 
lebih penting daripada mengatur hak dan kewajiban parpol dalam koalisi.
Kabinet profesional
Hal lain yang harus mendapat perhatian dalam koalisi adalah pengisian kabinet. 
Karena mesin pemerintahan ditentukan dan digerakkan kabinet, kesepakatan 
pengisian kabinet harus menjadi bagian pembicaraan koalisi. Terlalu banyak 
partner koalisi akan menyulitkan presiden terpilih dalam mengisi kabinet.
Sebaliknya, presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan politik dari DPR. 
Karena itu, gabungan parpol dalam koalisi pengusung calon presiden setidaknya 
memiliki 30 persen suara di DPR dan tidak lebih dari tiga parpol. Idealnya, 
partai pengusung calon presiden meraih suara mayoritas mutlak di DPR dengan 
komposisi koalisi partai yang sederhana.
Namun, melihat perolehan suara dalam pemilu legislatif lalu, sulit rasanya 
meraih suara mayoritas di DPR hanya dengan melibatkan tiga parpol. Perlu 
dicatat, terlalu banyak partner koalisi untuk memenuhi mayoritas di DPR akan 
menyebabkan beragam kepentingan dalam pemerintahan. Karena itu, perimbangan 
jumlah partner koalisi yang sederhana dan dukungan minimal di DPR merupakan 
kombinasi yang baik untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang efektif.
Pada sisi lain, perlu dipikirkan untuk membentuk pemerintahan yang berdasar 
prinsip profesionalisme. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya 
didasarkan pertimbangan politis, tetapi juga kemampuan, kompetensi, komitmen, 
dan pengalaman seseorang. Bisa saja syarat-syarat itu berasal dari kalangan 
parpol yang tergabung dalam koalisi, tetapi apabila diperlukan dan hanya bisa 
ditemukan di luar parpol, tidak ditutup kemungkinan untuk mengambil kalangan 
profesional di luar partner koalisi.
Pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak hanya 
menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkan 
tujuan-tujuan bernegara.
Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI
saafroedin.ba...@rantaunet.org
saafroedin.ba...@yahoo.com
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke