Polemik mengenai Perang Paderi (1803-1837) kembali mencuat
akhir-akhir ini, seperti dapat dikesan, misalnya, dari diskusi buku Christine
Dobbin yang sudah cukup klasik: Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Perang
Padri (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008),
seperti dilakukan di Medan (Kompas,16/10/2008)
dan di Padang
(18 Oktober 2008).
Terbitnya buku Greget Tuanku Rao (GTR) karya Basyral Hamidi Harahap (BHH)
ini ikut menggerek polemik tersebut. Tiga bab pertama GTR (Bab I-III)
menceritakan dengan penuh bersemangat nenek moyang BHH, Marga Babiat di
daerah Mandailing. Pemimpinnya yang melegenda, Datu Bange, beserta
pengikutnya menjadi korban serangan pasukan Paderi yang menginvasi Tanah
Batak (1816-1833). Kemudian, BHH mengungkapkan beberapa kontroversi dalam
buku Parlindungan, juga para pengagum buku itu (Bab IV & VII). Lalu
penulis mengeritik Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai dan membicarakan
integrasi imigran Madailing di Pasaman (Bab V & VI).
Selanjutnya penulis mendeskripsikan ‘anugerah’ kemajuan pemberian orang
Belanda seperti Alexander P. Godon dan Deuwes Dekker di daerah Tapanuli (Bab
VIII & IX). Akhirnya penulis menceritakan kekagumannya kepada beberapa
intelektual Tapanuli yang menonjol di zaman kolonial maupun setelah
kemerdekaan, seperti Willem Iskander, Sutan Casayangan Soripada, dll. (Bab
X-XII).
Secara tersurat GTR tampaknya dimaksudkan sebagai koreksi terhadap buku
Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 karya M.O. Parlindungan (Yogyakarta:
LKiS, 2006) yang merupakan republikasi (tanpa revisi) dari edisi pertamanya
yang terbit tahun 1964.
Namun, secara tersirat tampaknya GTR diazamkan sebagai ‘pelurusan’ sejarah
Perang Paderi—istilah yang menjadi tren dalam wacana sejarah Indonesia
sejak bergulirnya Reformasi. Hal ini terefleksi juga pada sampul buku ini
yang bergambar sebilah pedang milik nenek moyang BHH yang pernah digunakan
melawan kaum Paderi. Pedang itu ditorehkan ke batu dan memercikkan bunga api,
dilatarbelakangi oleh siluet kampung yang dibumihanguskan.
Menurut BHH Perang Paderi adalah “perang dagang”, istilah yang muncul di
tajuk resensinya terhadap buku Dobbin (Kompas, 27/7/2008). Menurutnya,
pasukan Paderi telah melakukan genocide di Tapanuli dan menimbulkan
kehancuran pada tamadun Batak. Tujuan aneksasi itu adalah untuk menguasai
sumber-sumber ekonomi di daerah Tapanuli.
BHH menilai gelar pahlawan nasional tidak layak disandang oleh panglima
Paderi Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol yang bersama anak buahnya sudah
melakukan pembunuhan massal di Tanah Batak, ranah tempat lahir BHH sendiri.
“Kita bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak
membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau dijadikan
gundik di kalangan bangsa sendiri? […] Apakah seorang yang […]
menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan?”
(hlm.106).
Teori lemah, narasi bias dan subjektif
Kutipan di atas, dan juga halaman-halaman lain GTR, mengesankan bias dan
subjektifnya narasi buku ini, yang potensial mereduksi keilmiahan dan
objektifitasnya. Ibarat menulis sebuah novel, BHH memosisikan dirinya dalam
narasi GTR sebagai seorang tokoh yang terlibat dalam berbagai peristiwa yang
dialami nenek moyangnya sendiri yang sudah terjadi jauh di masa lampau.
Tampaknya BHH yang orang Tapanuli dan menulis tentang sejarah Tapanuli,
lebih khusus lagi tentang nenek moyangnya sendiri, Datu Bange, yang
diburu-buru pasukan Paderi, lupa mengambil ‘jarak’ dengan objek kajiannya.
Emosi subjektifnya tumpah dalam narasi buku ini.
