Bung Indra, Bapak, Ibu serta Sanak Palanta yang terhormat. Kesewenang-wenangan harus segera dihentikan. Cukup tragis kasus yang menimpa masyarakat petani kita di Pasaman seperti yang diceritakan Bung Indra. Menurut saya negara tidak dapat bertindak semena-mena seperti itu. Pada saat negara dulu dalam keadaan tidak berdaya masyarakat dibiarkan leluasa menggarap lahan hutan lindung. Tetapi ketika negara mulai menguat pemerintah tiba-tiba berlaku ganas dengan mengambil kembali lahan yang telah terlanjur digarap penduduk tanpa mempedulikan kerugian yang ditanggung oleh masyarakat penggarap. Ini jelas tidak adil. Saya pikir masalah ini harus diselesaikan dengan bijak melalui dialog antara masyarakat dan pemerintah yang difasilitasi oleh salah satu Ornop yang relevan, mungkin ornopnya bung Indra atau walhi setempat atau PT daerah yang konsern terhadap masalah lingkungan hutan. Banyak solusi menang-menang yang dapat ditempuh asalkan kedua belah pihak mau berdialog dan saling memahami. Reboisasi memang perlu dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas. Namun sejarah menunjukkan bahwa reboisasi tidak pernah berhasil jika pada lahan tersebut ada kepentingan masyarakat yang dirugikan. Berapa banyak pohon yang telah ditanam melalui program reboisasi yang akhirnya terbakar sia-sia karena belum jelas "duduk tegaknya" dengan masyarakat sekitar. Salah satu solusi yang saya tawarkan adalah dengan melakukan program agroforestry atau layaknya seperti hutan rakyat social forestry di lahan tersebut. Masyarakat tetap sebagai subyek dan tetap dapat mempertahankan tanaman mereka yang rata-rata berumur menengah seperti kakau, durian dan mangga. Sementara itu pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam melakukan program penghijauan yakni menanam tanaman tua seperti pohon surian, dan tanaman tua dan bernilai ekonomi lainnya. Untuk pengelolaan pemerintah tidak perlu susah-susah mengeluarkan biaya besar cukup dengan memberdayakan kelompok-kelompok tani setempat. Pemerintah cukup memfasilitasi dengan pemberian bibit dan pupuk dan melakukan monitoring yang efektif. Bisa tidaknya dterapkan tentu saja pendapat saya ini perlu dikaji terlebih dahulu. Ini sangat tergantung kepada topografi lahan. Membaca penuturan bung Indra saya berasumsi lahan hutan lindung yang digarap masyarakat tidak termasuk klasifikasi berat dalam arti tidak boleh disentuh masyarakat. Yang penting jangan sampai konflik ini menjurus kepada kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan.
Wassalam, Aidinil Zetra/38 th, KL Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bertani di Cagar Alam, Apa Salah? Dalam seminggu ini, saya mendapatkan telepon dari petani di Pasaman. Pak Santoso, wakilnya, mengirimkan via fax tentang permasalahan yang mereka alami. Intinya adalah mereka telah menggarap alias meneruka ladang di Cagar Alam Malampah Alahan Panjang sejak tanggal 22 Januari 1999. Tahun yang menurut saya di seluruh Indonesia terdapat gelombang besar “pencaplokan” tanah-tanah negara oleh rakyat, tidak hanya di Sumbar, tetapi juga di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka disana bertanam kakao sebagai produk unggulan, selain durian, mangga, dan tanaman keras lainnya. Izin mereka dapatkan dari camat setempat, yakni camat Bonjol. Kini, mereka diminta “turun gunung” oleh pemerintah setempat, ketika kakao mulai menghasilkan dan tanaman keras lain sudah berbuah. Alasan pemerintah tentulah agar dilakukan reboisasi, sehingga areal itu kembali menjadi hutan lindung dan cagar alam. Mereka menelepon saya karena tidak lagi tahu harus melapor kemana. Saya sendiri tidak berpengalaman tentang masalah ini, makanya dalam kasus tanah antara warga dengan PT Mutiara Agam di Kabupaten Agam, saya mendiamkan saja. Tapi kali ini saya mencoba memberikan perhatian. Paling tidak, masyarakat diijinkan untuk memetik buah dari hasil kerjakerasnya, sekalipun di kemudian hari mereka harus mengembalikan kawasan itu sebagai cagar alam. Terdapat lebih kurang 300 kepala keluarga yang sudah menggarap lahan di sana, termasuk pegawai negeri sipil. Para PNS ini, karena menjadi pejabat negara, sudah bersedia menandatangani pernyataan untuk mengembalikan tanah itu kepada pemerintah dan tentunya membiarkan dihijaukan kembali. Sekalipun, saya diberi tahu bahwa mereka melakukan di bawah tekanan, berhubung bisa diberhentikan sebagai PNS. Bagi kawan-kawan advokator, terutama WALHI, adakah yang bisa dikerjakan di sini? Bagi saya, alangkah kejamnya kalau tanaman warga, sekalipun tanahnya milik negara, kemudian dipusokan, setelah buahnya ada? Apalagi, beberapa waktu lalu, bukankah perusahaan-perusahaan modal dalam dan luar negeri boleh melakukan penambangan di hutan lindung? Apa solosi yang tepat menurut teman-teman? Berkas-berkasnya ada di saya, yakni datang dari Lembaga Adat Nagari GANGGO MUDIAK Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Terima kasih atas masukan teman-teman. www.indrapiliang.com --------------------------------- Dapatkan alamat Email baru Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain! --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---