GTR memberikan contoh konkrit tentang pengaruh perasaan etnisitas dalam
penulisan sejarah lokal di Indonesia.
Tentu saja tidak semua sejarawan lokal menulis seperti BHH. Secara (tak)
sadar, sentimen etnisitas akan tertonjol kuat dalam penulisan sejarah lokal
yang tidak didasarkan atas pengetahuan teori dan metode penelitian sejarah
yang kuat.
GTR BHH mengantongi banyak kelemahan dalam aspek teori dan pendekatan. It
sebabna sulit menemukan benang merah yang mengikat semua bab buku ini.
Deskripsi penulis merembet kemana-mana, sejak dari zaman pra sejarah sampai
kepada zaman revolusi, dari cerita lisan sampai ke puisi modern.
Lantaran ‘hanyut’ dalam emosi, BHH tidak selektif memilih data untuk
mendukung argumen-argumennya. Data sejarah sering dicampuradukkan dengan teks
fiksi. Dalam Bab X, misalnya, BHH memajang puisi-puisinya yang berisi
kekagumannya kepada Willem Iskander (hlm.241-49) yang justru mendistorsi
narasi ilmiah yang ingin ia bangun dalam buku ini.
Upaya membandingkan Datu Bangek dengan tokoh fiksionalnya Karl May,
Winnetou, dan Geronimo, pahlawan suku Apache di Amerika (hlm.49-50, 83),
adalah semacam semangat anakronisme yang babonnya dapat ditemukan dalam
teks-teks Melayu klasik seperti Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.
Sumber-sumber Belanda dan sumber-sumber lisan yang dipakai dalam buku ini
cukup kaya, tapi sering dikutip dengan agak sembrono. Dalam Bab II mengenai
Marga Babiat, misalnya, BHH mengutip beberapa bagian dialog antara Bandaro
(XIII) dan Sesepuh Marga Daulay. Tapi rujukan kurang dijelaskan dari mana
sumbernya—apakah berdasarkan wawancara (kalau ya, kapan? Dimana dilakukan?
Siapa nama informannya?) atau dari sumber naskah? Ini contoh kecil saja
tentang rujukan-rujukan yang digunakan dalam GTR yang secara ilmiah sulit
dipertanggungjawabkan.
BHH juga terkesan agak cuai terhadap konteks sosio-historis daerah
Mandailing pada paruh pertama abad ke-19. Peran Belanda, rivalitas dan
sentimen antar suku, pengaruh Aceh, penghijrahan orang Minangkabau yang sudah
begitu lama terjadi di sepanjang pantai barat Sumatera (lihat misalnya kisah
Nakhoda Muda [Drewes, 1961] dan biografi Muhammad Saleh Dt. Rangkayo Basa,
1965) dan suku pendatang lainnya di kawasan itu luput dari perhatian BHH.
Faktor-faktor tersebut bukan tidak mungkin telah mempengaruhi penerimaan atau
penolakan ajaran Kaum Paderi di daerah Mandailing.
Kritik terhadap pengeritik
GTR diniatkan untuk mengeritik buku Pongkinangolngolan Sinamabela, seperti
yang dilakukan Hamka pada 1974. Namun, malangnya buku ini juga menimbulkan
kontroversi dari segi teori dan metode. GTR mendapat kritik keras dari para
sejarawan dan akademisi pada umumnya, seperti dapat dikesan dari hasil
diskusi bedah buku ini di beberapa tempat di Jakarta dan Sumatera Utara.
“GTR bukan buku sejarah karena tidak memiliki metodologi sejarah, tapi
lebih kepada story telling”, demikian kata pembahas dari FIB UI, Kasijanto
Sastrodinomo, dalam diskusi peluncuran buku ini di Kampus UI Depok (8
November 2007).
Dari sudut pandang ilmu sejarah, tampaknya GTR tidak lebih baik dari
Pongkinangolngolan Sinamabela yang dikritiknya. Keduanya mengandung unsur
turi-turian, cerita lisan khas Mandailing Angkola. (*)
* Suryadi, Dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië,
Faculteit der Letteren Universiteit Leiden,
Belanda
|